RSS

Hanya tuhan yang tahu


Senja. Senja yang begitu berarti. Takkan terulang dalam hidupku lagi. Mega yang merah jambu bak gaun ratu yang megah. Pohon-pohon kelapa berayun menari riang. Lampu rumah mulai hidup satu persatu. Mentari sayup-sayup meninggalkan cahaya kuning. Merah mulai menggelap. Putih mulai ternoda, Gentar. Suara adzan bergema. Magrib sudah menjelang. Gema suara adzan semakin merasuki tubuhku. Telingaku terus menangkap suara adzan. Hatiku semakin bergetar. Jantungku semakin berdetak kencang. Dug...dug...dug Panggilan itu semakin jelas dan memintaku untuk segera untuk menunaikan kewajibanku. Namun, apa daya. Kini ku berada dalam kotak yng terus berjalan tanpa henti di atas jalan yang dipenuhi aspal.
“Kok nggak tenang gitu. Ada apa, Sha?” tanya Ahmad, pasangan dudukku.
“Aku mau shalat magrib. Tapi busnya berhenti-berhenti,” jawabku.
“Kita kan tour. Jadi nggak mungkin asal turun di jalan. Lagi pula bisa diqoshor kan sama shalat isya. Atau tayammum saja.”
“Lebih baik pada waktunya dan pada tempatnya yang layak. Mumpung aku masih bisa merasakan indahnya hidup,” kataku singkat.
“Terserah kamu saja, Sha.”
Aku semakin ingin shalat di mesjid. Aku tak tahu kapan ku tiada. Aku harus melakukan yang terbaik sebelum ku tiada. Orang-orang tak mengerti kapan nyawaku dicabut. Penyakitku kian parah. Maag. Ya, maag. Itu sebutan penyakitku. Tak hanya itu. Masih ada embel-embel “akut” di belakangnya. Itu yang membuatku semakin percaya nyawaku taklah abadi. Selama hampir lima hari ini aku tak membawa bahkan tak meminum obat. Kemarin satu hari sebelum naik bus ini, penyakitku kambuh. Darahku keluar menggantikan dahak ketika ku batuk. Teman-temanku tak tahu. Aku di dalam kamar sendiri. Teman-teman sekamarku sedang sarapan. Aku ingat, dokter telah memvonis hidupku yang mungkin hanya beberapa waktu lagi berakhir.




“Sha, kamu beli apa di Joger?” tanya Ahmad untuk mengalihkan ku dari lamunanku.
“Aku beli...ada , deh.”
“Ah, pakai rahasia-rahasia segala. Memangnya buat siapa yang kamu beli itu?”
“Buat orang yang aku sayangi semasa hidupku...”
Ahmad hanya tersenyum mendengar jawabanku. Dia pun menepuk pundakku. Matanya seakan menahan air. Aku mengerti. Tak ada orang yang tahu akan penyakitku, kecuali keluargaku. Namun, apakah Ahmad tahu tentang diriku? Atau teman-temanku ada yang tahu? Aku yang berada di deret kiri dan dudk disebelah kiri pun memalingkan wajahku ke luar jendela yang berada tepat di samping kiriku. Huft...semoga jiwaku tenang.
Bus pariwisata yang membawa rombonganku pun masih tetap melaju. Tak ada lagi adzan magrib saat ini. Teman-teman terlihat bahagia dan sedikit kecewa. Maklum, kalau habis dari negeri kupu-kupu itu seakan menyisakan kebahagiaanku akan pesona panorama dan memberikan kekecewaan karena tak lagi menyaksikan panorama itu. Bantimurung. Oh Bantimurung. Tempat wisata yang menyisakan kebahagiaanku bersama teman-temanku.

