DIRGA SALAM. Lelaki
berperawakan tinggi kurus dan berkulit sawo matang itu akhir-akhir ini kerap
menyita waktu dan perhatian Wati. Gadis itu seperti terperangkap dalam sebuah
tempurung yang dindingnya berhiaskan wajah Dirga. Di setiap waktu hanya Dirga
yang muncul dalam pikirannya, seperti halnya malam ini ketika ia makan malam
dengan keluarganya, yang belakangan diketahui tidak ada hubungan darah
dengannya.
Wati adalah anak angkat di keluarga itu. Ketika ia berusia 4 tahun, orangtuanya
meninggal dalam sebuah kecelakaan. Rara dan Dhyka mengadopsinya. Dhyka, lelaki
yang selama 16 tahun ia panggil ‘papa’, dulu adalah rekan kerja orangtuanya.
Ketika itu Rara dan Dhyka sudah memiliki seorang putri bernama Indri. Usianya 2
tahun lebih muda dari Wati. Kini gadis itu tumbuh menjadi gadis cantik yang
cerdas dan selalu menjadi kebanggaan keluarga itu.
Tangan mungil Wati mengaduk-aduk nasi dipiringnnya dengan sendok.
“Kok nggak dimakan Wati?”
Wati terlonjak kaget. Ia menatap gadis berambut panjang yang duduk berhadapan
dengannya.
“Aku sudah kenyang. Kalian teruskanlah makan, aku mau ke kamar.” ucap Wati
sambil bangkit dan meninggalkan ruang makan.
Baik Dhyka, Rara maupun Indri tahu kalau sebenarnya Wati belum memasukkan
satupun butir nasi ke dalam mulutnya. Sedari tadi ia hanya mempermainkan
sendoknya dan menatap kosong ke depan.
Sampai di kamarnya, Wati mengunci pintu lalu bersandar di sana. Bayangkan
lelaki itu kembali memenuhi pikirannya.
“Apa aku benar-benar mencintainya?”
Dirga adalah pribadi yang menyenangkan dan ramah. Ia baik kepada semua orang,
termasuk Wati. Mereka bertemu 3 tahun yang lalu, tepatnya satu hari setelah
Wati berusia 17 tahun. Wati baru saja berziarah ke makam orang tuanya,
sedangkan Dirga berziarah ke makam Aisyah, istrinya yang telah meninggal.
Ketika hujan turun dengan deras. Mereka berteduh di gubuk kecil yang lumayan
jauh dari tempat parkir. Wati dan Dhyka larut dalam kesedihan masing-masing,
mengenang orang-orang yang telah dahulu meninggalkan mereka.
Hari telah sore ketika hujan mereda.
“Hujan telah reda, seharusnya kesedihan kita juga harus berakhir,” ucap Dirga
dengan suara serak. Lelaki itu mendekati Wati yang bersandar pada tiang gubuk
dan menatap tetes-tetes gerimis.
Wati mengusap air matanya yang bercucuran.
Kemarin, tepat hari ulang tahunnya yang ke 17, Rara dan Dhyka memberitahunya
kalau sebenarnya Wati adalah anak angkat mereka. Ia hancur, benar-benar tak
percaya dengan kenyataan hidupnya. Pantas saja Rara dan Dhyka lebih menyayangi
Indri daripada dia. Pernah satu kali Wati bertanya tentang ketidakadilan yang
ia rasakan, namun Rara hanya berkata, “kamu lebih tua dari Amel, jadi kamu
harus banyak mengalah.”
“Apa kamu membawa kendaraan?” tanya Dirga membuyarkan lamunan Wati.
Wati menggeleng, “Tadi aku naik taksi.”
“Mari kuantar pulang.”
Dirga melepas jas hitamnya untuk menutupi kepala mereka daru tetes air hujan
yang masih tersisa. Mereka berlari menerobos gerimis.
Di dalam mobil Dirga bercerita tentang Aisyah, seorang gadis cantik dan lemah
lembut yang telah lama ia cintai dan akhirnya menjadi istrinya tak lebih dari 7
jam. Mereka menikah 5 tahun yang lalu.
Hari itu setelah resepsi pernikahan, Dirga memboyong Aisyah ke rumahnya. Namun
tak lama kemudian, Aisyah mendapat kabar kalau penyakit jantung ayahnya kumat.
Bambang, ayah Aisyah memang tak datang di acara pernikahannya dengan Dirga
karena sejak 4 bulan yang sebelum pernikahan mereka Bambang di rawat di rumah
sakit.
Aisyah mengganti baju dan segera memsan taksi untuk pergi ke rumah sakit.
