Ra! Ibu sudah tidak
ada.’’ Suara Mas Dhyka di ujung telepon sore itu membuatku terduduk di bangku
sebelah meja telepon kami.
“Inna lillahi wa inna illaihi rojiun... jam berapa Ibu pergi, Mas? Kamu
sekarang di mana? Kamu baik-baik saja, Mas?”
“Aku di sini rumah sakit, Ra. Aku sedih sekali.”
Suara Mas Dhyka terdengar
semakin serak. Aku yakin, dia pasti sedih sekali. Suamiku itu sayang sekali
kepada ibunya yang telah membesarkan dia dan adik-aadiknya. Ayahnya meninggal
karena kecelakaan ketika Mas Dhyka dan adik-adik masih duduk di bangku sekolah.
“Aku susul ke rumah sakit
yah, Mas?” sahutku.
“Tidak usah, Ra. Kamu langsung ke rumah Ibu aja, bantu-bantu di sana.”
“ Iya deh. Ketemu di sana ya, Mas,” sahutku lagi.
Dalam perjalanan ke rumah Ibu aku teringat bagaimana di awal-awal pernikahan,
aku begitu cemburu pada perhatian Mas Dhyka terhadap Ibu Mertuaku itu.
Bagaimana tidak?
Dalam seminggu, dia bisa mampir
ke rumah Ibu paling sedikit tiga kali. Belum lagi Mas Dhyka tidak sempat mampir
ke rumah Ibu Mertuaku itu, maka dapat di pastikan ia akan menelpon Ibu,
menanyakan beliau sedang apa, sudah makan atau belum, kemudian mereka akan
ngobrol lama. Kalau sudah begitu aku pasti jadi sebal setengah mati. Kayak
orang pacaran yang lagi di landa cinta aja, begitu pikirku dulu.
Puncak kesalahanku atas
perhatian Mas Dhyka ke Ibu adalah ketika aku hamil anak pertama kami, Indri.
Namanya juga wanita hamil, suka cari-cari alasan supaya di perhatikan suami.
Itulah yang terjadi pada diriku. Aku semakin sering marah-marah dan cemberut,
kalau Mas Dhyka terlambat pulang ke rumah. Suatu hari Mas Dhyka pulang jam 9
malam, aku pun protes keras waktu itu.
“ Ke mana aja sih, Mas?
Kok jam segini baru pulang?”
“ Biasa Ra, ke rumah Ibu sebentar. Ibu lagi flu, jadi aku beliin obat dan sup
dulu biar sakit Ibu nggak berlarut-larut.”
“Hm... kalau Ibu aja, cepat deh tanggapnya. Aku yang hamil begini dilupain sama
kamu,” Protesku.
“Kok kamu gitu
ngomongnya, Ra? Memangnya aku ngelupain kamu? Jangan begitu dong. Aku sayang
sama kamu, tapi wajar’kan kalau aku juga sayang dan merhatiin Ibu, Ra. Lagi
pula, kapan sih kalau kamu butuhin aku, aku nggak peduli sama kamu? Tiap kamu
minta beliin makanan apa aja, biar pun tengah malam, aku tetap berangkat’kan
Ra? “
Jawab Mas sambil
meninggalkanku ke kamar.
Saat itu aku sedih sekali karena Mas Dhyka lalu mendiamkan aku beberapa hari.
Aku masih tidak mengerti atau tepatnya tidak mencoba mengerti alasan Mas Dhyka
terlalu memerhatikan Ibu.
Lamunanku terhenti ketika taksi yang kutumpangi mendekati rumah Ibu. Kulihat
rumah Ibu mulai ramai.
Ketika aku masuk, tampak
semua adik-adik Mas Dhyka sudah berkumpul. Aku mendatangi dan memeluk mereka,
terutama Putri si bungsu. Dia masih kuliah, pasti berat untuknya menerima ke
pergian Ibu. Tidak lama kemudian aku pun sudah mulai sibuk membantu
mempersiapkan segala keperluan untuk pemakaman Ibu besok.