Teman-teman semakin berlebihan dalam kebahagian mereka. Banyak yang menyanyi hingga keras. Para guru yang menjadi pembina dalam rombonganku hanya memaklumi tingkah mereka. Ahmad berkata padaku, “ Sha, Shasa. Ini sudah saatnya...”
Namun, suasana berubah. Kini es secepat ini mendidih menjadi uap. Riswanto, salah satu teman dalam satu rombonganku itu memaksa Aslan yang duduk di depanku untuk membuka barang belanjaan milik Aslan. Aslan tak terima akan paksaan Riswanto. Satu pukulan dari tangan Aslan mengenai wajah Riswanto. Hidung. Hidung Riswanto mencucurkan darah yang tak tahu berapa mililiter yang keluar. Riswanto yang ikut mendidih kepalanya, segera memberikan dua pukulan untuk Aslan yang masih dalam keadaan duduk. Mata. Mata Aslan memar. Pak Surahman, salah satu guru pembina rombonganku yang duduk dibelakang, segera maju ke tempat perkelahian. Suasana semakin memanas. Pak Surahman dan guru-guru lain tak bisa melerai mereka berdua. Cowok-cowok memadati tempat tempat perkelahian. Ada yang mendukung salah satu pihak. Ada yang ingin melerai. Suasana tetaplah semakin memanas. Termometer pun kan pecah untuk mengukur situasi ini. Aku yang dalam keadaan berdiri dan tak bisa keluar pun terkena pukulan Riswanto. Pipiku memar. Tak ada yang peduli. Pukulan Riswanto mengenai kaca jendela bus.”Pyaaaa...rrr.” Kaca yang sedikit tebal itu pecah. Bus masih melaju. Cewek-cewek hanya menjerit-jerit. Pemandu wisata terus memberikan peringatan tanpa henti. Itu juga tak dipedulikan oleh kedua bocah yang seakan menjadi bintang “Boxer”. 
Bus yang ku naiki ini adalah bus yang membawa rombongan terakhir. Aku tahu, rombongan telah meninggalkan bus kami. Mereka takkan tahu situasi panas ini. Kalau pun tahu, mereka sudah jauh. Jalan yang kini bus lewati adalah jalan yang berada di tengah hutan. Jauh dari pemukiman. Mengapa hanya masalah yang kecil menjadi besar? Panas. Suasana panas. Guru-guru hingga berteriak dan mencoba melerai keduanya. Namun, tak ada hasil. Justru beberapa guru terkena pukulan diantara keduanya. Tegang. Gaduh. Panas. Itu yang aku rasakan. Yang semakin menggetarkanku, ketika pemandu wisata mengumumkan, “REM BLOOOONG...!!!” Itu bukanlah kata yang dibuat-buat. Rem benar-benar blong. Bus berjalan semakin tak beraturan. Tak ada kendaraan yang melintas di jalan yang bus kami lalui.