Berulang kali Dirga menawarkan untuk mengantarnya, namun Aisyah menolak.
satu jam setelah kepergian Aisyah, Dirga mendapatkan kabar kalau Aisyah
kecelekaan dan meningngal. Dirga terpukul. Ia depresi dan hampir bunuh diri.
Keluarga Dirga berusaha untuk meghiburnya. Mereka berusaha sekuat tenaga.
Akhirnya keajaiban pun datang, perlahan Dirga bangkit daru keterpurukan. Butuh
waktu 2 tahun untuk membuat lelaki itu bisa menerima kenyataan bahwa Aisyah
telah meninggal. Dirga memang kembali, namun tak utuh seperti dulu.
Wati terharu mendengarkan kisah Dirga. Ia tak menyangka lelaki sebaik Dirga
memiliki kehidupan yang amat menyedihkan. Dan entah apa yang menggerakkan hati
Wati untuk mempercayai lelaki itu dan menceritakan tentang jalan hidupnya yang
rumit.
Setelah hari itu, mereka krap bertemu. Sesekali Dirga datang ke rumah Wati,
meski Dhyka tidak menyukainya.
Dirga adalah orang pertama yang mau mendengar keluh kesahnya dan memberikan
semangat untuknya. Dirga adalah orang pertama yang membuatnya merasa ada dan
dibutuhkan. Dirga juga menerima kelebihan dan kekurangan Wati. Persahabatan pun
mulai terjalin di antara mereka.
Namun Wati tidak pernah menyangka bahwa sebulan yang lalu Dirga mengajaknya
makan malam di restoran dan menyatakan cintanya pada Wati. Ia meminta Wati
untuk menjadi lebih dari sekedar sahabat ataupun kekasih.Ia meminta Wati
menjadi pendamping hidupnya.
Wati mengambil nafas dan menghembuskannya pelan. Kamarnya yang yang berukuran
5X7 meter itu terasa menyempit dan menghimpit tubuhnya.
“Tuhan, apa yang harus aku lakukan?”
Wati berjalan menyusuri trotoar. Setengah jam yang lalu ia menelpon Dirga dan
memintanya untuk datang di restoran Itali tak jauh dari kantornya.
Siang ini Wati akan memberikan jawaban.
Ia berhenti didepan pintu masuk. Wati menarik nafas, berusaha menenangkan
hatinya. Ternyata Dirga datang lebih awal. Lelaki itu melambaikan tangan ketika
melihat Wati muncul dari pintu masuk.
Wati segera menghampiri Dirga dan duduk berhadapan dengannya.
“Mau pesan apa?” tanya Dirga.
“Jus lemon.”
Wati menggeleng. Dirga pun tak bertanya lagi dan segera memanggil pelayan. Ia
merasa sikap Wati aneh, tak seperti biasanya.
Tak berapa lama pesanan datang.
“Aku ingin menjawab pertanyaanmu sebulan yang lalu di tempat ini.” Wati
mengedarkan pandangannya.
Betapam mqsih kuat dalam ingatannya. Sebulan lalu ia dan Dirga makan malam di
restoran itu dan persis di meja yang sekarang mereka tempati. Wati tak
menyangka kalau malam itu Dirga menyatakan cintanya pada Wati. Ketika itu Wati
diam tak menjawab.
Dirga tercengang. Ia berhenti minum dan mendorong gelasnya. Ia menatap Wati.
“Aku bersedia menjadi kekasihmu sekaligus pendamping hidupmu,” Ucap Wati sambil
tersenyum.
Dirga ikut tersenyum. Ia meraih jari tangan Wati dan menggenggamnya.
“Terima kasih Bidadari.”
Wati menunduk, menyembunyikan wajahnya yang memerah. Ia teringat mimpinya
semalam. Dirga memeluknya erat dan lelaki itu memenggilnya bidadari.
“Ehm...tapi aku punya 1 permintaan.”
Dirga menatap kedua mata Wati, “Apa?”
“Kita menikah setelah aku lulus kuliah. Aku ingin mempersembahkan sesuatu untuk
Ibu dan Papa.
Merka telah merawatku sejak kecil.
Dirga menarik tangannya. Senyum diwajahnya pudar. Wati tahu kalau lelaki itu
takut kejadian yang sama akan terulang, kehilangan orang yang dia cintai.
“Aku tahu apa yang kamu pikirkan. percayalah Tuhan telah mengatur jodoh setiap
umat manusia.
Jika kita berjodoh, kita pasti akan bersatu meski ada ribuan rintangan yang
menghalangi cinta kita,” Ucap Wati sambil memegang tangan Wati.
Dirga mengangkat wajahnya dan tersenyum.
“:Aku yakin, kamu adalah bidadari yang Tuhan kirimkan untukku. Aku janji akan
menunggumu, sampai kapanpun.”
Wati tersenyum.
Setengah 7 malam, mereka berkumpul di ruang tengah. Indri dan orang tuanya
menatap Wati yang masih diam. Gadis itu yang menyuruh mereka berkumpul sebelum
makan malam karena ada sesuatu yang akan Wati sampaikan.
“Aku dan Dirga akan bertunangan,” ucap Wati setelah menarik nafas dalam-dalam.
“Katakan itu hanya sebuah gurauan,” ucap Dhyka setengah berteriak.
Wati menunduk. Ia pikir waktu 3 tahun akan merubah keputusan Dhyka untuk
menerima Dirga, tapi Wati salah. Bagaimanapun mereka semua tahu alasan Dhyka
tidak merestui hubungan Wati dengan Dirga, bahkan ssekedar sahabat sekalipun.
Dirga adalah seorang duda berusia 30 tahun dan ia pernah mengalami depresi
hebat yang dianggap sakit jiwa oleh semua orang.
“Kami saling mencintai. Tidak ada larangan bagi seorang perempuan dan laki-laki
untuk menikah dan berkeluarga. Lagipula dia baik dan sangat menghormati
keluarga ini,” ucap Wati dengan lirih.
Dhyka berdiri dan bersiap melayangkan tangannya ke wajah Wati. Rara dan Indri
menahan tangannya.
“Lepas, dia harus dihukum,” bentak Dhyka sambil menepis tangan Rara dan Indri.
“Anda tidak berhak untuk menampar saya.”
Wati berlari dan pergi meninggalkan rumah itu. Dulu, lelaki itu
menamparnyagara-gar Indri terjatuh ketika mereka bersepeda. Padahal itu sama
sekali bukan salah Wati.
Wati berjalan gontai. Air matanya bercucuran dan membasahi wajahnya. Betapa ia
telah lelah menjalani hidupnya yang penuh keterasingan....Wati kerap berharap
ia bisa bertemu kedua orangtuanya, meski hanya dal mimpi. Ia merindukan kasih
sayang yang sebenarnya.
“Kenapa kalian menjadikan aku seperti ini? Membuatku merasa selalu terbuang dan
tidak dibutuhkan. Tapi kenapa ketika ada yang memungutku dan mencintaiku dengan
tulus, kalian datang dan menarikku dari kebahagiaan itu?”
Hati Wati hancur berkeping-keping. Ia takkan sanggup melepaskan Dirga dan
merasakan kehilangan lagi.
Wati berhenti ketika kakinya mulai terasa pegal. Ia duduk di pinggir jalan dan
menatap rembulan yang hampir purnama. Ribuan bintang bertaburan di langit.
“Aku iri pada rembulan itu. Meski ia sendiri digelapnya malam, namun
bintang-bintang itu selalu menemani dan menyelimuti dengan kebahagiaan.
Sedangkan aku?”
Wati meringkuk dan menangis. Sebentar kemudian ia tertidur.
Suara mobil kijang membangunkan Wati. Ia berdiri. Seorang gadis berjaket putih
dan memakai celana jins selulut turun dari mobil itu. Rambut sebahunya
dibiarkan terurai. Ia menghampiri Wati dan memeluknya.
“Jangan pergi.”
Wati melepaskan pelukan Indri, “Aku nggak pantas tinggal di sana.”
“Tapi itu rumah kita. Sejak kecil kita dibesarkan di sana. Aku juga ingin
melihatmu memakai kebaya, bersanding dengan Dirga dan menikah di rumah itu.”
ucap Indri dengan suara sesenggukan.
Wati menggeleng, “Mereka nggak setuju. Sudahlah biarkan aku pergi.”
Ia membalikkan badan dan berjalan meninggalkan Indri.
“Kami setuju, Wati.”
Wati berhenti dan menoleh. Ia mendapati Dhyka dan Rara berdiri di belakangnya.
Wati sesenggukan manatap keduanya. Bagaimanapun ia menyayangi keluarga
angkatnya itu. Hanya mereka dan Dirga yang ia miliki dan ia tak ingin
kehilangan keduanya.
Rara menghampiri Wati dan membelai wajah gadis itu, “Usiamu sudah 20 tahun,
sudah dewasa. Kami tak berhak apapun atas dirimu. Hanay saja kalau boleh Ibu
meminta, tetaplah tinggal bersama kami.”
Wati memeluk Rara. Dhyka dan Indri ikut bergabung. Sesaat kemudian mereka telah
dudk di mobil dan akan segera pulang. Wati tersenyum. Ia merasa bahagia
memiliki keluarga itu.
“Kapan kalian akan menikah?” tanya Dhyka sambil melirik Wati dari kaca spion.
Mobil itu berhenti ketika lampu merah menyala.
“Setelah aku lulus kuliah.”
“Ide yang bagus.”
Pagi itu Wati ke apartemen Dirga. Ia akan memberitahu Dirga kalau keluarganya
telah merestui hubungan mereka. Ia tersenyum membayangkan bola mata Dirga
membesar dan mulutnya menganga lebar mendengar berita itu.
Gadis itu merapikan rambutnya yang agak berantakan. Setelah itu ia berjalan
berjingkat-jingkat ke kamar Dirga. Dengan hati-hati ia menarik engsel pintu. Ia
akan memberi surprise untuk calon tunangannya itu.
“Dirga!”
Semuanya menjadi terbalik seketika. Bukan Dirga yang terkejut mendengar berita
Wati, namun malah Wati yang terlomjak kaget. Ia melihat Dirga duduk berdua
dengan Indri dan Dirga memegang wajah gadis itu.
Wati menggelengkan kepalanya, “Seharusnya aku percaya pada ucapan mereka. KAMU
GILA.”
Dirga melepas pelukan Indri, “Wati bisa aku jelaskan.”
Wati lari meninggalkan apartemen Dirga. ekuat tenaga ia menahan air matanya
agar tidak jatuh. Dirga mengejarnya, namun Wati telah jauh pergi.
“Seharusnya aku tak boleh berharap untuk sekedar mencicipi manisnya
kebahagiaan. Tuhan menciptakanku untuk terus berkubang dalam lumpur derita.
Jadi meski aku berusaha untuk pergi, aku takkan bisa karena inilah takdir. Pada
akhirnya aku harus menerima kenyataannya kalau aku tetap seorang pecundang.”
Langkah khaki Wati membawanya ke taman, tempat pelariannya jika ia sedih. Ia
mencelupkan kakinya di kolam kecil. Wati menatap restoran Italia, tempat
favoritnya dan Dirga.
Kenang-kenangan itu muncul, seolah diputar ulang.
“Aku tahu kamu di sini.”
Gadis itu menyadari kedatangan Dirga. Ia masih menatap restoran itu.
“Kalau kamu masih percaya padaku dan mau mendengarkanku, biarkan aku
menjelaskan semuanya.” ucap Dirga sambil mencelupkan kakinya kedalam kolam.
Wati diam tak memberikan tanggapan.
“Indri datang padaku dan memintaku untuk mencintaimu dengan tulus. Ia tak ingin
melihatmu sedih dan kecewa. Ia bilang kalau selama ini bangga memiliki seorang
kakak yang sabar dan penuh pengertian sepertimu. Ia bangga padamu ketika kamu
memilih untuk mencari kebahagiaanmu dan mempertahankan semua yang telah kamu
miliki.”
Wati berdiri dan berjalan meninggalkan tempat itu. Ia tak tahu harus
mempercayai lelaki itu atau tidak. Ketika telah jauh berjalan, Wati berhenti
dan memejamkan mata. Wati baru saja akan membalikkan badan ketika sepasang
tangan Dirga melingkar di perutnya.
“Jangan tinggalkan aku. Jika kamu pergi maka aku akan benar-benar mati.”
Wati menangis. Ia membalikkan badan dan membalas pelukan Dirga. Tiba-tiba
gerimis turun dan membasahi mereka. Begitu lembut dan indah.
‘Aku bersedia menjadi orang kedua demi bisa singgah di hatimu, Dirga.
Karenasekuat apapun aku berlari, aku takkan bisa menghilangkanmu dari hatiku.
Aku membutuhkanmu seperti setetes darah yang jika tak kumiliki, aku takkan
pernah hidup didunia ini.’
Indri, gadis itu berdiri tak jauh dari mereka. Ia memegang sebuah cincin yang
dijadikan bandul kalungnya. Cincin itu pemberian Aisyah sebelum ia meninggal.
Indri menangis.
‘Aku hanya ingin mengembalikan semua yang pernah hilang karena aku. Meski tak
utuh, tapi paling tidak bisa mengurangi rasa sakit itu. Maafkan aku Wati. Aku
tak pernah bermaksud menguasai semua yang seharusnya menjadi milik kita berdua.
Juga maafkan aku Dirga, seharusnya kecelakaan itu tak pernah terjadi,
seharusnya kalian tidak menderita karena aku.’
Indri melangkah pergi, dan menyesali kalau saja 5 tahun yang ia tidak
tergesa-gesa menyeberang, taksi Aisyah takkan terguling dan terbakar karena
menghindarinya.
0 Loroseng Ada.ta:
Posting Komentar