Hampir magrib ketika jenazah Ibu sampai dari rumah sakit. Keadaan begitu
mengharukan ketika jenazah Ibu di tempatkan di ruang tamu. Adik-adik Mas Dhyka
mendekati jenazah Ibu dan tak lama kemudian tangis mereka kembali pecah. Aku
lihat Mas Dhyka pun sangat terguncang. Aku raih tangannya.
“Sabar ya, Mas. Relakan Ibu.
Kita doakan semoga Ibu di terima di sisi tuhan dan di berikan tempat yang
layak.”
Tangis Mas Dhyka pun pecah. Sambil memelukku, terbata-bata dia mengungkapkan
perasaannya.
“Aku sedih, Ra. Sedih
sekali. Aku nggak percaya Ibu telah pergi meninggalkan kita untuk
selama-lamanya. Aku belum berbuat banyak untuk Ibu, Ra...”
Hatiku terasa ngilu mendengar ucapan Mas Dhyka. Aku tahu apa yang di maksudkan
Mas Dhyka.
Dia ingin sekali
memberangkatkan Ibu naik haji, karena sudah berkali-kali Ibu mengungkapkan
keinginannya untuk menginjakkan kaki di tanah suci. Mas Dhyka memang sudah
mulai menabung, tapi Allah berkehendak lain. Sebelum jumlah tabungannya
mencukupi, Ibu sudah pergi menghadap Sang pemilik jiwa. Tidak ada yang
menyangka kepergian Ibu yang tiba-tiba. Dua hari yang lalu Ibu hanya mengeluh
sakit kepala berat. Mas Dhyka dan aku membawanya kerumah sakit. Setelah itu
kondisi Ibu cepat sekali drop. Dimulai dengan koma pada malam harinya, dan pada
hari kedua beliau di rumah sakit, Allah memanggilnya. Sungguh, keadaan yang
tidak pernah kami duga.
“Sabar ya, Mas. Mari kita
berdoa untuk Ibu,” kataku sambil menggamit tangannya untuk duduk di sebelah
jenazah Ibu. Lalu mengangkat tangan memohon kepada Yang Maha Kuasa agar Ibu
diberikan tempat yang layak di sisi-nya.
Melihat Ibu terbujur kaku, tidak terasa air mataku jatuh.
“Bu, maaf ya. Selama ini
Rara belum cukup berbakti sebagai menantu. Rara malahan sering kali menyakiti Ibu
dengan berusaha menjauhkan Mas Dhyka dari Ibu.” Aku berkata-kata dalam hati
menyesali semua yang pernah terjadi.
Kecemburuanku atas
perhatian Mas Dhyka ke Ibu mulai berkurang dan perlahan berhenti ketika Indri,
anak kami lahir dan tumbuh menjadi bocah kecil yang menggemaskan dan setelah
perbincanganku dengan Ibu pada suatu sore. Tidak pernah terpikir olehku Ibu
merasakan kecemburuanku itu. Aku tidak pernah tahu apakah Ibu mengetahuinya
dari Mas Dhyka menyimpulkannya sendiri. Suatu sore aku di telepon Ibu.
“Ra, lagi repot nggak?”
Suara Ibu di ujung telepon mengejutkanku.
“Nggak. Kenapa Bu?”
“Temenin Ibu ke supermarket yuk. Ada yang mau Ibu beli. Mau’kan temenin Ibu?”
tanya lagi.
Aku yang masih terheran-heran atas ajakan Ibu itu, tidak lagi bisa berpikir
selain menjawab,”Iya Bu, nanti sore Rara jemput Ibu.”
Sore itu setelah membeli
beberapa barang yang di butuhkan di supermarket langganan, Ibu mengajak Indri
makan es krim di restoran cepat saji yang ada di sana.Tentu saja Indri
menyambutnya dengan suka cita karena di sana ada arena bermain anak-anak yang sangat
disukainya.
“Bu, Indri boleh ya main
perosotan di sana?”
“Iya, boleh. Tapi setelah Indri habiskan es krimnya ya,” jawabku yang segera
disambut suka cita oleh Indri.
Ketika Indri bermain perosotan, Ibu melontarkan pertanyaan yang cukup
mengejutkan kepadaku.
“Ra, kamu sayang sama Indri?”
“Ibu...kok nanyanya
begitu. Ya jelasnya Rara sayang sama Indri. Kenapa kok Ibu tiba-tiba nanya
begitu?”
“Nggak apa-apa Ra. Dulu waktu Dhyka sebesar Indri, seingat Ibu...Ibu hapir
tidak mau jauh dari Dhyka biarpun semenit. Apalagi Dhyka’kan anak pertama Ibu.
Senang saja rasanya ada
didekat Dhyka, senang kalo Dhyka cari Ibu bila dia butuh sesuatu. Kalo Dhyka
sakit, rasanya dunia mau runtuh. Kalau kamu bagaimana Ra? Apa kamu juga merasa
begitu ke Indri?”
“Iya Bu. Rara senang banget ngurusin semua kebutuhan Indri. Senang kalau bisa
nyium dan meluk Indri.”
“Nikmatilah Ra. Waktu akan capat berlalu, tanpa merasa Indri akan menjadi
remaja. Dia akan sibuk dengan teman-temannya. Kemudian dia akan kuliah,kerja,
lalu tiba-tiba dilamar oleh laki-laki pujan hatinya.”
“Ah..Ibu ini. Indri’kan baru 4 tahun, Bu. Masih TK.”
Dalam hati aku agak geli juga mendengarkan khayalan Ibu tentang Indri yang
sangat jauh.
“Justru itu, Ra. Makanya Ibu
bilang...nikmatilah waktumu bersamanya karena tanpa terasa, seperti yang Ibu
bilang tadi, waktu cepat berlalu. Dia akan pergi, tidak lagi bisa menghabiskan
banyak waktu bersamamu. Dia akan mempunyai dunianya sendiri, keluarganya,
kariernya, teman-temannya. Hanya sedikit waktu tersisa untuk kamu, ibunya.
Kamu nantinya akan sering
merindukan Indri.” Ibu mengakhiri ucapannya sambil menunduk. Aku sempat melihat
Ibu menghapus air mata yang menggantung di sudut matanya.
Aku pun hanya bisa tertunduk mendengar ucapan panjang lebar Ibu itu, bingung
harus menjawab apa.
“Ibu bisa bilang begitu
karena itulah yang Ibu rasakan, Ra. Waktu terasa berlalu begitu cepat. Tanpa Ibu
sadari, Dhyka sudah beranjak dewasa dan sibuk dengan pekerjaannya. Tidak lama
kemudian dia minta Ibu melamar kamu. Kalian kemudian pindah. Ibu tidak lagi
bisa mengurus Dhyka seperti dulu...karena itu menjadi tanggung jawab kamu.
Melakukan hal-hal untuk orang yang kita sayangi itu menyenangkan bukan, Ra?”
“Iya, Ma. Rara senang kalau dibutuhin sama Mas Dhika dan Indri. Kayaknya hidup
Rara berguna untuk orang lain.”
Kemudian kami berdua diam sesaat sebelum Ibu melanjutkan percakapan.
“Ra, Ibu tahu Dhyka bukan sekarang milik Ibu sepenuhnya lagi seperti ketika dia
masih kecil. Dhyka sekarang sudah punya kamu dan Indri. Ibu mengerti itu, Ra.
Hanya saja sabagai seorang ibu, sulit melepas anaknya sepenuhnya.
28 tahun Dhyka berada
dalam pelukan Ibu, Kemudian dia pergi. Ibu lagi tidak bisa melihat dia setiap
pagi ketika akan memulai aktivitasnya. Tidak lagi bisa menunggu dia pulang
setiap sore untuk mendengar cerita-ceritanya tentang apa yang terjadi hari itu.
Menurut Rara, salah nggak kalau Ibu sering merindukan hal-hal itu sekarang?”
Tanya Ibu sambil menatapku.
Aku terdiam sejenak
memikirkan kata-kata Ibu itu. Ya...28 tahun Mas Dhyka hidup bersama Ibu. Setiap
hari semua keperluan Mas Dhyka, Ibulah yang mengurus. Aku membayangkan
keseharianku dengan Indri sekarang dan kemudian membayangkan apa yang kira-kira
akan aku hadapi ketika Indri nanti remaja, dewasa, menikah.
Ya...aku juga pasti akan
merasakan apa yang Ibu rasakan. Rindu bersama Indri, sebagaimana sekarang Ibu
sering merindukan kehadiran Mas Dhyka. Ah...tiba-tiba aku menyadari kebodohanku
selama ini. Cemburu kepada Ibu, menganggap Mas Dhyka tidak menyanyangi aku saat
dia sedang memerhatikan Ibu. Tiba-tiba aku menyadari, Mas Dhyka tentu tidak
besar begitu saja, tidak akan tumbuh menjadi Mas Dhykaku yang seperti sekarang
kalau tidak karena wanita yang sekarang ada di hadapanku ini. Tiba-tiba aku
merasa malu. Malu akan tingkah kekanak-kanakanku Aku pun sadar aku belum
menjawab pertanyaan Ibu.
“Ya nggak dong Bu. Ibu
nggak salah kalau merindukan semua itu. Mas Dhyka juga pasti sering kangen sama
Ibu. Buktinya dia sering’kan datang kerumah Ibu atau sekedar telepon. Ibu pasti
senang kalau Mas Dhyka datang atau telepon?”
“Ya, tentu saja Ra. Ibu senang kamu mengerti dan tidak marah kalau Dhyka sering
menghabiskan waktu dengan Ibu Ra. Terima kasih ya..”
“Ah, Ibu. Masa pakai terimah kasih segala. Sudah seharusnya begitu kok,”
jawabku pelan, karena malu pada diriku yang selama ini tidak berpikir sejauh
itu. Kecemburuanku telah menutup akal sehatku.
Setelah percakapan kami
sore itu aku sering merenungi apa Ibu katakan. Ya...Ibu benar. Kini aku jadi
mengerti bahwa tidak seharusnya aku cemburu atas perhatian Mas Dhyka kepada Ibu.
Sejak itu aku tidak lagi protes kalau Mas Dhyka mampir kerumah Ibu sepulang
kerja. Toh Mas Dhyka juga selalu mengabariku setiap kali dia pergi kesana.
Bahkan aku dan Indri mulai rajin menemani Mas Dhyka kerumah Ibu.
“Mbak Rara, tolong Putri
dan Fahmi dibelakang sebentar Mbak. Putri mau mempersiapkan keperluan untuk
pemakaman Ibu besok.” Suara Putri membuyarkan lamunanku. Aku beranjak dari sisi
jenazah Ibu dan mengikuti Putri dan Fahmi ke belakang.
Keesokannya di pemakaman,
kembali aku melihat betapa terpukulnya Mas Dhyka. Air mata terus membasahi
pipinya. Ah, Ibu...Ibu harus bangga dan senang karena telah membesarkan seorang
anak seperti Mas Dhyka yang menyanyangi Ibu sampai Ibu menghembuskan napas
terakhir. Sambil memandangi Mas Dhyka aku memegang erat tangan Indri dan
berdoa, semoga Ibu bahagia di sana. Aku juga menyelipkan sebuah doa.
Doa agar Indri menjadi seorang anak yang
menyayangi aku dan Mas Dhyka seperti Mas Dhyka menyayangi Ibu. Ya...seperti Mas
Dhyka menyanyangi Ibu. Semoga kelak setelah Indri dewasa, dia mendapatkan suami
yang mengerti jika Indri menyayangi dan memperhatikan aku. Doa yang terlalu
dini diucapkan, tapi tetap kuucapkan dalam hati.
Semoga Allah mengabulkan. Amin......
0 Loroseng Ada.ta:
Posting Komentar