Hutan. Gelap. Ketegangan. Itu yang ada. Perkelahian itu tak juga berhenti. Cewek-cewek semakin keras dalam jeritannya, seolah membawa suasana PANAS, PANAS, DAN PANAS. Air mata semakin bercucur di antara kami. Teriakan-teriakan kami tak mengalihkan mereka berdua. Seakan hantu merasuki jiwa mereka. Singa yang berebut kekuasaan. Angin yang masuk dari jendela yang tak berkaca tak memberikan aura damai. Sopir bus tak bisa menghentikan bus ini. Lajupun tak beraturan. Ombak samudra Hindia yang kurasakan saat ini. Riswanto dan Aslan tak lagi kenal wajah keduanya. Darah dan memar yang terlukis pada wajah mereka. Kami semua mencoba menghentikan mereka. Beberapa tangan memegang tangan kedua petarung. Keduanya mencoba memberontak. Mata mereka merah. Tarian barong menghiasi bus kami. Kedua barong terus saja beraksi dan bereaksi. Keduanya ditarik ke arah dua kutub yang berelawanan.
Suasana mulai mereda. Namun. Namun, satu kata yang keluar dari mulut sopir bus. “TIDAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAKKKKKKKK.....!!!!!!” Teriakan yang menggetarkan hatiku. Jam tangan ku berdetik, “TIK...!!!”. Seketika bus tak terarah. Sopir keluar dari bus melalui pintunya. Jurang. Ya, Jurang. Jurang berada tepat di depan bus. Dan... bus terperosok. “AAAAaaaaaaa....................!!!” Jeritan-jeritan ini ku rasakan. Ini bukan roll coaster. bus miring ke kiri. “BRUUU...KK...!!!” Orang-orang dan barang-barang di bus jatuh ke arah kiri. Aku tak bisa keluar. Semua jatuh ke arah kiri. Aku mencoba keluar dari bus yang semakin tereperosok. “BRUK...!!!” Bus mulai menggeser dan akan jatuh. Ku segera mencari cara. Jendela. Itu jalan satu-satunya. Jendela yang telah pecah terkena pukulan Riswanto. Aku harus bisa keluar. Ahmad sudah tak kuat menahan orang-orang dan barang-barang yang berada di atasnya. Ku tarik tangannya. Namun, terlepas. Ku coba berpindah ke jendela itu. Tak bisa. Aku punya ide. Ku ingat ketika pukulan Riswanto bisa memecahkan kaca. Ku coba memecahkan kaca jendela sebelahku. Ought....sakit. Tak apa. Satu dua pukulan tak cukup. Dengan penuh keinginan... “PTAAAaaa..rr” Pecah. Pecahnya pun juga besar. Bisa ku gunakan keluar sebelum berakhir. Ku tarik tangan Ahmad lagi. Ahmad pun bisa ku tarik. Ku segera keluar melalui jendela. Dan bisa... Ku berada di tanah yang sangat miring. Ku tarik kembali tangan Ahmad. Telapak tangannya sudah keluar dari jendela. Jeritan-jeriatan orang-orang yang berada di dalam pun semakin kuat. Semakin menggetarkan gendang telingaku. Jantungku berdetak kencang. Aku ceroboh. Tanganku berkeringat. Licin. Tangan Ahmad terlepas dari genggamanku. Dan bus tak kuat menahan orang-orang ini. “BRUUuuu...kkkK...!!! PYAAaaa...rrRR...!!! AAAaaaa....!!!” Suara-suara itu semakin jelas. Bus pun terpelosok semakin dalam kejurang. Jeritan-jeritan itu semakin jauh. Bus rombonganku terlihat terguling-guling di tebing jurang. 
TIDAAAAAAAAAAAAA...........KKKKK...!!!! Aku telah kehilangan mereka semua. Air mataku tak lagi bisa tertahan. Tanganku yang berdarah pun tak bisa ku rasakan sakitnya hatiku lebih sakit.



Tak ada yang lebih sakit selain hidup tak berarti Air mata tercucur tak cukup untuk mengobati Uang pun tidaklah mampu untuk membayar Dalamnya kesedihan pula yang didapat 
Apalah yang ada di dunia ini berarti
Pastilah hanya kembali pada Ilahi 
Tidaklah semua itu akan abadi...
Fana...
Hampa...
Tak tersisa...
Apakah yang sisa?
Hanya sebuah nama...
Nama, nama, dan nama saja.


“Sha, Shasa. Ini sudah saatnya... Saatnya kita akan makan malam dan shalat isya’. Sekitar setengah jam lagi. Ayo bangun! Sekarang kita melewati hutan lho...”
Suara ini membangunkanku dari tidurku. Ternyata ini suara Ahmad yang membangunkanku. Mimpi. Mimpi itu tak lagi mengusikkan diriku. Ternyata semua yang ada dalam bus masih hidup. Ahmad pun masih bisa membangunkanku. Tanganku tak terluka. Jendela tak ada yang pecah. Teman-temanku tampak gembira. Perasaanku pun tenang. Detak jantungku pun normal. Senyumku pun dapat ku rasakan. Kegembiraan bersama teman-teman pun kurasakan.


SEKIAN...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 Loroseng Ada.ta: