1. MANURUNGE RI MATAJANG
MATA SILOMPOE (1326 – 1358) Dalam lontara’ tersebut diketahui bahwa
setelah habisnya turunan Puatta Menre’E ri Galigo, keadaan negeri-negeri
diwarnai dengan kekacauan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya arung
(raja) sebagai pemimpin yang mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat.
Terjadilah perang kelompok-kelompok anang (perkauman) yang
berkepanjangan (Bugis = Sianre bale). Kelompok-kelompok masyarakat
saling bermusuhan dan berebut kekuasaan. Kelompok yang kuat menguasai
kelompok yang lemah dan memperlakukan sesuai kehendaknya. Keadaan yang
demikian itu, dalam bahasa Bugis disebut SIANRE BALE (saling memakan
bagaikan ikan). Tidak ada lagi adat istiadat, apalagi norma-norma hukum
yang dapat melindungi yang lemah. Kehidupan manusia saat itu tak ubahnya
binatang di hutan belantara, saling memangsa satu sama lain. Menurut
catatan lontara’, keadaan yang demikian itu berlangsung kurang lebih
tujuh pariyama lamanya. Menurut hitungan lama, satu pariyama mungkin
sama dengan 100 tahun. Jadi kalau mengacu pada perhitungan ini maka
dapat dipastikan bahwa turunan Puatta MenreE ri Galigo telah hilang 700
tahun yang lalu. Bone dan negeri-negeri sekitarnya mengalami kekacauan
yang sangat luar biasa. Wallahu a’lam bissawab.
Adapun awal datangnya seorang arung (raja) di Bone yang dikenal dengan
nama ManurungE ri Matajang Mata SilompoE, ditandai dengan gejala alam
yang menakutkan dan mengerikan. Terjadi gempa bumi yang sangat dahsyat,
kilat dan guntur sambar menyambar, hujan dan angin puting beliung yang
sangat keras. Setelah keadaan itu reda dan sangat tak terduga, tiba-tiba
di tengah lapangan yang luas kelihatan ada orang berdiri dengan pakaian
serba putih. Karena tidak diketahui dari mana asal usulnya, maka orang
menyangkanya To Manurung yaitu manusia yang turun dari langit. Orang
banyak pun pada datang untuk mengunjunginya. Adapun kesepakatan orang
yang menganggapnya sebagai To Manurung adalah untuk mengangkatnya
menjadi arung (raja) agar ada yang bisa memimpin mereka. Orang banyak
berkata ; ”Kami semua datang ke sini untuk meminta agar engkau jangan
lagi mallajang (menghilang). Tinggallah menetap di tanahmu agar engkau
kami angkat menjadi arung (raja). Kehendakmu adalah kehendak kami juga,
perintahmu kami turuti. Walaupun anak isteri kami engkau cela, kami pun
mencelanya, asalkan engkau mau tinggal”. Orang yang disangka To Manurung
menjawab ; ”Bagus sekali maksudmu itu, namun perlu saya jelaskan bahwa
saya tidak bisa engkau angkat menjadi arung sebab sesungguhnya saya
adalah hamba sama seperti engkau. Tetapi kalau engkau benar-benar mau
mengangkat arung, saya bisa tunjukkan orangnya. Dialah arung yang saya
ikuti”. Orang banyak berkata ; ” Bagaimana caranya kami mengangkat
seorang arung yang kami belum melihatnya?”. Orang yang disangka To
Manurung menjawab ; ”Kalau benar engkau mau mengangkat seorang arung ,
saya akan tunjukkan tempat – matajang (terang), disanalah arung itu
berada”. Orang banyak berkata ; ”Kami benar-benar mau mengangkat seorang
arung, kami semua berharap agar engkau dapat menunjukkan jalan menuju
ke tempatnya”. Orang yang disangka To Manurung (konon bernama Pua’
Cilaong dari Bukaka), mengantar orang banyak tersebut menuju kesuatu
tempat yang terang dinamakan Matajang (berada dalam kota Watampone
sekarang). Gejala alam yang mengerikan tadi kembali terjadi. Guntur dan
kilat sambar menyambar, angin puting beliung dan hujan deras disusul
dengan gempa bumi yang sangat dahsyat. Setelah keadaan reda, nampaklah
To Manurung yang sesungguhnya duduk di atas sebuah batu besar dengan
pakaian serba kuning. To Manurung tersebut ditemani tiga orang yaitu ;
satu orang yang memayungi payung kuning, satu orang yang menjaganya dan
satu orang lagi yang membawa salenrang. To Manurung berkata ; ”Engkau
datang Matowa?” MatowaE menjawab ; ”Iyo, Puang”. Barulah orang banyak
tahu bahwa yang disangkanya To Manurung itu adalah seorang Matowa.
Matowa itu mengantar orang banyak mendekati To Manurung yang berpakaian
serba kuning. Berkatalah orang banyak kepada To Manurung ; ”Kami semua
datang ke sini untuk memohon agar engkau menetap. Janganlah lagi engkau
mallajang (menghilang). Duduklah dengan tenang agar kami mengangkatmu
menjadi arung. Kehendakmu kami ikuti, perintahmu kami laksanakan.
Walaupun anak isteri kami engkau cela, kami pun mencelanya. Asalkan
engkau berkenan memimpin kami”. To Manurung menjawab ; ”Apakah engkau
tidak membagi hati dan tidak berbohong?” Setelah terjadi kontrak sosial
antara To Manurung dengan orang banyak, dipindahkanlah To Manurung ke
Bone untuk dibuatkan salassa (rumah). To Manurung tersebut tidak
diketahui namanya sehingga orang banyak menyebutnya ManurungE ri
Matajang. Kalau datang di suatu tempat dan melihat banyak orang
berkumpul dia langsung mengetahui jumlahnya, sehingga digelar Mata
SilompoE. ManurungE ri Matajang inilah yang menjadi Mangkau’ (raja)
pertama di Bone. ManurungE ri Matajang kemudian kawin dengan ManurungE
ri Toro yang bernama We Tenri Wale. Dari perkawinan itu lahirlah La
Ummasa dan We Pattanra Wanuwa, lima bersaudara. Adapun yang dilakukan
oleh ManurungE ri Matajang setelah diangkat menjadi Mangkau’ di Bone
adalah – mappolo leteng (menetapkan hak-hak kepemilikan orang banyak),
meredakan pula segala bentuk kekerasan dan telah lahir yang namanya
bicara (adat). ManurungE ri Matajang pula yang membuat bendera kerajaan
yang bernama WoromporongE. Setelah genap empat pariyama memimpin orang
Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan ; ”Duduklah
semua dan janganlah menolak anakku La Ummasa untuk menggantikan
kedudukanku. Dia pulalah nanti yang melanjutkan perjanjian antara kita”.
Hanya beberapa saat setelah mengucapkan kalimat itu, kilat dan guntur
sambar menyambar. Tiba-tiba ManurungE ri Matajang dan ManurungE ri Toro
menghilang dari tempat duduknya. Salenrang dan payung kuning turut pula
menghilang membuat seluruh orang Bone pada heran. Oleh karena itu
diangkatlah anaknya yang bernama La Ummasa menggantikannya sebagai arung
(Mangkau’) di Bone.
2. LA UMMASA (1358 – 1424)
Dialah yang menggantikan ManurungE ri Matajang
sebagai Mangkau’ di Bone. Setelah La Ummasa meninggal maka digelarlah To
Mulaiye Panreng (orang yang mula-mula dikuburkan). Mangkau’ ini hanya
dinaungi dengan kaliyao (tameng) kalau dia bepergian untuk melindungi
dari teriknya matahari. Hal ini dilakukan karena tidak ada lagi payung
di Bone. La Ummasa digelar pula Petta Panre BessiE (pandai besi) karena
dialah yang mula-mula menciptakan alat-alat dari besi di Bone. Di
samping itu La Ummasa sangat dicintai oleh rakyatnya karena memiliki
berbagai kelebihan seperti ; daya ingatnya tajam, penuh perhatian,
jujur, adil dan bijaksana. Saudara perempuannya yang bernama We Pattanra
Wanuwa kawin dengan Arung Palakka yang bernama La Pattikkeng. Konon La
Ummasa pernah bermusuhan dengan iparnya selama tiga bulan dan tidak ada
yang kalah. Akhirnya berdamai kembali dan keduanya menyadari bahwa
permusuhan tidak akan membawa keuntungan. Untuk memperluas wilayah
pemerintahannya, La Ummasa menaklukkan wilayah-wilayah sekitarnya,
seperti ; Anro Biring, Majang, Biru, Maloi dan Cellu. La Ummasa tidak
memiliki putra mahkota yang kelak bisa menggantikan kedudukannya sebagai
Mangkau’ di Bone. Dia hanya memiliki anak perempuan,To Suwalle dan To
Sulewakka dari isterinya yang berasal dari orang biasa atau bukan
turunan bangsawan. Oleh karena itu, setelah dia tahu bahwa We Pattanra
Wanuwa akan melahirkan, La Ummasa menyuruh anaknya pergi ke Palakka ke
rumah saudaranya We Pattanra Wanuwa yang diperisterikan oleh Arung
Palakka yang bernama La Pattikkeng. Kepada anaknya To Suwalle dan To
Sulewakka, La Ummasa berpesan ; ”Kalau Puammu telah melahirkan, maka
ambil anak itu dan bawa secepatnya kemari. Nanti di sini baru dipotong
ari-arinya dan ditanam tembuninya”. Tidak berapa lama setelah To Suwalle
dan To Sulewakka tiba di istana We Pattanra Wanuwa, lahirlah anak
laki-laki yang sehat dan memiliki rambut yang tegak ke atas (Bugis :
karang) sehingga dinamakan Karampeluwa. Ketika anaknya dibawa ke Bone,
Arung Palakka tidak ada di tempat dan tindakan itu menyakitkan hatinya.
Sesampainya di istana Arumpone, bayi tersebut barulah dipotong
ari-arinya dan dicuci darahnya. Bayi itu dipelihara oleh saudara
perempuan Arumpone yang bernama We Samateppa. Arumpone La Ummasa
mengundang seluruh rakyatnya untuk datang berkumpul dan membawa senjata
perang. Keesokan harinya berkumpullah seluruh rakyat lengkap dengan
senjata perangnya. Dikibarkanlah bendera WoromporongE dan turunlah
Arumpone di Baruga menyampaikan ; ”Saya undang kalian untuk mendengarkan
bahwa saya telah mempunyai anak laki-laki yang bernama La Saliyu
Karampeluwa. Mulai hari ini saya menyerahkan kedudukan saya sebagai
Arumpone. Dan kepadanya pula saya serahkan untuk melanjutkan perjanjian
yang pernah disepakati antara Puatta ManurungE ri Matajang dengan orang
Bone”. Seluruh orang Bone mengiyakan kemudian mangngaru (mengucapkan
sumpah setia). Dilantiklah La Saliyu Karampeluwa oleh pamannya La Ummasa
menjadi Arumpone. Acara pelantikan itu berlangsung selama tujuh hari
tujuh malam. Dalam acara itu pula nariule sulolona (selamatan atas
lahirnya) dan ditanam tembuninya. Setelah itu dinaikkanlah La Saliyu
Karampeluwa ke LangkanaE (istana). Sejak dilantiknya La Saliyu
Karampeluwa menjadi Arumpone, maka setiap La Ummasa akan bepergian
selalu menyampaikan kepada pengasuhnya dalam hal ini saudaranya sendiri
yang bernama We Samateppa. Suatu saat La Ummasa sakit keras yang
menyebabkan ia meninggal dunia, maka digelarlah ; La Ummasa Mulaiye
Panreng (orang mula-mula dikuburkan).
3. LA SALIYU KARAMPELUWA (1424 – 1496)
Dialah yang menggantikan pamannya menjadi
Arumpone. Kedudukannya ini diterima dari pamannya sejak berusia satu
malam (masih bayi). Kalau ada sesuatu yang akan diputuskan maka To
Suwalle yang memangkunya menjadi juru bicaranya. Kemudian yang bertindak
selaku Makkedang Tana adalah To Sulewakka. Ketika memasuki usia dewasa,
barulah La Saliyu Karampeluwa mengunjungi orang tuanya di Palakka.
Sesampainya di Palakka, kedua orang tuanya sangat gembira dan
diberikanlah pusakanya yang menjadi miliknya, juga Pasar Palakka. Sejak
itu orang tidak lagi berpasar di Palakka tapi pindah ke Bone. La Saliyu
Karampeluwa dikawinkan oleh orang tuanya dengan sepupunya yang bernama
We Tenri Roppo anak pattola (putri mahkota) Arung Paccing. Dari
perkawinan itu lahirlah We Banrigau atau Daeng Marowa, We Pattana Daeng
Mabela yang digelar MakkaleppiE kemudian menjadi Arung Majang. Sementara
bagi orang Bukaka, sebahagian dibawa ke Majang. Mereka itulah yang
menjadi rakyat MakkaleppiE yang mendirikannya Sao LampeE di Bone, yang
diberi nama Lawelareng. Oleh karena itu, maka digelarlah MakkaleppiE –
Massao LampeE Lawelareng. Bagi orang banyak menyebutnya ; Puatta
Lawelareng. Pada masa pemerintahannya, La Saliyu Karampeluwa sangat
dicintai oleh rakyatnya karena memiliki sifat-sifat ; rajin, jujur,
cerdas, adil dan bijaksana. Ia juga dikenal pemberani dan tidak pernah
gentar menghadapi musuh. Konon sejak masih bayi tidak pernah terkejut
bila mendengarkan suara-suara aneh atau suara-suara besar. La Saliyu
Karampeluwa pulalah yang memulai mengucapkan ada passokkang (mosong /
angngaru) terhadap musuh, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh
arung-arung terdahulu seperti yang tercatat dalam Galigo. Ia pula yang
membuat bate (bendera) yang bernama ; CellaE ri abeo dan CellaE ri atau
(Merah di sebelah kiri dan Merah di sebelah kanan WoromporongE). Pada
saat itu orang Bone terbagi atas tiga bahagian dan masing-masing
bahagian bernaung di bawah bendera tersebut. Yang bernaung di bawah
bendera WoromporongE adalah Arumpone sendiri dan orang Majang sebagai
pembawanya. Yang bernaung di bawah bendera CellaE ri atau adalah orang
Paccing, Tanete, Lemolemo, Melle, Macege, Belawa pembawanya adalah Kajao
Paccing. Sedangkan yang bernaung di bawah bendera CellaE ri abeo adalah
orang Araseng, Ujung, Ta’, Katumpi, Padaccengnga, Madello, pembawanya
adalah Kajao Araseng. Untuk memperluas wilayah kerajaannya, La Saliyu
Karampeluwa menaklukkan negeri-negeri sekitarnya seperti ; Pallengoreng,
Sinri, Anro Biring, Melle, Sancereng, Cirowali, Bakke, Apala, Tanete,
Attang Salo, Soga, Lampoko, Lemoape, Bulu Riattang Salo, Parigi, Lompu.
Pada masa pemerintahannya dia mempersatukan orang Bone dengan orang
Palakka yang membuat Palakka sebagai wilayah bawahan dari Bone. Beberapa
negeri berikutnya menyatakan diri bernaung di bawah pemerintahannya,
seperti ; LimampanuwaE ri Alau Ale’ (Lanca, Otting, Tajong, Ulo dan
Palongki). Datang pula Arung Baba UwaE yang bernama La Tenri Waru
menemui menantunya menyatakan bernaung di bawah Kerajaan Bone. Begitu
pula Arung Barebbo dan Arung Pattiro yang bernama La Paonro menemui
iparnya menyatakan bernaung di bawah Kerajaan Bone, juga Arung Cina,
Ureng dan Pasempe. Arung Kaju yang bernama La Tenri Bali di samping
datang untuk menyatakan diri bergabung dengan Bone, sekaligus melamar
anak Arumpone yang bernama We Banrigau dan dutanya diterima. Selanjutnya
Arung Ponre, LimaE Bate ri Attangale’, AseraE Bate ri Awangale’ datang
bergabung dengan Bone. Boleh dikata pada saat pemerintahannya, seluruh
wilayah disekitarnya menyatakan diri bergabung dengan Bone. La Saliyu
Karampeluwa dikenal sangat mencintai dan menghormati kedua orang tuanya.
Hamba sendirinya dikeluarkan dari Saoraja dan ditempatkan di Panyula.
Sementara hamba yang didapatkan setelah menjadi Arumpone di tempatkan di
Limpenno. Orang Panyula dan orang Limpennolah yang mempersembahkan
ikan. Dia pula yang menjadi pendayung perahunya dan pengusungnya jika
Arumpone bepergian jauh. Setelah genap 72 tahun menjadi Mangkau’ di
Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan bahwa ; ”Saya
mengumpulkan kalian untuk memberitahukan bahwa mengingat usia saya sudah
tua dan kekuatan saya sudah semakin melemah, maka saya bermaksud untuk
memindahkan kekuasaan saya sebagai Mangkau’ di Bone. Pengganti saya
adalah anak saya yang bernama We Banrigau Daeng Marowa yang digelar
MakkaleppiE”. Mendengar itu, semua orang Bone menyatakan setuju. Maka
dikibarkanlah bendera WoromporongE. Setelah itu berkata lagi Arumpone ;
”Di samping saya menyerahkan kekuasaan, juga saya serahkan perjanjian
yang telah disepakati oleh orang Bone dengan Puatta Mulaiye Panreng
untuk dilanjutkan oleh anak saya”.Setelah orang Bone kembali, hanya satu
malam saja Arumpone meninggal dunia. Anak La Saliyu Karampeluwa dengan
isterinya We Tenri Roppo Arung Paccing, adalah ; We Banrigau Daeng
Marowa MakkaleppiE kawin dengan sepupunya yang bernama La Tenri Bali
Arung Kaju. Dari perkawinan itu lahirlah La Tenri Sukki, La Panaungi To
Pawawoi Arung Palenna, La Pateddungi To Pasampoi, La Tenri Gora Arung
Cina juga Arung di Majang, La Tenri Gera’ To Tenri Saga, La Tadampare
(meninggal dimasa kecil), We Tenri Sumange’ Da Tenri Wewang, We Tenri
Talunru Da Tenri Palesse. Adapun anak La Saliyu Karampeluwa dari
isterinya yang bernama We Tenro Arung Amali yaitu La Mappasessu kawin
dengan We Tenri Lekke’. La Saliyu Karampeluwa tiga bersaudara. Saudara
perempuannya yang bernama We Tenri Pappa kawin dengan La Tenri Lampa
Arung Kaju melahirkan La Tenri Bali (suami We Banrigau), sedangkan
saudara perempuannya yang bernama We Tenri Roro kawin dengan La Paonro
Arung Pattiro, lahirlah La Settia Arung Pattiro yang selanjutnya kawin
dengan We Tenri Bali.
4. WE BANRIGAU DAENG MAROWA (1496 – 1516)
We Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE
menggantikan ayahnya La Saliyu Karampeluwa sebagai Mangkau’ di Bone. We
Banrigau digelar pula Bissu Lalempili dan Arung Majang. Ketika menjadi
Mangkau’ di Bone, We Banrigau menyuruh Arung Katumpi yang bernama La
Datti untuk membeli Bulu’ Cina (gunung Cina) senilai 90 ekor kerbau
jantan. Akhirnya gunung yang terletak di sebelah barat Kampung Laliddong
itu benar-benar dibelinya. Kemudian disuruhlah Arung Katumpi untuk
menempati gunung tersebut dan sekaligus menjaganya. Karena jennang
(penjaga) gunung Arumpone dibunuh oleh orang Katumpi, maka digempurlah
Katumpi oleh orang Bone sehingga dirampaslah sawahnya yang ada di
sebelah timur dan barat Kampung Laliddong. Saudaranya yang bernama La
Tenri Gora itulah yang diserahkan Majang dan Cina, maka La Tenri Gora
disebut sebagai Arung Majang dan Arung Cina. Sedangkan anak pertamanya
yang bernama La Tenri Sukki dipersiapkan untuk menjadi Mangkau’ di Bone.
Setelah kurang lebih 18 tahun lamanya dipersiapkan untuk memangku
Kerajaan di Bone, maka dilantiklah La Tenri Sukki menjadi Mangkau’ di
Bone dan menempati Saoraja Bone. MakkaleppiE bersama anak bungsunya yang
bernama La Tenri Gora memilih untuk bertempat tinggal di Cina. Suatu
saat ketika berada di Cina, MakkaleppiE naik ke atas loteng rumahnya.
Tiba-tiba ada api yang menyala di atas loteng (menurut keyakinan orang
disebut = api dewata). Setelah api itu padam, maka MakkaleppiE tidak
nampak lagi di tempat duduknya. Oleh karena itu, We Banrigau Daeng
Marowa dinamakan MallajangE ri Cina. La Tenri Sukki yang menggantikan
ibunya sebagai Arumpone kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We
Tenri Songke, anak dari La Mappasessu dengan We Tenri Lekke. Dari
perkawinan ini lahirlah La Uliyo Bote’E. La Panaongi To Pawawoi yang
kemudian menjadi Arung Palenna. La Panaongi kawin dengan We Tenri Esa’
Arung Kaju saudara perempuan We Tenri Songke. Dari perkawinan ini
lahirlah La Pattawe Daeng Sore MatinroE ri Bettung. Anak La Tenri Sukki
yang lain adalah ; La Pateddungi To Pasampoi kawin dengan We Malu Arung
Toro melahirkan anak perempuan yang bernama We Tenri Rubbang Arung
Pattiro. La Tenri Gera’ To Tenri Saga MacellaE Weluwa’na menjadi Arung
di Timpa. Inilah yang kemudian kawin dengan We Tenri Sumpala Arung
Mampu, anak dari La Potto To Sawedi Arung Mampu Riaja dengan isterinya
We Cikodo Datu Bunne. Dari perkawinan ini lahirlah We Mappewali I
Damalaka. Inilah yang kawin dengan anak sepupunya yang bernama La Gome
To Saliwu Riwawo, lahirlah La Saliwu Arung Palakka dan juga Maddanreng
di Mampu. La Saliwu kemudian kawin dengan MassalassaE ri Palakka yang
bernama We Lempe, lahirlah La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng.
Selanjutnya La Tenri Sukki melahirkan La Tadampare (meninggal dimasa
kecil). Berikutnya We Tenri Sumange I Da Tenri Wewang kawin dengan La
Tenri Giling Arung Pattiro MaggadingE anak dari La Settia Arung Pattiro
dengan isterinya We Tenri Bali. Lahirlah We Tenri Wewang DenraE yang
kemudian kawin dengan sepupunya La Uliyo Bote’E. Anak berikutnya adalah
We Tenri Talunru I Da Tenri Palesse. Kemudian We Tenri Gella kawin
dengan La Malesse Opu Daleng Arung Kung. Lahirlah We Tenri Gau yang
kemudian kawin dengan La Uliyo Bote’E, lahirlah We Temmarowe Arung Kung.
Inilah yang kawin dengan La Polo Kallong anak La Pattanempunga, turunan
ManurungE ri Batulappa
5. LA TENRI SUKKI (1516 – 1543)
Inilah Mangkau’ di Bone yang diserang oleh Datu
Luwu yang bernama Dewa Raja yang digelar Batara Lattu. Mula-mula orang
Luwu mendarat di Cellu dan disitulah membuat pertahanan. Sementara orang
Bone berkedudukan di Biru-biru. Adapun taktik yang dilakukan oleh orang
Bone adalah memancing orang Luwu dengan beberapa perempuan. Pancingan
ini berhasil mengelabui orang Luwu sehingga pada saat perang berlangsung
orang Luwu yang pada mulanya menyangka tidak ada laki-laki, bersemangat
menghadapi perempuan-perempuan tersebut. Namun dari belakang muncul
laki-laki dengan jumlah yang amat banyak, sehingga orang Luwu berlarian
ke pantai untuk naik ke perahunya. Dalam perang itu orang Bone berhasil
merampas bendera orang Luwu. Setelah perang selesai, Arumpone dan Datu
Luwu mengadakan pertemuan. Arumpone mengembalikan payung warna merah itu
kepada Datu Luwu, tetapi Datu Luwu mengatakan ; ”Ambillah itu payung
sebab memang engkaulah yang dikehendaki oleh DewataE (Tuhan) untuk
bernaung di bawahnya. Walaupun bukan karena perang engkau ambil, saya
akan tetap berikan. Apalagi saya memang memiliki dua payung”. Mulai dari
peristiwa itu , La Tenri Sukki digelar MappajungE (memakai payung).
Selanjutnya La Tenri Sukki mengadakan lagi pertemuan dengan Datu Luwu To
Serangeng Dewa Raja dan lahirlah suatu perjanjian yang bernama ; Polo
MalelaE ri Unynyi (gencatan senjata di Unynyi). Dalam perjanjian ini
Arumpone La Tenri Sukki berkata kepada Datu Luwu ; ”Alangkah baiknya
kalau kita saling menghubungkan Tanah Bone dengan Tanah Luwu”. Dijawab
oleh Datu Luwu ; ”Baik sekali pendapatmu itu, Arumpone”. Merasa
ajakannya disambut baik,Arumpone berkata ; ”Kalau ada yang keliru, mari
kita saling mengingatkan – kalau ada yang rebah mari kita saling
menopang – dua hamba satu Arung – tindakan Luwu adalah tindakan Bone –
tindakan Bone adalah tindakan Luwu – baik dan buruk kita bersama – tidak
saling membunuh – saling mencari kebaikan – tidak saling mencurigai –
tidak saling mencari kesalahan – walaupun baru satu malam orang Luwu
berada di Bone, maka menjadilah orang Bone – walaupun baru satu malam
orang Bone berada di Luwu, maka menjadilah orang Luwu – bicaranya Luwu,
bicaranya Bone – bicaranya Bone, bicaranya Luwu – adatnya Luwu, adatnya
juga Bone, begitu pula sebaliknya – kita tidak saling menginginkan emas
murni dan harta benda – barang siapa yang tidak mengingat perjanjiannya,
maka dialah yang dikutuk oleh Dewata SeuwaE sampai kepada anak cucunya –
dialah yang hancur bagaikan telur yang jatuh ke batu –” Kalimat ini
diiyakan oleh Datu Luwu To Serangeng Dewa Raja. Perjanjian ini bernama
”Polo MalelaE ri Unynyi” karena terjadi di Kampung Unynyi. Kemudian
keduanya kembali ke negerinya. Dimasa pemerintahan La Tenri Sukki,
pernah pula terjadi permusuhan antara orang Bone dengan orang Mampu.
Pertempuran terjadi di sebelah selatan Itterung, diburu sampai di
kampungnya. Arung Mampu yang bernama La Pariwusi kalah dan menyerahkan
persembahan kepada Arumpone. Arung Mampu berkata ; ”Saya serahkan
sepenuhnya kepada Arumpone, asalkan tidak menurunkan saya dari
pemerintahanku”. Arumpone menjawab ; ”Saya akan mengembalikan
persembahanmu dan saya akan mendudukkanmu sebagai Palili (wilayah
bawahan) di Bone. Akan tetapi engkau harus berjanji untuk tidak berpikir
jelek dan jujur sebagai pewaris harta benda”. Sesudah itu, dilantiklah
Arung Mampu memimpin kampungnya dan kembalilah Arumpone ke Bone. La
Tenri Sukki menjadi Mangkau’ di Bone selama 20 tahun, akhirnya menderita
sakit. Dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan ; ”Saya
sekarang dalam keadaan sakit, apabila saya wafat maka yang menggantikan
saya adalah anakku yang bernama ; La Uliyo”. Setelah pesan itu
disampaikan, ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Anak La Tenri
Sukki dari isterinya We Tenri Songke, adalah ; La Uliyo Bote’E kawin
dengan sepupunya yang bernama We Tenri Wewang DenraE, anak saudara
kandung La Tenri Sukki yang bernama We Tenri Sumange’ dengan suaminya
yang bernama La Tenri Giling Arung Pattiro MaggadingE. Dari perkawinan
ini lahirlah La Tenri Rawe BongkangE, La Inca, We Lempe, We Tenri
Pakkuwa. Selain La Uliyo, ialah ; We Denra Datu, We Sida (tidak
disebutkan dalam lontara’ yang digulung). We Sida Manasa kawin dengan La
Burungeng Daeng Patompo, anak dari La Panaongi To Pawawoi Arung Palenna
dari isterinya yang bernama We Mappasunggu. Dari perkawinan ini
lahirlah anak laki-laki yang bernama La Paunru Daeng Kelli.
6. LA ULIYO BOTE’E (1543 – 1568)
La Uliyo Bote’E menggantikan ayahnya La Tenri
Sukki sebagai Mangkau’ di Bone. Digelar Bote’E karena dia memiliki
postur tubuh yang subur (gempal). Konon sewaktu masih kanak-kanak ia
sudah kelihatan besar dan kalau diusung, pengusung lebih dari tujuh
orang. La Uliyo dikenal suka menyabung ayam, kawin dengan We Tenri
Wewang DenraE anak Arung Pattiro MaggadingE dengan isterinya We Tenri
Sumange’. Arumpone inilah yang pertama didampingi oleh Kajao Laliddong.
Dia pulalah yang mengadakan perjanjian dengan KaraengE ri Gowa yang
bernama Daeng Matanre. Dalam perjanjian tersebut dijelaskan
Sitettongenna SudengngE – Lateya Riduni di Tamalate ; ”Kalau ada
kesulitan Bone, maka laut akan berdaun untuk dilalui oleh orang
Mangkasar. Kalau ada kesulitan orang Gowa, maka gundullah gunung untuk
dilalui orang Bone. Tidak saling mencurigai, tidak saling bermusuhan
Bone dengan Gowa, saling menerima dan saling memberi, siapa yang
memimpin Gowa, dialah yang melanjutkan perjanjian ini, siapa yang
memimpin Bone dialah yang melanjutkan perjanjian ini sampai kepada anak
cucunya. Barang siapa yang mengingkari perjanjian ini, pecahlah periuk
nasinya – seperti pecahnya telur yang jatuh ke batu”. Arumpone inilah
yang mengalahkan Datu Luwu yang tinggal di Cenrana. Pada masa
pemerintahannya pulalah Bone mulai dikuasai oleh Gowa. Dalam lontara’
dijelaskan bahwa KaraengE ri Gowa duduk bersama Arumpone di sebelah
selatan Laccokkong. Pada saat itu antara orang Bone dengan orang Gowa
saling membunuh. Kalau orang Gowa yang membunuh, maka Arumpone yang
mengurus jenazahnya. Begitu pula kalau orang Bone yang membunuh, maka
KaraengE ri Gowa yang mengurus jenazahnya. Arumpone ini pula yang
menemani KaraengE ri Gowa pergi meminta persembahan orang Wajo di
Topaceddo. Setelah genap 25 tahun menjadi Mangkau’ di Bone,
dikumpulkanlah seluruh orang Bone. Setelah semuanya berkumpul,
disampaikanlah bahwa ; ”Saya akan menyerahkan Akkarungeng ini kepada
anakku yang bernama La Tenri Rawe”. Mendengar pernyataan Arumpone
tersebut, seluruh orang Bone setuju. Maka dilantiklah anaknya menjadi
Arumpone. Acara pelantikan itu berlangsung meriah selama tujuh hari
tujuh malam. Karena kedudukannya sebagai Arumpone telah diserahkan
kepada anaknya, maka La Uliyo Bote’E hanya bolak balik antara isterinya
di Bone dengan isterinya di Mampu. La Uliyo Bote’E pernah memarahi
kemenakannya yang bernama La Paunru dengan sepupunya yang menjadi Arung
Paccing yang bernama La Mulia. Keduanya pergi meminta bantuan kepada
Kajao Laliddong agar diminta maafkan. Tetapi sebelum rencana itu
terlaksana, La Uliyo Bote’E pergi ke Mampu untuk menyabung ayam.
Tiba-tiba ia melihat kemenakannya dan sepupunya membuat hatinya semakin
dongkol. Ia pun segera kembali ke Bone. La Paunru dan La Mulia
berpendapat lebih baik kita menyerahkan diri kepada Kajao Laliddong di
Bone untuk selanjutnya diminta maafkan kepada Bote’E. Makanya setelah
Bote’E meninggalkan Mampu, keduanya mengikut dari belakang. Setelah
sampai di Itterung, La Uliyo Bote’E menoleh ke belakang, dilihatnya La
Paunru bersama La Mulia berjalan mengikutinya. Karena disangkanya La
Paunru dan La Mulia berniat jahat terhadapnya, maka ia pun berbalik
menyerangnya. La Paunru dan La Mulia walaupun tidak bermaksud melawan,
namun karena terdesak oleh serangan La Uliyo akhirnya keduanya terpaksa
melawan. Dalam perkelahian tersebut, baik La Paunru maupun La Uliyo
tewas di tempat, sedangkan La Mulia dibunuh oleh orang yang datang
membantu La Uliyo.Sejak itu, digelarlah La Uliyo Bote’E MatinroE ri
Itterung. Adapun anak La Uliyo Bote’E dari isterinya yang bernama We
Tenri Wewang DenraE, adalah La Tenri Rawe BongkangE. Inilah yang
menggantikannya sebagai Mangkau’ di Bone. La Tenri Rawe kawin dengan We
Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE. Anak berikutnya adalah La Inca,
dialah yang menggantikan saudaranya menjadi Mangkau’ di Bone. La Inca
kawin dengan janda saudaranya, We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE.
Anaknya yang berikut, We Lempe yang kawin dengan sepupu dua kalinya yang
bernama La Saliwu Arung Palakka, anak dari We Mangampewali I Damalaka
dengan suaminya La Gome. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Ruwa
Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng. Selanjutnya We Tenri Pakkuwa, kawin
dengan La Makkarodda To Tenri Bali Datu Mario. Sesudah We Tenri Pakkuwa
adalah We Danra MatinroE ri Bincoro. Tidak disebutkan turunannya dalam
lontara’ Adapun anak La Uliyo Bote’E dari isterinya yang bernama We
Tenri Gau Arung Mampu adalah We Balole I Dapalippu. Inilah yang kawin
dengan paman sepupu ayahnya yang bernama La Pattawe Arung Kaju MatinroE
ri Bettung, anak dari saudara La Tenri Sukki MappajungE yang bernama La
Panaongi To Pawawoi Arung Palenna dengan isterinya We Tenri Esa’ Arung
Kaju. Sesudah We Balole adalah Sangkuru’ Dajeng Petta BattowaE Massao
LampeE ri Majang. Dia digelar pula sebagai Arung Kung, tidak disebutkan
keturunannya dalam lontara’.
7. LA TENRI RAWE BONGKANGE (1568 – 1584)
La Tenri Rawe BongkangE menggantikan ayahnya La
Uliyo Bote’E menjadi Arumpone. La Tenri Rawe kawin dengan We Tenri Pakiu
Arung Timurung MaccimpoE anak dari La Maddussila dengan isterinya We
Tenri Lekke. La Tenri Rawe dengan isterinya Arung Timurung melahirkan
anak yang bernama ; La Maggalatung, inilah yang dipersiapkan untuk
menjadi putra mahkota menggantikan ayahnya sebagai Arumpone, dia
meninggal dunia semasa kecil. Yang kedua bernama ; La Tenri Sompa
dipersiapkan untuk menjadi Arung Timurung, tetapi juga meninggal karena
dibunuh oleh orang yang bernama Dangkali. Ketika menjadi Mangkau’ di
Bone, La Tenri Rawe sangat dicintai oleh orang banyak karena memiliki
sifat-sifat seperti ; berbudi pekerti yang baik, jujur, dermawan, adil
dan sangat bijaksana. Dia tidak membedakan antara keluarganya yang
memiliki turunan bangsawan dengan keluarganya dari orang biasa. Sebagai
Arumpone, La Tenri Rawe yang pertamalah membagi tugas-tugas
(makkajennangeng) seperti: yang bertugas mengurus jowa (pengawal), yang
bertugas mengurus anak bangsawan dan yang mengurus wanuwa. Pada masa
pemerintahannya pernah dikunjungi oleh KaraengE ri Gowa masuk ke Bone
untuk menyabung ayam. Dalam pertarungan itu, ayam KaraengE ri Gowa
terbunuh oleh ayam Arumpone dengan taruhan seratus kati. Pada masa
pemerintahannya pula seluruh orang Ajangale’ datang menggabungkan diri
di Bone. Ditaklukkanlah Awo Teko, Attassalo dan lain-lain. TellumpoccoE
juga datang menggabungkan Babanna Gowa di Bone dan diterima kemudian
didudukkanlah sebagai daerah bawahan dari Bone. Hal ini membuat KaraengE
ri Gowa marah dan menyusul masuk ke Bone. Bertemulah orang Gowa dengan
orang Bone di sebelah selatan Mare dan berperang selama tujuh hari tujuh
malam, baru berdamai. Jelaslah kekuasaan orang Bone pada bahagian
selatan Sungai Tangka ke atas. Datu Soppeng Rilau yang diturunkan dari
tahtanya datang ke Bone untuk minta perlindungan. Karena Datu Soppeng
Rilau yang bernama La Makkarodda To Tenri Bali MabbeluwaE merasa
terdesak. Tidak lama setelah berada di Bone, ia pun kawin dengan saudara
Arumpone yang bernama We Tenri Pakkuwa. Dari perkawinannya itu lahir
anak perempuan , We Dangke atau We Basi LebaE ri Mario Riwawo. Saudara
Arumpone yang bernama We Lempe kawin dengan sepupu dua kalinya yang
bernama La Saliwu Arung Palakka. Dari perkawinannya itu melahirkan anak ;
La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng kawin dengan sepupu satu kalinya
yang bernama We Dangke. La Tenri Ruwa adalah nenek MatinroE ri Bontoala.
Suatu saat, Bone didatangi oleh Gowa dan terjadilah perang di Cellu.
Perang berlangsung selama lima hari lima malam dan orang Gowa mundur.
Dua tahun kemudian datang KaraengE ri Gowa untuk menyerang lagi. Kali
ini perang berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Orang Gowa
mengambil tempat pertahanan di Walenna, tetapi KaraengE ri Gowa
tiba-tiba terserang penyakit, maka ia harus kembali ke kampungnya.
Konon, ketika sampai di Gowa ia pun meninggal dunia. Hanya kurang lebih
dua bulan kemudian, datang lagi KaraengE ri Gowa yang bernama Daeng
Parukka yang menggantikan ayahnya untuk kembali menyerang Bone.
Mendengar bahwa Gowa kembali, maka seluruh orang Ajangale’ dan orang
Timurung datang membantu Bone. Adapun Limampanuwa Rilau Ale’
berkedudukan di Cinennung. Sementara orang Awampone berkedudukan di
Pappolo berdekatan dengan benteng pertahanan KaraengE ri Gowa.
Terjadilah perang yang sangat dahsyat. Orang Gowa menyerbu ke arah
selatan, membakar Kampung Bukaka dan Takke Ujung. Akhirnya Karaeng Gowa
tewas terbunuh. Daeng Padulung salah seorang pembesar Gowa yang menjadi
pemimpin perang nampaknya sudah kewalahan menghadapi serangan orang
Bone. Oleh karena itu Karaeng Tallo memerintahkan utusannya untuk
menemui Arumpone. Adapun yang disampaikan oleh utusan Karaeng Tallo
adalah ; ”Kami telah kehilangan dua Karaeng (pemimpin) yaitu satu tewas
di tempat tidur dan satu lagi tewas di lapangan. Tetapi sekarang kami
menghendaki kebaikan”. Berkata Kajao Laliddong ; ”Kalau begitu
pendapatmu, besok pagi saya akan menemui KaraengE”. Keesokan harinya
keluarlah Kajao Laliddong selaku penasehat Arumpone untuk menemui
KaraengE ri Tallo. Dalam pertemuannya itu, terjadilah kesepakatan
mengangkat Daeng Patobo menjadi Karaeng ri Gowa. Ketika menjadi Arumpone
La Tenri Rawe BongkangE pernah bertentangan dengan Datu Luwu yang
bernama Sagariya karena orang Luwu naik lagi ke Cenrana. Maka wanuwa
Cenrana telah dua kali direbut dengan kekuatan senjata (riala bessi)
oleh orang Bone. Untuk memperkuat kedudukan Bone sebagai suatu kerajaan
yang tangguh, La Tenri Rawe menjalin hubungan kerja sama dengan Arung
Matowa Wajo yang bernama To Uddamang. Begitu juga dengan Datu Soppeng
yang bernama PollipuE. Maka diadakanlah pertemuan di Cenrana untuk
memperkuat hubungan antara Bone, Soppeng dan Wajo. Adapun kesepakatan
yang diambil di Cenrana adalah ketiganya akan mengadakan pertemuan
lanjutan di Timurung. Setelah sampai pada waktu yang telah ditentukan,
maka berkumpullah orang Bone, orang Soppeng dan orang Wajo di suatu
tempat yang bernama Bunne. Ketiganya mengucapkan ikrar ;
”Tessiabiccukeng – Tessiacinnai ulaweng tasa – Pattola malampe
waramparang maega” (tidak saling memandang rendah – tidak saling iri
hati – saling mengakui kepemilikan). Setelah itu barulah ketiganya
mallamumpatu (meneggelamkan batu) sebagai tanda kuatnya perjanjian
tersebut, sehingga disebutlah – LamumpatuE ri Timurung. Inilah catatan
yang menjelaskan TellumpoccoE (Bone – Soppeng – Wajo) yang terkandung
dalam perjanjian yang diadakan oleh La Tenri Rawe BongkangE (Bone), To
Uddamang (Wajo) dan La Mata Esso (Soppeng). Ketika sampai pada hari yang
telah disepakati, bertemulah di Timurung. Datanglah Arumpone, diikuti
oleh seluruh Palili Bone. Datang juga Arung Matowa Wajo yang bernama La
Mungkace To Uddamang MatinroE ri Kanana. Selanjutnya datang juga Datu
Soppeng yang bernama La Mappaleppe PatolaE Arung Belo MatinroE ri
Tanana. Diikuti pula oleh seluruh Palili Soppeng dan Wajo. Pertemuan
tiga kerajaan yang lebih dikenal dengan nama Pertemuan TellumpoccoE
tersebut diadakan di Timurung di suatu kampung kecil yang bernama Bunne.
Dalam pertemuan tersebut Arung Matowa Wajo bertanya kepada Arumpone ;
”Bagaimana mungkin Arumpone, untuk kita hubungkan tanah kita bertiga,
sementara Wajo adalah kekuasaan Gowa. Kemudian kita tahu bahwa antara
Bone dengan Gowa juga memiliki hubungan yang kuat”. Arumpone menjawab ;
”Itu pertanyaan yang bagus Arung Matowa. Tetapi yang menjalin hubungan
disini adalah Bone, Soppeng dan Wajo. Selanjutnya Bone menjalin hubungan
dengan Gowa. Kalau Gowa masih mau menguasai Wajo, maka kita bertiga
melawannya”. Pernyataan Arumpone tersebut diiyakan oleh Arung Matowa
Wajo. Berkata pula PollipuE ri Soppeng ; ”Bagus sekali pendapatmu
Arumpone, tanah kita bertiga bersaudara. Tetapi saya minta agar tanah
Soppeng adalah pusaka tanah Bone dan Wajo. Sebab yang namanya
bersaudara, berarti sejajar”. Arumpone menjawab ; ”Bagaimana pendapatmu
Arung Matowa, sebab menurutku apa yang dikatakan oleh PollipuE adalah
benar”. Arung Matowa Wajo menjawab ; ”Saya kira tanah kita bertiga akan
rusak apabila ada yang namanya – sipoana’ (ada yang menganggap dirinya
tua dan ada yang muda). Berkata lagi Arumpone ; ”Saya setuju dengan itu,
tetapi tidak apalah saya berikan kepada Soppeng Gowagowa dan sekitarnya
untuk penambah daki, agar tanah kita bertiga tetap bersaudara”. Berkata
pula Arung Matowa Wajo ; ”Bagus pendapatmu Arumpone, saya juga akan
memberikan Soppeng penambah daki yaitu Baringeng, Lompulle dan
sekitarnya”. Datu Soppeng dan Tau TongengE berkata ; ”Terima kasih atas
maksud baikmu itu, karena tanah kita bertiga telah bersaudara, tidak
saling menjerumuskan kepada hal yang tidak dikehendaki, kita bekerja
sama dalam hal yang kita sama kehendaki”. Berkata Arumpone dan Arung
Matowa Wajo ; ”Kita bertiga telah sepakat, maka baiklah kita bertiga
meneggelamkan batu, disaksikan oleh Dewata SeuwaE, siapa yang
mengingkari perjanjiannya dialah yang ditindis oleh batu itu”.
Berkatalah Arung MatowaE ri Wajo kepada Kajao Laliddong sebagai orang
pintarnya Bone ; ”Janganlah dulu menanam itu batu, Kajao! Sebab saya
masih ada yang akan kukatakan bahwa persaudaraan TellumpoccoE tidak akan
saling menjatuhkan, tidak saling berupaya kepada hal-hal yang buruk,
janganlah kita mengingkari perjanjian, siapa yang tidak mau diingatkan,
dialah yang kita serang bersama (diduai), dia yang kita tundukkan”.
Pernyataan Arung MatowaE tersebut disetujui oleh Arumpone dan Datu
Soppeng. Setelah itu ketiganya berikrar untuk ; ”Malilu sipakainge –
rebba sipatokkong – sipedapiri ri peri’ nyameng – tellu tessibaicukkeng –
tessi acinnai ulaweng tasa – pattola malampe waramparang maega – iya
teya ripakainge iya riadduai” (yang khilaf diingatkan – yang rebah
ditopang – saling menyampaikan kesulitan dan kesenangan – tiga tidak ada
yang dikecilkan – tidak saling merebut kekayaan – saling mengakui hak
kepemilikan). Inilah isi perjanjian TellumpoccoE yang ditindis batu di
Timurung, disaksikan oleh Dewata SeuwaE. Ikrar kesetiaan ini dipegang
erat-erat oleh ketiganya. Dua tahun setelah perjanjian TellumpoccoE, La
Tenri Rawe BongkangE memanggil saudaranya yang bernama La Inca. Kepada
La Inca, La Tenri Rawe menyampaikan bahwa setelah sampai ajalnya, maka
saudaranyalah La Inca yang diserahkan kedudukan sebagai Mangkau’ di
Bone karena dirinya tidak memiliki anak pattola (putra mahkota). Karena
pada saat meninggal, jenazahnya dibakar dan abunya dimasukkan ke dalam
guci, maka digelarlah La Tenri Rawe BongkangE MatinroE ri Gucinna.
8. LA INCA (1584 – 1595)
Menggantikan saudaranya La Tenri Rawe sebagai
Arumpone. Kedudukan ini memang telah diserahkan ketika La Tenri Rawe
masih hidup. Bahkan La Tenri Rawe berpesan kepadanya agar nanti kalau
sampai ajalnya, La Inca dapat mengawini iparnya (isteri La tenri Rawe)
yaitu We Tenri Pakiu Arung Timurung. Setelah menjadi Mangkau’, KaraengE
ri Gowa datang untuk menyerang Bone. Ternyata La Inca tidak mewarisi
kepemimpinan yang telah dilakukan oleh saudaranya. Banyak
langkah-langkahnya yang sangat merugikan orang banyak. Para Arung Lili
dimarahi dan dihukumnya. Salah seorang Arung Lili yang bernama La
Patiwongi To Pawawoi diasingkan ke Sidenreng. Karena sudah terlalu lama
berada di Sidenreng, maka ia pun kembali ke Bone untuk minta maaf. Namun
apa yang dialami setelah kembali ke Bone, dia malah diusir dan dibunuh.
Arung Paccing dan cucunya yang bernama La Saliwu, Maddanreng Palakka
yang bernama To Saliwu Riwawo serta masih banyak lagi bangsawan Bone
yang dibunuhnya. Pada suatu hari dia melakukan tindakan yang sangat
memalukan yaitu mengganggu isteri orang. Karena didapati oleh suaminya,
ia lantas mengancam orang tersebut akan dibunuhnya, sehingga orang
tersebut melarikan diri. Untuk menutupi kesalahannya, isteri orang
tersebut yang dibunuh. Ia pun membakar sebahagian Bone sampai di
Matajang dan Macege. Orang Bone pun mengungsi sampai ke Majang. Melihat
orang Bone pada datang, Arung Majang bertanya ; ”Ada apa gerangan di
Bone?” Dengan ketakutan orang Bone berkata ; ”Kami tidak bisa mengatakan
apa-apa, Puang. Silahkan Puang melihat sendiri bagaimana Bone
sekarang”. Mendengar laporan orang Bone, Arung Majang keluar melihat ke
arah Bone. Disaksikannyalah api yang melalap rumah-rumah penduduk yang
dilakukan oleh La Inca. Arung Majang lalu menyuruh beberapa orang untuk
pergi ke Palakka memanggil I Damalaka. Tidak lama kemudian I Damalaka
tiba di Majang. Sesampainya di rumah Arung Majang ia pun disuruh untuk
ke Bone menghadapi La Inca. I Damalaka menyuruh salah seorang untuk
pergi menemui Arumpone dan menyampaikan agar tindakannya itu dihentikan.
Akan tetapi setelah orang itu tiba di depan La Inca, ia pun dibunuh.
Setelah itu , La Inca lalu membakar semua rumah yang ada di Lalebbata.
Maka habislah rumah di Bone. Mendengar itu, Arung Majang pergi ke Bone
disusul oleh I Damalaka untuk menghadapi La Inca yang tidak lain adalah
cucunya sendiri. “Mari kita menghadapi La Inca, dia bukan lagi sebagai
Arumpone karena telah melakukan pengrusakan”. Berangkatlah semua orang
mengikuti Arung Majang termasuk I Damalaka. Didapatinya La Inca
sendirian di depan rumahnya. Setelah melihat orang banyak datang, La
Inca lalu menyerbu dan menyerang membabi buta. Banyak orang yang
dibunuhnya pada saat itu dan kurang yang mampu bertahan, akhirnya La
Inca kehabisan tenaga. Karena merasa sangat payah, ia pun melangkah
menuju tangga rumahnya. Ia bersandar dengan nafas yang terputus-putus.
Melihat cucunya sekarat, Arung Majang berlari mendekati dan memangku
kepalanya. La Inca pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Oleh karena
itu disebutlah MatinroE ri Addenenna (meninggal di tangga rumahnya).
Adapun anak La Inca MatinroE ri Addenenna dari isterinya We Tenri Pakiu
Arung Timurung MaccimpoE adalah ; La Tenri Pale To Akkeppeang kawin
dengan kemenakannya yang bernama We Palettei KanuwangE anak dari We
Tenri Patuppu dengan suaminya To Addussila. Kemudian La Tenri Pale kawin
lagi dengan We Cuku anak Datu Ulaweng. Dari perkawinan ini lahirlah We
Pakkawe kemudian melahirkan We Panynyiwi Arung Mare. We Panynyiwi kawin
dengan pamannya sepupu dari ibunya MatinroE ri Bukaka. Dari perkawinan
ini lahirlah We Daompo yang kawin dengan La Uncu Arung Paijo. Lahirlah
La Tenri Lejja. Inilah yang melahirkan La Sibengngareng yang kemudian
menjadi Maddanreng di Bone. Anak La Inca berikutnya adalah We Tenri
Sello MakkalaruE kawin dengan kemenakannya yang bernama La Pancai To
Patakka Lampe Pabbekkeng, anak dari We Tenri Pala dengan suaminya To
Alaungeng Arung Sumaling. Lahirlah La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka,
kemudian lahir pula La Tenri Aji MatinroE ri Siang. Selanjutnya lahir We
Tenri Ampa Arung Cellu yang kawin dengan To MannippiE Arung Salangketo
yang kemudian melahirkan We Tenri Talunru.
9. LA PATTAWE (1595 – 1602)
Menggantikan sepupunya La Inca sebagai Mangkau’
di Bone. Dikumpulkanlah seluruh orang Bone oleh Arung Majang. Kepada
orang banyak, Arung Majang berkata ; “Inilah cucuku yang bernama La
Pattawe yang kita sepakati menggantikan sepupunya”. La Pattawe adalah
anak La Panaongi To Pawawoi Arung Palenna saudara kandung La Tenri Sukki
MappajungE dari isterinya We Tenri Esa’ arung Kaju. La Pattawe adalah
anak Arung Palakka turunan MakkaleppiE. Orang Bone sepakat untuk
mengangkat La Pattawe menjadi Mangkau’ di Bone. La Pattawe Daeng Soreang
kawin dengan We Balole I Dapalippu Arung Mampu MassalassaE ri Kaju anak
dari MatinroE ri Itterung dari isterinya We Tenri Gau Arung Mampu yang
selanjutnya melahirkan We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng. We Tenri
Patuppu melahirkan We Tenri Pateya I Dajai yang kawin dengan La
Pangerang Arung Maroanging. Selanjutnya La Pattawe kawin dengan We
Samakella Datu Ulaweng saudara We Tenri Pakiu Arung Timurung, lahirlah
We Parappu Datu Ulaweng. Inilah yang kawin dengan La Papesa Datu Sailong
anak dari La Tenri Adeng Datu Sailong saudara laki-laki We Tenri Pakiu
Arung Timurung. La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng kawin dengan
sepupunya yang bernama We Baji yang biasa juga dinamakan We Dangke LebaE
ri Mario Riwawo. Dari perkawinan ini lahirlah We Tenri Sui Datu Mario
Riwawo. Inilah yang melahirkan La Tenri Tatta Petta To RisompaE dan
nenek MatinroE ri Nagauleng. La Pattawe, tidak terlalu banyak disebut
langkah-langkahnya dalam pemerintahannya. Hanya dikatakan bahwa setelah
tujuh tahun menjadi Mangkau’ di Bone, ia pergi ke Bulukumba dan di
situlah dia sakit. Dia meninggal di Bettung sehingga disebut MatinroE ri
Bettung.
10. WE TENRI PATUPPU (1602 – 1611)
We Tenri Patuppu menggantikan ayahnya menjadi
Arumpone. Inilah Mangkau’ yang mula-mula mengangkat Arung Pitu (tujuh
pemegang adat) di Bone. Ketujuh Matowa (Kepala Wanuwa) yang ditunjuk,
adalah ; Matowa Tibojong (Arung Tibojong), Matowa Ta’ (Arung Ta’),
Matowa Tanete (Arung Tanete), Tanete dipecah menjadi Tanete Riattang dan
Tanete Riawang, Matowa Macege (Arung Macege), Matowa Ujung (Arung
Ujung) dan Matowa Ponceng (Arung Ponceng). We Tenri Patuppu berkata
kepada Arung PituE ; ”Saya mengangkat kalian sebagai Arung Pitu untuk
membantu saya dalam menyelenggarakan pemerintahan di Bone. Hal ini saya
lakukan karena saya adalah seorang perempuan yang tentunya memerlukan
bantuan. Namun perlu kalian tahu bahwa saya mengangkatmu menjadi
pemegang adat, tetapi kalian tetap ; tidak bisa melangkahi adat Bone,
tidak bisa menyatakan perang, tidak bisa mewariskan kepada anak cucu,
kalau saya tidak mengetahuinya. Kacuali apabila duduk semua turunan
MappajungE kemudian direstui oleh Mangkau’ Bone. Pada masa pemerintahan
We Tenri Patuppu di Bone, KaraengE ri Gowa datang ke Ajattappareng
membawa agama Islam. Sepakatlah TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo)
untuk menghalangi, sehingga KaraengE ri Gowa kembali ke kampungnya. Satu
tahun kemudian datang lagi KaraengE ri Gowa ke Padangpadang, dihalangi
lagi oleh TellumpoccoE. Bertemulah di sebelah timur Bulu’ Sitoppo dan
terjadilah perang yang berakhir dengan kekalahan TellumpoccoE. Satu
tahun kemudian datang lagi KaraengE ri gowa ke Soppeng. Tetapi tidak ada
lagi bantuan dari Bone dan Wajo, sehingga Soppeng dikalahkan dan
masuklah agama Islam di Soppeng. Datu Soppeng yang menerima Islam
bernama BeowE. Setelah Soppeng menerima Islam, datang KaraengE ri Gowa
ke Wajo dan kalahlah orang Wajo. Arung Matowa Wajo yang bernama La
Sangkuru yang menerima Islam di Wajo. Sejak itu seluruh orang Wajo
memeluk Islam. Tahun berikutnya setelah orang Wajo masuk Islam, Arumpone
We Tenri Patuppu pergi ke Sidenreng untuk menanyakan tentang Islam.
Ternyata begitu sampai di Sidenreng langsung masuk Islam. Di
Sidenrenglah beliau sakit yang menyebabkan meninggal dunia. Oleh karena
itu dinamakanlah We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng. Semasa hidupnya
We Tenri Patuppu kawin dengan La Paddippung Arung Barebbo, kemudian
melahirkan anak bernama La Pasoro. Inilah yang kawin dengan We Tasi,
lahirlah La Toge MatinroE ri KabuttuE. La Toge kawin dengan We Passao
Ribulu, lahirlah We Kalepu yang kawin dengan Daeng Manessa Arung Kading.
Kemudian We Tenri Patuppu bercerai dengan Arung Barebbo, maka kawin
lagi dengan To LewoE Arung Sijelling, anak Arung Mampu Riawa. Dari
perkawinan ini lahirlah anaknya yang bernama La Maddussila, We Tenri
Tana, We Palettei, La Palowe. La Maddussila Arung Mampu yang juga
digelar MammesampatuE (memakai nisan batu). Pergi ke Soppeng dan kawin
dengan We Tenri Gella, saudara Datu Soppeng yang bernama BeowE. Dari
perkawinan ini lahirlah La Tenri Bali yang kawin di Bone dengan sepupu
satu kalinya yang bernama We Bubungeng I Dasajo. We Bubungeng dan La
Tenri Bali melahirkan anak ; La Tenri Senge’ Toasa, inilah yang kemudian
menjadi Datu Soppeng. Yang kedua bernama We Yadda MatinroE ri Madello,
kemudian menjadi Datu juga di Soppeng. We Tenri Tana Arung Mampu Riawa
kawin dengan LebbiE ri Kaju. Inilah yang melahirkan We Tenri Sengngeng
yang kawin dengan La Poledatu Rijeppo saudara Datu Soppeng anak La
Maddussila Arung Mampu MammesampatuE dengan isterinya We Tenri Gella.
Inilah yang melahirkan La PatotongE, La PasalappoE, La Pariusi Daeng
Mangatta. La Pariusi Daeng Mangatta inilah yang menggantikan Petta I
Tenro menjadi Arung Mampu Riawa yang juga pernah menjadi Arung Matowa
Wajo. La PallempaE atau La Pasompereng Petta I Teko kawin dengan
KaraengE ri Gowa. Dari perkawinannya lahirlah We Yama dan We Alima. We
Alima kawin dengan KaraengE ri Gowa Tumenanga ri Pasi. Lahirlah I Baba
Karaeng Tallo. La Pasompereng diasingkan oleh Kompeni sebab
perselingkuhan isterinya dengan Sule DatuE di Soppeng yang bernama Daeng
Mabbani. Dia membunuh Sule datuE di Soppeng maka diasingkanlah ke
Selong. Anak terakhir dari We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng adalah
; We Palettei KanuwangE, kawin dengan pamannya La Tenri Pale To
Akkeppeang MatinroE ri Tallo. Tidak ada keturunannya, sehingga MatinroE
ri Tallo kawin lagi dengan anak Datu Ulaweng.
11. LA TENRI RUWA ARUNG PALAKKA (1611 – 3 bln)
La Tenri Ruwa Arung Palakka juga sebagai Arung
Pattiro adalah sepupu We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng. Ketika
Arumpone meninggal dunia, orang Bone sepakat untuk mengangkat La Tenri
Ruwa menjadi Mangkau’ di Bone. Belum cukup tiga bulan setelah menjadi
Mangkau’, datanglah KaraengE ri Gowa membawa agama Islam ke Bone. Orang
Gowa membuat benteng di Cellu dan Palette. Berkatalah Arumpone kepada
orang Bone ; ”Kalian telah mengangkat saya menjadi Mangkau’ untuk
membawa Bone kepada jalan yang baik. KaraengE ri Gowa datang membawa
agama Islam yang menurutnya adalah kebaikan. Sesuai dengan perjanjian
kita yang lalu, siapa yang mendapatkan kebaikan, dialah yang menunjukkan
jalan. Oleh karena itu saya mengajak kalian untuk menerima Islam”.
KaraengE ri Gowa berkata ; ”Menurutku Islam adalah kebaikan dan dapat
mendatangkan cahaya terang bagi kita. Oleh karena itu saya berpegang
pada agama Nabi. Kalau engkau menerima pendapatku, maka Bone dan Gowa
akan menjadi besar untuk bersembah kepada Dewata SeuwaE (Allah SWT).
Berkata lagi Arumpone kepada orang banyak ; ’Kalau kalian tidak menerima
baik maksud KaraengE padahal dia benar, dia pasti masih memerangi kita
dan kalau kita kalah berarti kita menjadi hamba namanya. Tetapi kalau
kalian menerima dengan baik, kita dijanji untuk berdamai. Kalau kita
melawan, itu adalah wajar. Jangan kalian menyangka bahwa saya tidak
mampu untuk melawannya”. Ketika itu semua orang Bone menolak Islam.
Arumpone La Tenri Ruwa hanya diam, karena dia sudah tahu bahwa orang
Bone berpendapat lain. Pergilah Arumpone ke Pattiro dan hanya diikuti
oleh keluarga dekatnya. Sesampainya di Pattiro, ia mengajak lagi orang
Pattiro untuk menerima agama Islam. Ternyata orang Pattiro juga menolak.
Akhirnya Arumpone naik ke SalassaE (istana) bersama keluarga dan
hambanya. Ketika Arumpone ke Pattiro, orang Bone sepakat untuk
menjatuhkan La Tenri Ruwa sebagai Arumpone. Diutuslah La Mallalengeng To
Alaungeng ke Pattiro untuk menemui Arumpone. Kepada Arumpone La
Mallalengeng menyampaikan ; ”Saya disuruh oleh orang Bone untuk
menyampaikan bahwa bukan lagi orang Bone yang menolak engkau sebagai
Mangkau’, tetapi engkau sendiri yang menolak kami semua, karena pada
saat Bone menghadapi musuh besar, engkau lalu meninggalkannya”. Arumpone
menjawab ; Saya menyangkal bahwa saya meninggalkan orang Bone, saya
hanya menunjukkan jalan kebaikan dan cahaya yang terang. Tetapi kalian
tidak mau mengikutinya dan lebih suka memilih jalan kegelapan. Makanya
saya pergi meilih jalan kebaikan dan cahaya yang terang itu yang
diturunkan oleh Allah kepada Nabi-Nya”. Ketika To Alaungeng kembali ke
Bone, Arumpone La Tenri Ruwa menyuruh salah seorang keluarganya ke
Pallette untuk bertemu dengan KaraengE ri Gowa yang sementara
berkedudukan di Pallette. Begitu pula KaraengE menyuruh Karaeng Pettu ke
Pattiro menemui Arumpone. Sesampainya Karaeng Pettu di Pattiro dan
bertemu Arumpone, tiba-tiba tempatnya bertemu itu dikepung oleh orang
Pattiro bersama orang SibuluE. Arumpone sekeluarga bersama Karaeng Pettu
meninggalkan tempat menuju ke puncak gunung Maroanging. Setelah itu,
pergilah Arumpone menemui KaraengE ri Gowa, sementara Karaeng Pettu
tinggal menjaga Pattiro. Di Pallette Arumpone La Tenri Ruwa ditanya oleh
KaraengE ri Gowa ; ”Sampai dimana batas kekuasaanmu. Sebab saya tahu
bahwa Bone adalah milikmu, sementara menurut berita bahwa akkarungeng
telah berpindah di Bone”. Arumpone menjawab ; ”Yang menjadi milikku
adalah Palakka dan Pattiro begitu juga Awampone. Kalau Mario Riwawo
adalah milik isteriku”. Berkata lagi KaraengE ; ”Sekarang ucapkanlah
syahadat, biar Palakka, Pattiro dan Awampone saja yang menerima Islam.
Untuk Bone biarkan saja tidak bertuan, Gowa tidak akan memperhambamu”.
Arumpone menjawab ; ”Karena saya akan mengucapkan syahadat, sehingga
saya kemari”. Selanjutnya KaraengE ri Gowa berkata ; ”Saya juga tahu
bahwa Pallette ini adalah milikmu, tetapi kebetulan tempat berdirinya
bentengku. Oleh karena itu saya menganggapnya sebagai milikku, namun
saya berikan kembali kepadamu”. Kemudian KaraengE ri Gowa, Karaeng Tallo
dan Arumpone berikrar ; Pertama diucapkan oleh KaraengE ri Gowa dan
Karaeng Tallo ; ” Inilah yang akan dipersaksikan kepada Dewata SeuwaE
bahwa bukanlah turunan KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo yang kelak
akan mengganggu hak-hakmu. Kalau ada kesulitan yang engkau hadapi,
bukalah pintumu untuk kami masuk pada kesulitan itu”. Lalu Arumpone
menjawab ; ”Wahai Karaeng, ikat padiku tidak akan terbuka, tidak
sempurna pula kehidupanku dan apa yang ada dalam pikiranku. Kalau ada
kesulitan yang menimpa Tanah Gowa, biar sebatang bambu yang
dibentangkan, kami akan melaluinya untuk datang membantumu sampai kepada
anak cucumu dan anak cucuku, asalkan tidak melupakan perjanjian ini”.
Setelah ketiganya mengucapkan ikrar, kembalilah Arumpone La Tenri Ruwa
ke Pattiro. Lima hari setelah perjanjian itu diucapkan bersama,
dibakarlah Bone oleh orang Gowa. Menyerahlah orang-orang Bone dan
mengucapkan syahadat. Kemudian KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo
kembali ke negerinya. Sejak La Tenri Ruwa meninggalkan Bone dan berada
di Pattiro, sejak itu pula orang Bone menganggapnya bahwa dia bukan lagi
Mangkau’ di Bone. Kesepakatan orang Bone adalah mengangkat anak dari
MatinroE ri Sapananna (addenenna) yang pada saat itu menjadi Arung
Timurung yang bernama La Tenri Pale To Akkeppeang. Adapun La Tenri Ruwa
setelah KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo kembali ke negerinya, diusir
oleh orang Bone agar meninggalkan Bone. Arumpone inilah yang dianggap
mula-mula menerima agama Islam dari KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo.
La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng berangkat ke Su’ (Mangkasar) dan
tinggal pada Dato’ ri Bandang. Ia pun diberi nama Arab yaitu Sultan
Adam. Disuruhlah memilih tempat oleh Dato’ dan KaraengE ri Gowa. Tempat
yang dipilihnya adalah Bantaeng dan di Bantaenglah ia meninggal, oleh
karena itu dinamakan MatinroE ri Bantaeng. La Tenri Ruwa kawin dengan
sepupunya yang bernama We Baji atau We Dangke LebaE ri Mario Riwawo yang
kemudian disebut juga Datu’ Mario Riwawo. Dari perkawinan ini lahirlah
We Tenri Sui. We Tenri Sui pernah juga kawin dengan To Lempe Arung
Patojo saudara kandung Datu Soppeng yang mula-mula memeluk Islam yang
bernama BeowE. Dari perkawinannya lahirlah We Bubungeng yang berarti
bersaudara kandung dengan We Tenri Sui. We Tenri Sui kawin dengan La
Pottobune Arung Tanatengnga Datu Lompulle, anak dari We Cammare Datu
Lompengeng MattendumpulawengE dari suaminya yang bernama To Wawo. Dari
perkawinan ini lahirlah La Tenri Tatta To Unru Datu Mario Riwawo. Ada
juga yang bernama We Tenri Abang. Selain itu, We Dairi (meninggal
diwaktu kecil), We Tenri Wempeng Daunru (meninggal diwaktu kecil), La
Tenri Garangi (meninggal diwaktu kecil), selanjutnya We Kacimpureng
Daoppo Datu Marimari, tidak ada keturunannya. We Bubungeng I Dasajo
Arung Pattojo diangkat menjadi datu di Watu, kawin dengan La Tenri Bali
Datu Soppeng MatinroE ri Datunna. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri
Senge’ To Wesang dan We Yada MatinroE ri Madello. Arung Tanatengnga
kemudian kawin lagi dengan We Tenri Pada Datu Watu anak dari We Puampe
dengan suaminya La Page Datu Mario Riwawo. Adapun La Tenri Tatta To Unru
diwariskan oleh ibunya untuk menjadi datu ri Mario Riwawo, sehingga
digelar sebagai Datu Mario Riwawo. La Tenri Tatta kawin dengan sepupunya
yang bernama We Dadda atau We Yadda anak dari We Bubungeng I Dasajo
dari suaminya MatinroE ri Datunna. Dari perkawinannya ini tidak
melahirkan seorang anak, akhirnya bercerai. Isteri La Tenri Tatta yang
paling dicintainya adalah I Mangkawani Daeng Talele, tetapi juga tidak
ada keturunannya. Oleh karena itu La Tenri Tatta To Unru sampai akhir
hayatnya tidak memiliki keturunan. Saudara kandung La Tenri Tatta yang
bernama We Tenri Wale Da Umpu Mappolo BombangE itulah yang menjadi
Maddanreng ri Palakka. Karena setelah La Tenri Tatta kembali dari
Mangkasar, orang Bone menobatkannya menjadi Arung Palakka. Mappolo
BombangE kawin dengan La PakokoE Arung Timurung yang juga Ranreng di
Tuwa dan sebagai Arung di Ugi. Dari perkawinan itu lahirlah seorang anak
laki-laki La Patau Matanna Tikka WalinonoE To Tenri Bali MalaE Sanrang
MatinroE ri Nagauleng. Sedangkan saudara kandung La Tenri Tatta yang
lain yang bernama We Tenri Abang Da Eba, itulah yang mengikutinya
sewaktu La Tenri Tatta To Unru pergi ke Jakarta. Oleh karena itu, La
Tenri Tatta menyerahkan kepada adiknya itu untuk menjadi Datu ri Mario
Riwawo. We Tenri Abang kawin dengan La Sule atau La Mappajanci Daeng
Mattajang Karaeng Tanete, turunan Karaeng Tallo. Dari perkawinannya itu
lahir dua orang anak perempuan yang bernama We Pattekke Tana Daeng
Tanisanga dan We Tenri Lekke’. We Pattekke Tana kawin dengan PajungE ri
Luwu MatinroE ri Langkanana yang bernama La Onro To Palaguna. Dari
perkawinannya itu lahirlah We Batara Tungke dan We Fatimah MatinroE ri
Pattiro. We Fatimah MatinroE ri Pattiro kawin dengan sepupunya yang
bernama La Rumpang Megga To Sappaile. Dari perkawinan itu lahirlah We
Tenri Leleang Datu Luwu dan La Oddang Riwu Daeng Mattinring atau La
Tenri Oddang. Inilah yang menjadi Arung Pattiro dan Datu Tanete.
Selanjutnya melahirkan La Tenri Angke’ Datu Marimari. Adapun anak Batara
Tungke yang bernama We Tenri Lekke saudara kandung We Pattekke Tana,
kawin dengan La Pasau Arung Menge yang juga sebagai Ranreng di Talotenre
Wajo. We Dangke LebaE ri Mario Riwawo dengan suaminya To Lempe Arung
Pattojo melahirkan We Bubungeng I Dasajo. We Bubungeng I Dasajo inilah
yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Tenri Bali
MatinroE ri Datunna, anak dari La Maddussila Arung Mampu MammesampatuE.
Dari perkawinan itu lahirlah La Tenri Senge’ To Wesang dan We Yadda
MatinroE ri Madello. La Tenri Senge’ To Wesang kawin dengan We Pada
Daeng Masennang di Pammana, anak dari La Tenri Sessu To TimoE. Dari
perkawinannya lahirlah La Makkateru (meninggal dunia sewaktu kecil).
Selanjutnya lahir pula La Karidu yang kemudian menjadi Arung Sekkaili.
La Karidu kawin di Pammana dengan anak WatampanuwaE ri Pammana. Dari
perkawinan itu lahirlah La Mappassili Arung yang kemudian menjadi Arung
Pattojo. La Mappassili kawin di Tanete dengan Arung Lalolang yang
kemudian melahirkan anak laki-laki yang bernama La Barahima. Selanjutnya
La Mappassili kawin lagi dengan We Tenri Leleang PajungE ri Luwu
MatinroE ri Soreang, anak We Fatimah Batara Tungke MatinroE ri Pattiro
denganh suaminya La Rumpang Megga To Sappaile MatinroE ri Suppa. Inilah
yang melahirkan La Mappajanci Daeng Massuro PollipuE ri Soppeng MatinroE
ri Laburaung. Anak berikutnya adalah We Tenri Abang Datu Watu Arung
Pattojo dan berikutnya bernama Janggo’ Panincong. Inilah yang tewas
dipenggal kepalanya oleh kemanakannya sendiri yang bernama Baso Tancung
pada Perang Batubatu. Dalam peristiwa itu, La Mappassili tewas terbunuh
oleh iparnya sendiri yang bernama La Oddang Riwu Daeng Mattinring
Karaeng Tanete. Kembali kita bicarakan La Pottobune’ dengan isterinya We
Tenri Pasa Datu Watu. Melahirkan anak yang bernama La Page yang
kemudian diwariskan untuk menjadi Datu di Lompulle. La Page bersaudara
dengan La Tenri Tatta Daeng Serang To Unru dari ayahnya. La Page Datu
Lompulle kawin dengan We Buka Datu Botto. Dari perkawinan itu lahirlah
La Malleleang To Panamangi Datu Lompulle dan juga Datu Mario Riwawo.
Selanjutnya La Panamangi kawin dengan We Mekko Datu Bakke, lahirlah We
Tenri Datu Botto. We Tenri Datu Botto kawin dengan sepupu dua kalinya
yang bernama La Temmu Page anak We Pattekke Tana Daeng Tanisanga dengan
suaminya yang terakhir yang bernama To Baicceng. We Tenri dengan La
Temmu Page melahirkan anak laki-laki yang bernama La Mallarangeng To
Samallangi, inilah yang kemudian menjadi Datu Lompulle dan Datu Mario
Riwawo. La Mallarangeng To Samallangi kawin dengan We Tenri Leleang
janda dari La Mappassili. Dari perkawinannya itu lahirlah La Maddussila
Karaeng Tanete. La maddussila inilah yang kawin dengan We Seno Datu
Citta, anak dari La Temmassonge MatinroE ri Malimongeng dengan isterinya
yang bernama Sitti Habiba. Selanjutnya We Tenri Leleang janda dari La
Mappassili yang kawin dengan La Mallarangeng To Samallangi melahirkan We
Panangareng Daeng Risanga Arung Cinennong Datu Mario Riwawo MatinroE ri
Ujungtana. We Panangareng Daeng Risanga kawin dengan La Sunra Datu
Lamuru MatinroE ri Lamangile, anak dari La Tenri Sanga Petta Janggo’E
Datu Lamuru. Kemudian We Tenri Leleang dengan La Mallarangeng To
Samallangi melahirkan La Tenri Sessu Arung Pancana, inilah yang kawin
dengan We Paddi Petta Punna BolaE anak dari Maddanreng Bone yang bernama
La Sibengngareng. Selanjutnya La Tenri Sessu kawin lagi dengan We Tenri
Lawa Besse Peyampo di Wajo, saudara kandung dari Arung Belle La
Sengngeng MatinroE ri Salawa’na. We Tenri Leleang dengan La Mallarangeng
melahirkan lagi We Pada Daeng Malele, Fatimah Ratu Daeng Tacowa
MatinroE ri Sigeri, La Maggalatung To Kali Datu Lompulle yang juga
sebagai Datu Botto dan Batari Toja We Akka Daeng Matana Opu Datu ri
Bakke. Inilah yang kawin dengan PajungE ri Luwu yang bernama La
Pattiware MatinroE ri Sabbamparu.
12. LA TENRI PALE TO AKKEPPEANG (1611 – 1625)
Ketika La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng diusir
oleh orang Bone, maka yang menggantikannya adalah sepupu satu kalinya
yang bernama La Tenri Pale To Akkeppeang Arung Timurung. Dia adalah anak
dari La Inca MatinroE ri Addenenna. Inilah Mangkau’ di Bone yang
membangkitkan kembali semangat orang Bone untuk menolak masuknya agama
Islam di Bone. Oleh karena itu KaraengE kembali memerangi Bone, sehingga
orang Bone kalah dan menyerah. Diundanglah seluruh Palili (daerah
bawahan) untuk disuruh mengucapkan syahadat sebagai tanda bahwa seluruh
orang Bone telah menerima agama Islam. Setelah itu KaraengE ri Gowa
kembali ke kampungnya. La Tenri Pale To Akkeppeang dua bersaudara yaitu
We Tenri Jello MakkalaruE, kawin dengan Arung Sumaling yang bernama La
Pancai To Patakka. Dia juga digelar Lampe Pabbekkeng, anak dari La
Mallalengeng To Alaungeng Arung Sumaling, dari isterinya yang bernama We
Tenri Parola. Lahirlah La Maddaremmeng, diangkatlah MakkalaruE menjadi
Arung Pattiro. Satu lagi adik La Maddaremmeng bernama We Tenri Ampareng,
dia menjadi Arung Cellu. Sedangkan La Tenri Aji To Senrima dia menjadi
Arung di Awampone dan digelar MatinroE ri Siang. We Tenri Sui kawin
dengan La Pottobune’ TobaE Arung Tanatengnga, lahirlah La Tenri Tatta To
Unru, tidak ada keturunannya. Anaknya yang kedua yaitu I Daunru.
Inilah yang kawin dengan Datu Citta yang bernama Todani yang menjadi
Arung EppaE Ajattappareng yaitu ; Addatuang Sidenreng, Datu Suppa,
Addattuang Sawitto dan Arung Alitta. Bahkan dia juga Karaeng di
Galingkang. Katika Todani memperisterikan saudara La Tenri Tatta, dia
mempersatukan Citta dengan Bone. Nanti setelah La Temmassonge’ To
Appaweling MatinroE ri Malimongeng menjadi Mangkau’ di Bone, barulah
Citta dikembalikan ke Soppeng. Namun akhirnya Todani disuruh bunuh oleh
La Tenri Tatta To Unru karena dianggap menyalahi kasiwiang (persembahan)
di Bone. Sedangkan Saudara La Tenri Tatta To Unru yang bernama We Tenri
Abang Daeba, dialah yang dinamakan We Tenri Wale MatinroE ri Bola
Sadana. Digelar juga Mappolo BombangE dialah Maddanreng di Palakka. Satu
tahun setelah orang Bone menerima Islam, pergilah Arumpone ke Mangkasar
menemui Dato’ ri Bandang. Diberilah nama Arab yaitu Sultan Abdullah.
Itulah nama Arumpone yang dibaca pada khutbah Jumat. Ketika menjadi
Mangkau’ di Bone, La Tenri Pale dikenal sangat ramah dan merakyat. Dia
sangat memperhatikan masalah pertanian. Arumpone inilah yang kawin
dengan anak MatinroE ri Sidenreng dari suaminya yang bernama To
Addussila bernama We Palettei KanuwangE Massao BessiE ri Mampu Riawa.
Dari perkawinan ini lahirlah anak perempuan yang bernama We Daba. Selama
menjadi Arumpone, La Tenri Pale selalu bolak balik ke Gowa untuk
menemui KaraengE ri Gowa. Ia meninggal di Tallo sehingga digelar La
Tenri Pale To Akkeppeang MatinroE ri Tallo.
13. LA MADDAREMMENG (1625 – 1640)
La Maddaremmeng menggantikan pamannya La Tenri
Pale To Akkeppeang MatinroE ri Tallo menjadi Arumpone. Ketika akan
diangkat menjadi Mangkau’ di Bone, La Tenri Pale dengan orang Bone
berjanji bahwa ; - La Tenri Pale ; ”Siapa yang mengingkari janji, dialah
yang menanggung resiko buruknya” - Orang Bone ; ”Siapa yang berbuat
kebaikan, dialah yang menerima imbalan kebaikan itu” Setelah saling
mengiyakan kesepakatan itu, maka diangkatlah La Tenri Pale To Akkeppeang
Arung Timurung menjadi Mangkau’ di Bone. Setelah beberapa waktu menjadi
Arumpone, diadakanlah penggalian bendungan di sebelah selatan
Leppangeng. Selama tiga tahun digali, ternyata airnya tak bakal naik.
Dibawa lagi ke Sampano untuk membuat tiang rumah, tiba-tiba La Tenri
Pale kena penyakit. Kembalilah La Tenri Pale ke Bone. Sesampainya di
Bone, diundanglah seluruh orang Mampu dan menyampaikan bahwa ;
Berangkatlah ke Sidenreng untuk memanggil keluargaku untuk datang
memiliki kembali miliknya. Kemudian La Tenri Pale berangkat ke Su
(Mangkasar). Di Mangkasar (Tallo) ia meninggal dunia sehingga dinamakan
MatinroE ri Tallo. Ketika orang yang disuruh ke Sidenreng kembali, La
Tenri Pale sudah tidak ada di Bone. Maka diangkatlah La Maddaremmeng
sebagai Arumpone, sebab dialah yang dipesan oleh pamannya untuk
menggantikannya bila sampai ajalnya. Arumpone inilah yang pertama
membuat payung putih untuk dipakai bila bepergian. La Maddaremmeng kawin
di Wajo dengan perempuan yang bernama Hadijah I Dasenrima anak dari
Arung Matowa Wajo yang bernama La Pakallongi To Ali dengan isterinya We
Jai Ranreng Towa Wajo yang juga sebagai Arung Ugi. Dari perkawinan La
Maddaremmeng dengan We Jai, melahirkan seorang anak laki-laki bernama La
PakokoE Toangkone yang digelar TadampaliE. La PakokoE Toangkone
kemudian diangkat menjadi Arung Timurung. La PakokoE Toangkone kawin
dengan saudara perempuan La Tenri Tatta To Unru yang bernama We Tenri
Wale Mappolo BombangE Maddanreng Palakka. Anak dari We Tenri Sui Datu
Mario Riwawo dengan suaminya yang bernama La Pottobune Arung
Tanatengnga. Dari perkawinannya itu lahirlah La Patau Matanna Tikka
MatinroE ri Nagauleng. Selanjutnya La Maddaremmeng kawin lagi dengan
Arung Manajeng. Dari perkawinannya yang kedua itu lahirlah anak
laki-laki yang bernama Toancalo Arung Jaling. Inilah yang kawin dengan
We Bunga Bau Arung Macege, anak dari Karaeng Massepe dengan isterinya
yang bernama We Impu Arung Maccero. Toancalo Arung Jaling dengan We
Bunga Bau Arung Macege yang melahirkan Tobala Arung Tanete Riawang yang
digelar Petta PakkanynyarangE. Setelah menjadi Mangkau’ di Bone selama
kurang lebih 15 tahun, Gowa kembali melakukan serangan terhadap Bone
yang akhirnya menaklukkannya. La Maddaremmeng meninggal dunia di Bukaka,
sehingga dia dinamakan MatinroE ri Bukaka. Isteri La Maddaremmeng yang
lain bernama We Mappanyiwi Arung Mare, anak We Cakka Datu Ulaweng.
Melahirkan seorang anak perempuan yang bernama We Daompo. Inilah yang
kawin dengan La Uncu Arung Paijo. La Uncu Arung Paijo dengan We Daompo
melahirkan La Tenri Lejja RiwettaE ri Pangkajenne. Inilah yang
melahirkan To Sibengngareng Maddanreng Bone.
14. LA TENRI AJI TO SENRIMA (1640 – 1643)
La Tenri Aji To Senrima menggantikan saudaranya
La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka menjadi Mangkau’ di Bone. Dialah yang
melanjutkan perlawanan Bone terhadap Gowa, namun kenyataannya Bone
kembali mengalami kekalahan. Karena pada perang ini, Gowa ternyata
dibantu oleh Luwu dan Wajo. Pertahanan terakhir Arumpone La Tenri Aji To
Senrima adalah Pasempe, sehingga dikatakan Beta Pasempe (Kekalahan di
Pasempe). Sejak kekalahan di Pasempe, Bone menjadi milik Gowa, Luwu dan
Wajo. Wilayahnya dibagi tiga, sebahagian diambil oleh Gowa, sebahagian
diambil Luwu dan sebahagian diambil oleh Wajo. Ditawanlah semua anak
bangsawan Bone, termasuk La Pottobune’ bersama isteri dan anak-anaknya.
Selebihnya diberikan kepada Luwu dan Wajo. Adapun yang menjadi milik
Wajo tetap berada di Bone, sebab Wajo masih ingat perjanjian yang telah
disepakati oleh Arung terdahulu, yaitu ”Yang rebah akan ditopang, yang
hanyut akan diraih” sebagaimana isi LamumpatuE ri Timurung yang telah
dilakukan oleh TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo). Arung Matowa Wajo
yang bernama La Makkaraka mengatakan ; ”Bahagian Wajo yang pergi ke
Gowa, adalah milik Gowa, bahagian Luwu yang pergi ke Wajo, tetap milik
Luwu. Kemudian bahagian Wajo yang masih tinggal di Bone, tetap milik
Bone. Kecuali dia sendiri yang datang ke Wajo, barulah milik Wajo”.
Permintaan ini akhirnya disetujui oleh KaraengE ri Gowa dan Datu Luwu.
Ketika La Tenri Aji To Senrima ditangkap dan dibawa ke Gowa,
diikutkanlah semua anak bangsawan Bone lainnya. Setelah itu Bone dibakar
oleh orang Gowa, menjadilah Bone sebagai wilayah jajahan Gowa dan
seluruh rakyatnya dijadikan hamba. Sementara La Tenri Aji To Senrima di
tempatkan di Siang, sedangkan anak bangsawan lainnya dibagi-bagi kepada
anggota Hadat Gowa (Bate SalapangE) untuk dijadikan hamba dan
sebagainya. Diantara anak bangsawan yang ditawan oleh Gowa, terdapat
juga La Pottobune’ Arung Tanatengnga bersama isteri dan anak-anaknya.
Sebab yang tidak tertawan oleh Gowa hanyalah anak kecil, orang tua
lanjut umur, kecuali atas permintaan orang tuanya. La Pottobune’ Arung
Tanatengnga, isteri dan anak-anaknya tinggal di rumah KaraengE. Ketika
itu La Tenri Tatta baru berusia 11 tahun. Karena dia seorang anak yang
cerdas, sehingga banyak yang menyukainya. Oleh karena itu, semua anggota
Bate SalapangE pernah ditempatinya. Karena La Tenri Aji To Senrima
diasingkan ke Siang, maka KaraengE ri Gowa menyuruh kepada orang Bone
untuk mencari Arung (Mangkau’). Tetapi orang Bone tidak berani lagi
menunjuk seorang Mangkau’, sehingga orang Bone menyerahkan sepenuhnya
kepada KaraengE ri Gowa. Oleh karena itu, KaraengE ri Gowa menunjuk
Karaeng Summana untuk melaksanakan pemerintahan di Bone. Tetapi karena
Karaeng Summana tidak bisa menghadapi orang Bone yang kelihatannya tetap
berusaha menghalang-halangi segala langkahnya, maka kembalilah Karaeng
Summana ke Gowa. Kepada KaraengE ri Gowa, Karaeng Summana melaporkan
ketidak mampuannya menghadapi orang Bone. Oleh karena itu terjadilah
kevakuman pemerintahan di Bone saat itu. La Tenri Aji To Senrima
meninggal dunia di Siang, sehingga dinamakan MatinroE ri Siang. Menurut
catatan lontara’ dia hanya mempunyai seorang anak yang bernama La
Pabbele MatinroE ri Batubatu. Inilah yang melahirkan Daeng Manessa Arung
Kading. Selama beberapa waktu tidak ada pengganti La Tenri Aji To
Senrima MatinroE ri Siang sebagai Arumpone. Orang Bone dan segenap
anggota Hadatpun sudah tidak mau menunjuk seorang Mangkau’. Sementara
KaraengE ri Gowa juga ragu untuk mengangkat seorang Arung kalau bukan
yang diinginkan oleh orang Bone. Oleh karena itu, KaraengE ri Gowa
hanya menunjuk seorang jennang (pelaksana) yang memiliki wewenang
sebagai pengganti Mangkau’ di Bone.
• T O B A L A (1643 – 1660)
Tobala Arung Tanete ditunjuk oleh KaraengE ri
Gowa sebagai pengganti Mangkau di Bone yang disebut jennang. Selama 17
tahun Tobala menjadi Jennang di Bone, sekian pula lamanya Bone dijajah
oleh Gowa. Ketika Tobala yang juga dikenal dengan gelar Petta
PakkanynyarangE menjadi Jennang di Bone, tindakan kesewenang-wenangan
orang Gowa terhadap orang Bone semakin menjadi-jadi. Banyak orang Bone
yang memilih untuk pindah ke daerah lain, karena tidak mampu lagi
menahan penderitaan akibat tindakan orang Gowa yang sangat kejam. Dimasa
pemerintahan Tobala, KaraengE ri Gowa minta dikirimkan orang dari Bone
sebanyak 10.000. Jumlah itu tidak bisa kurang dan harus sesuai dengan
yang diminta. Orang sebanyak itu akan disuruh menggali parit dan membuat
benteng. Kepada siapa yang telah ditentukan untuk berangkat ke Gowa
tidak bisa diganti, walaupun ada hambanya yang bisa menggantikannya.
Tidak bisa juga membayar sebagai tebusan agar bisa tidak berangkat. Saat
itu La Tenri Tatta sudah mulai dewasa dan kawinlah dengan I Mangkawani
Daeng Talele. Pada saat orang Bone yang jumlahnya 10.000 itu tiba, La
Tenri Tatta bersama seluruh keluarganya meninggalkan rumah KaraengE ri
Gowa. Ia pun turun bekerja bersama orang Bone, merasakan bagaimana
penderitaan dan penyiksaan yang dialami mereka. La Tenri Tatta To Unru
menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana orang Gowa menyiksa
orang Bone jika didapati tidak bekerja atau malas karena kelaparan.
Orang Bone diperlakukan tak ubahnya hewan, dicambuk dan ditendang.
Bahkan tidak sedikit yang mati terbunuh oleh orang Gowa yang mengawasi
penggalian parit dan pembuatan benteng tersebut. Melihat tindakan orang
Gowa terhadap orang Bone yang semakin tidak berperikemanusiaan, hati La
Tenri Tatta menjadi tergugah dan berpikir untuk membuat suatu rencana
pembebasan. Dengan bekerja sama dengan beberapa keluarga dekatnya,
seperti Arung Belo, Arung Ampana dan lain-lain. Kesepakatan yang
dibuatnya adalah pada suatu saat yang tepat dan aman, semua orang Bone
melarikan diri dari tempat penggalian parit dan pembuatan benteng
tersebut menuju ke Bone. Sementara Tobala tidak mampu lagi untuk
menerima tindakan orang Gowa terhadap orang Bone yang semakin hari
semakin menjadi-jadi. Hal ini menambah kesungguhan La Tenri Tatta untuk
menegakkan kembali kebesaran Bone. Dihimpunlah seluruh kekuatan Bone
yang pernah bercerai berai, dia juga mengajak Soppeng agar dapat
membantu Bone melawan Gowa. Setelah cukup 17 tahun Tobala menjadi
Jennang di Bone, ia membangkitkan kembali semangat orang Bone untuk
melawan Gowa. Sementara La Tenri Tatta bersama segenap keluarga, jowa
dan segenap orang Bone yang menjadi penggali parit telah berada dalam
perjalanan menuju ke Bone. Hal ini tidak diketahui oleh KaraengE ri Gowa
bersama seluruh anggota Hadatnya. Setelah sampai di Bone, ia langsung
menemui Tobala Jennang Bone. Selain itu ia juga menyampaikan kepada Datu
Soppeng pamannya yang bernama La Tenri Bali. Memang telah dipersatukan
Bone dengan Soppeng sesuai bunyi Pincara LopiE ri Attapang (Perjanjian
ri Attapang). Bersatulah kembali Tobala dengan La Tenri Tatta
membangkitkan kembali semangat perlawanan orang Bone terhadap Gowa.
Sebagai wujud kegembiraan orang Bone atas kembalinya La Tenri Tatta ke
Bone, maka orang Bone sepakat untuk mengangkatnya menjadi arung di
Palakka mewarisi neneknya. Sejak itu dinamakanlah Arung Palakka. Setelah
mempersatukan pendapat dengan Jennang Tobala untuk tidak mundur dalam
melawan Gowa, pergilah Arung Palakka ke Lamuru untuk menghadang orang
Gowa yang mengikutinya. Terjadilah perang yang sangat dahsyat dan
menelan korban yang tidak sedikit dari kedua belah pihak. Karena
kekuatan Gowa ternyata lebih kuat, maka ia pun mengundurkan diri bersama
pengawalnya. Dalam perjalanannya menghindari serangan Gowa, La Tenri
Tatta Arung Palakka singgah menemui Datu Soppeng minta bekal untuk
dimakan dalam perjalanan bersama pengawalnya. Karena dia akan pergi
mencari teman yang bisa diajak kerja sama melawan Gowa. Hal ini
dimaksudkan agar dapat menegakkan kembali kebesaran Bone. Atas
permintaannya itu, Datu Soppeng memberinya emas pusaka dari orang
tuanya. Emas itulah yang dijadikan bekal bersama segenap pengawalnya
pergi mencari teman yang bisa diajak kerja sama menegakkan kembali
kebesaran Bone. La Tenri Tatta Arung Palakka sebelum berangkat berjanji
tidak akan memotong rambutnya sebelum ia kembali ke Bone. Beangkatlah La
Tenri Tatta Arung Palakka bersama segenap pengawalnya, sementara orang
Gowa tetap mengikuti jejaknya. Orang Bone pun kembali melawan di bawah
pimpinan Tobala yang dibantu oleh orang Soppeng. Akan tetapi karena
kekuatan Gowa masih lebih kuat, sehingga orang Bone kembali mengalami
kekalahan. Bahkan Tobala tewas dalam peperangan dan Datu Soppeng
tertawan. Karena kekalahan itu, sehingga orang Bone kembali ditawan dan
dijajah oleh Gowa. Begitu pula orang Soppeng karena telah membantu Bone
dalam melawan Gowa. Sementara La Tenri Tatta Arung Palakka tetap diburu
oleh orang Gowa dan tidak sedikit mengalami kepungan yang hampir saja
menjebak dirinya. Seakan-akan tidak ada lagi tempat yang dapat digunakan
untuk berlindung di Bone. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk
menyeberang ke Tanah Uliyo (Butung) untuk minta perlindungan. Hal ini
dilakukan agar dapat menemukan teman yang dapat membantunya untuk
melawan dan menundukkan Gowa. Disiapkanlah perahu untuk menyeberang ke
Butung. Sesampainya di Butung, naiklah La Tenri Tatta menemui Raja
Butung. Raja Butung menerimanya dan bersedia membantunya. Tetapi
ternyata Gowa tidak akan berhenti untuk mengikuti jejaknya. Setelah
KaraengE ri Gowa mengetahui bahwa La Tenri Tatta bersama sejumlah
pengawalnya telah menyeberang ke Butung, ia segera memerintahkan Arung
Gattareng untuk menyusulnya. Akan tetapi Arung Gattareng tidak sampai di
Tanah Uliyo dan dia kembali tanpa membawa hasil. KaraengE ri Gowa
lantas mengirim pasukan tempur untuk mengikuti sampai di Butung.
Sesampainya di Butung pasukan Gowa tersebut mencari ke berbagai tempat,
namun tidak berhasil menemukan La Tenri Tatta dengan seluruh
pengawalnya. Raja Butung berusaha meyakinkan orang Gowa bahwa La Tenri
Tatta tidak ada di atas Tanah Butung. Oleh karena itu, orang Gowa
kembali tanpa menemukan La Tenri Tatta dan pengawalnya. Setelah orang
Gowa kembali ke kampungnya, Raja Butung berkata kepada La Tenri Tatta ;
”Saya sangat khawatir kalau pada akhirnya engkau dan seluruh pengawalmu
ditemukan oleh orang Gowa di Tanah Butung ini. Saya sarankan agar engkau
menunggu Kompeni Belanda karena tidak lama lagi dia akan datang. Dia
akan berangkat ke Ternate karena Raja Ternate berselisih dengan
saudaranya. Sekarang saudara Raja Ternate itu ada di Gowa untuk minta
bantuan kepada KaraengE ri Gowa. Karena itu, KaraengE ri Gowa bermaksud
berangkat ke Ternate, orang Bone diseberangkan ke Butung oleh La Sekati.
Tindakan kesewenang-wenangan KaraengE ri Gowa bukan saja ditujukan
kepada orang Bone, tetapi juga kepada orang-orang Gowa yang menentang
perintahnya. Dengan demikian orang Gowa pun banyak yang menyeberang ke
Butung termasuk Karaeng Bonto Marannu dengan rakyatnya. Keadan ini
membuat KaraengE ri Gowa marah besar terhadap Raja Butung. Lalu KaraengE
ri Gowa membuat rencana untuk menyerang Butung di Tanah Uliyo. Karena
disitulah berlindung semua orang yang dicari oleh KaraengE ri Gowa.
Disitu pula kapal-kapal Kompeni Belanda selalu singgah apabila hendak
menuju ke Ternate. KaraengE ri Gowa memanggil Datu Luwu yang bernama La
Setiaraja untuk bersama- Tidak berapa lama, Kompeni Belanda datang
dengan segala alat perangnya menuju ke Ternate. Sebelumnya singgah di
Tanah Uliyo. Turunlah La Tenri Tatta diantar oleh Raja Butung menemui
Komandan Belanda di atas kapalnya. La Tenri Tatta minta kepada Kompeni
agar dapat diikutkan ke Ternate bersama seluruh pengawalnya. Atas
permintaannya itu Kompeni mengatakan ; ”Tidak usah ke Ternate, tetapi
lebih baik ke Jakarta. Nanti di Jakarta baru diberikan tanah untuk di
tempati bersama pengawalnya. Kalau sudah ada kesempatan, kita sama-sama
melawan Gowa. Jadi tunggulah disini. Kalau Kompeni kembali dari Ternate
barulah singgah disini dan kita sama-sama ke Jakarta”. Oleh karena itu,
La Tenri Tatta Arung Palakka dan seluruh pengawalnya tinggal beberapa
waktu di Butung menunggu kembalinya Kompeni Belanda. Tobala kawin dengan
sepupu satu kalinya yang bernama We Maisuri anak dari We Daompo dengan
suaminya yang bernama La Uncu Arung Paijo. Inilah yang melahirkan To
Sibengngareng Maddanreng Bone. Kemudian To Sibengngareng kawin dengan
anaknya Opu Bontobangung di Selayar yang melahirkan anak perempuan tiga
orang. Yang pertama bernama We Kelli Arung Paijo, yang kedua bernama We
Sadia Petta Punna BolaE dan ketiga We Panido Arung Atakka. Sedangkan
anak laki-laki Tobala dari isterinya We Maisuri, La Tenri To Marilaleng
Pawelaiye ri Kaluku BodoE. Kemudian La Tone To Marilaleng Pawelaiye ri
Pattingaloang. Inilah yang kawin dengan We Tungke Arung Tessiada. Dari
perkawinan itu lahirlah We Sutra Daeng Tasabbe Arung Tessiada. Kemudian
We Sutra Daeng Tasabbe kawin dengan La Rubba Arung Jaling anak dari La
Tenri To Marilaleng Pawelaiye ri Kaluku BodoE dari isterinya We Sellima
Arung Ulo. Dari perkawinan ini lahirlah yang bernama La Mappa Arung
Jaling, La Maddukkelleng Arung Tessiada, To Akkeppeang Sulewatang
Palakka. La Mappa Arung Jaling kawin dengan We Saria Arung Palongki dan
melahirkan La Supu Arung Palongki. Selanjutnya La Supu kawin dengan We
Sutra Daeng Tasabbe, lahirlah La Esa Arung Palongki. Kembali kepada La
Tenri Tatta bersama pengawalnya yang sementara berada di Butung. Setelah
kapal Kompeni Belanda kembali dari Ternate untuk selanjutnya ke
Jakarta, singgahlah di Butung mengambil La Tenri Tatta bersama seluruh
pengawalnya. Setibanya di Jakarta ditunjukkanlah tanah yang luas untuk
ditempati. Kampung itu kemudian bernama Kampung To PattojoE, disitulah
La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na membina dan melatih
pengawalnya sebagai persiapan untuk kembali ke Tana Ugi melawan KaraengE
ri Gowa.
• LA SEKATI ARUNG AMALI (1660 – 1667)
Setelah Tobala meninggal dunia, KaraengE ri Gowa
menunjuk lagi La Sekati Arung Amali menjadi Jennang di Bone. Selama
tujuh tahun La Sekati Arung Amali menjadi Jennang di Bone, selama itu
pula tindakan kesewenang-wenangan orang Gowa terhadap orang Bone semakin
menjadi-jadi. Oleh karena itu sebahagian besar sama Karaeng Bonto
Marannu menyerang Butung. Dengan pasukan yang lengkap dan siap
berperang, berangkatlah ke Butung untuk menghajarnya. Sementara itu, La
Tenri Tatta Arung Palakka bersama seluruh pengikutnya dan pasukan
Kompeni Belanda telah berada dalam perjalanan menuju ke Tanah Ugi. Dia
akan langsung ke Butung untuk mengambil seluruh orang Bone dan orang
Soppeng yang mengungsi kesana akibat tindakan orang Gowa. Begitu pula
orang-orang Gowa yang lari kesana. Hal ini terjadi dalam tahun 1667 M.
Atas kedatangan Arung Palakka Malampe’E Gemme’na, merupakan akhir
penderitaan orang Bone dari penjajahan Gowa. Sebelum Datu Luwu dan
Karaeng Bonto Marannu memulai serangannya terhadap Butung, datanglah
kapal Kompeni Belanda yang ditumpangi La Tenri Tatta Arung Palakka
bersama dengan pasukan Belanda. Dengan demikian rencana Datu Luwu dan
Karaeng Bonto Marannu untuk menyerang Butung terpaksa batal. Admiral
Speelman selaku pimpinan pasukan Belanda bersama La Tenri Tatta Arung
Palakka mengutus beberapa orang untuk menemui Datu Luwu dan Karaeng
Bonto Marannu. Kepada utusan itu disuruh untuk menyampaikan kepada Datu
Luwu dan Karaeng Bonto Marannu bahwa janganlah Raja Butung yang
diserang, karena dia tidak bersalah. Tetapi kalau KaraengE ri Gowa
benar-benar mau berperang, maka sekarang lawannya sudah ada. Atau
alangkah baiknya kalau Datu Luwu bersama Karaeng Bonto Marannu turun ke
kapal sekarang juga dengan mengibarkan bendera putih untuk kita bicara
secara baik-baik. Mendengar penyampaian Admiral Speelman dan La Tenri
Tatta Arung Palakka Malampe’E Gemme’na, Datu Luwu minta pertimbangan
kepada Karaeng Bonto Marannu. Setelah mempertimbangkan baik dan buruknya
ajakan Admiral Speelman dan Arung Palakka, maka keduanya sepakat untuk
turun ke kapal dengan mengibarkan bendera putih untuk menemuinya. Kepada
Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu La Tenri Tatta Arung
Palakka berkata ; ”Saya tidak tahu perselisihan Luwu dengan Bone, saya
juga tidak tahu apa perselisihan saya dengan Karaeng Bonto Marannu. Maka
menurut pikiran saya, alangkah baiknya kalau Datu Luwu dan Karaeng
Bonto Marannu, bersama seluruh pasukannya kembali ke negerinya”.
Setelah itu, dibawalah Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu bersama
seluruh pasukannya ikut di kapal. Karena pada saat itu La Tenri Tatta
Arung Palakka juga sudah akan menginjakkan kakinya di Tanah Ugi.
Diikutkanlah semua orang Bone , orang Soppeng dan orang Gowa yang ada
di Butung. Adapun alat-alat perang orang Gowa dan pasukan Datu Luwu
diserahkan kepada orang Bone. Ketika KaraengE ri Gowa mengetahui bahwa
Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu diikutkan di kapal Kompeni Belanda
dan seluruh persenjataannya diserahkan kepada orang Bone, maka iapun
berpikir bahwa kesepakatan antara Luwu dengan Gowa telah pecah. Oleh
karena itu seluruh tawanannya dikembalikan ke negerinya, termasuk
Arumpone dan Datu Soppeng La Tenri Bali. Tanggal 21 November 1667 M.
berperang habis-habisanlah La Tenri Tatta melawan Gowa. Bersama dengan
Speelman menggempur KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin. Menyerahlah
orang Gowa dan KaraengE ri Gowa pun tidak dapat berbuat banyak. La Tenri
Tatta Arung Palakka berhasil menegakkan kembali kebesaran Bone,
membebaskan orang Bone dari tindakan kesewenang-wenangan Gowa.
Tercabutlah taring Gowa yang selama ratusan tahun menjadi kebanggaannya.
Ketika La Tenri Tatta Arung Palakka kembali ke Bone, ia lalu menemui
Arumpone pamannya sendiri yang bernama La Maddaremmeng. Pamannya berkata
; ”Saya ini sudah sangat lemah, sehingga alangkah baiknya engkau
memegang – akkarungeng (kerajaan) Bone. Karena memang warisanmulah dari
MatinroE ri Bantaeng. Karena engkaulah sehingga Bone ini bangkit
kembali, makanya tidak wajar untuk saya wariskan kepada anak cucuku yang
lain, kecuali kepadamu”. Arung Palakka menjawab ; ”Saya sangat
menghargai kemuliaanmu, Puang. Saya juga menjunjung tinggi maksud baikmu
itu, Puang. Tetapi menurutku nantilah api itu padam, baru kita ganti,
nantilah tiang itu patah baru kita mencari yang lain”. Oleh karena itu
La Maddaremmeng tetap memangku Mangkau’ di Bone sampai akhir hayatnya.
Akan tetapi pelaksanaan pemerintahan tetap dilakukan oleh La Tenri Tatta
Arung Palakka MalampeE Gemme’na. Begitu juga arung-arung yang bekerja
sama dengan Kompeni Belanda tidak bisa langsung bertemu dengan Gubernur
Belanda tanpa meminta izin kepada Arung Palakka. Gubernur Belanda telah
memberikan kewenangan kepada Arung Palakka untuk membawahi seluruh
arung-arung dan seluruh negeri-negeri yang ada dalam pengawasan Kompeni
Belanda di Celebes Selatan. Oleh Gubernur Belanda telah menunjukkan
negeri-negeri yang dikuasakan , seperti ; Balannipa, Sinjai sampai di
Bantaeng. Sejak itulah La Tenri Tatta Arung Palakka digelar Petta To
RisompaE. Kekalahan Gowa dalam perang melawan Belanda dan Bone ditandai
dengan suatu perjanjian yang disebut Perjanjian Bungaya. Perjanjian yang
mengakhiri kekuasaan Gowa di Celebes Selatan ditanda tangani oleh
KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin dan Laksamana Kompeni Belanda
Speelman pada hari Jumat 18 November 1667 M. Bertempat di Bungaya.
15. LA TENRI TATTA TO UNRU ARUNG PALAKKA (1667 – 1696)
Setelah La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka
meninggal dunia, maka digantikanlah oleh kemanakannya yang bernama La
Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na Petta To RisompaE. La Tenri
Tatta To Unru adalah anak dari We Tenri Sui Datu Mario Riwawo dengan
suaminya yang bernama La Pottobune Arung Tanatengnga Datu Lompulle. Ibu
dari We Tenri Sui adalah We Baji atau We Dangke LebaE ri Mario Riwawo
dengan suaminya La Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng. La
Tenri Ruwalah yang mula-mula menerima agama Islam dari KaraengE ri Gowa
yang juga dianggap sebagai orang pertama menerima agama Islam di Celebes
Selatan. Karena pada waktu itu orang Bone menolak agama Islam, maka
Arumpone La Tenri Ruwa pergi ke Bantaeng dan disanalah ia meninggal
dunia sehingga dinamakan MatinroE ri Bantaeng. Ketika La Tenri Tatta To
Unru baru berusia 11 tahun, Bone dibawah kepemimpinan La Tenri Ruwa,
Bone diserang dan dikalahkan oleh Gowa. Orang tuanya La Pottobune
ditangkap dan ditawan bersama Arumpone La Tenri Ruwa serta beberapa anak
bangsawan Bone lainnya oleh KaraengE ri Gowa dalam peristiwa yang
disebut Beta Pasempe ( Kekalahan di Pasempe ). Pasempe adalah sebuah
kampung kecil yang dipilih oleh Arumpone La Tenri Ruwa untuk melakukan
perlawanan dan disitulah dia dikalahkan. Semua tawanan Gowa termasuk
orang tua La Tenri Tatta Arung Palakka dibawa ke Gowa. Sesampainya di
Gowa, tawanan-tawanan itu dibagi-bagi kepada Bate SalapangE ri Gowa. La
Pottobune, isterinya We Tenri Sui dan anaknya La Tenri Tatta To Unru
diambil oleh KaraengE ri Gowa. Ditempatkan di SalassaE (Istana) Gowa dan
ditunjukkan sebidang tanah untuk digarap dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Disitu pulalah membuat pondok untuk ditempatinya. Karena La
Tenri Tatta To Unru dianggap masih anak-anak, maka To Unru selalu
diikutkan oleh KaraengE ri Gowa apabila bepergian. La Tenri Tatta
biasanya ditugasi untuk membawa tombak atau sebagai –pakkalawing epu
(pembawa perlengkapan) yang diperlukan oleh KaraengE ri Gowa dalam
perjalanan itu. Sejak itu La Tenri Tatta dikenal banyak kalangan,
termasuk para anggota Bate SalapangE ri Gowa. La Tenri Tatta To Unru
memiliki sifat-sifat yang baik, jujur dan cerdas. Oleh karena itu La
Tenri Tatta To Unru diambil oleh Karaeng Patingalloang untuk diajari
tentang adat-istiadat Mangkasar (Gowa). Setelah Karaeng Patingalloang Tu
Mabbicara Butta ri Gowa meninggal dunia, maka yang menggantikannya
adalah saudaranya yang bernama Karaeng Karunrung. Karaeng Karunrung
inilah yang terkenal sangat kejam terhadap orang-orang Bone yang menjadi
tawanan Gowa. Ini pulalah sebagai Tu Mabbicara Butta ri Gowa yang minta
kepada Tobala Jennang Bone untuk dikirimi sebanyak 10.000 orang Bone
yang akan dipekerjakan sebagai penggali parit dan pembuat benteng.
Jumlah tersebut tidak bisa dikurangi, diganti atau dibayar. Walaupun
seseorang yang telah ditunjuk itu ada yang bisa menggantikannya atau
mampu untuk membayarnya, namun oleh Karaeng Karunrung tidak
membenarkannya. Ketika orang Bone yang jumlahnya 10.000 itu tiba,
langsung dipekerjakan sebagai penggali parit dan pembuat benteng.
Tiap-tiap 10 orang diawasi oleh seorang mandor dari orang Gowa sendiri.
Mereka dipekerjakan mulai pagi sampai malam dan hanya diberi kesempatan
istirahat pada waktu makan. Makanannya tidak ditanggung oleh Karaeng
Karunrung, tetapi harus dibawa sendiri dari Bone. Adapun La Tenri Tatta
To Unru Daeng Serang, sudah kawin dengan seorang anak bangsawan Gowa
yang bernama I Mangkawani Daeng Talele. Pada saat orang Bone yang
jumlahnya 10.000 itu bekerja, La Tenri Tatta To Unru menggabungkan diri
dan bekerja juga sebagai penggali parit dan pembuat benteng. Ia juga
merasakan bagaimana penderitaan orang Bone disiksa oleh mandor-mandor
orang Gowa yang mengawasi pekerjaan itu. Suatu ketika, KaraengE ri Gowa
akan memperingati Ulang Tahunnya, maka diadakanlah perburuan rusa di
Tallo. Seluruh rakyat diharuskan mengikuti perburuan tersebut. La Tenri
Tatta Daeng Serang yang biasa membawakan tombak KaraengE, kebetulan
tidak ikut. Oleh karena itu orang tuanya La Pottobune’lah yang ditunjuk
oleh KaraengE ri Gowa untuk membawakan tombaknya. Sesampainya KaraengE
ri Gowa pada lokasi perburuan rusa di Tallo, terpencarlah orang banyak
baik sebagai pemburu atau sebagai penunggang kuda untuk menelusuri
hutan-hutan mencari rusa. Kebetulan ada dua orang pekerja parit yang
melarikan diri dan bersembunyi dihutan, karena disangkanya dirinya yang
dikepung. Kedua orang tersebut ditangkap oleh pemburu dan dihadapkan
kepada Karaeng Karunrung. Keduanya disiksa, dipukuli sampai meninggal
dunia. La Pottobune’ orang tua La Tenri Tatta sangat prihatin
menyaksikan penyiksaan itu, sehingga tidak dapat menahan perasaannya.
Datu Lompulle tidak mampu menahan emosinya dan pada saat itu juga ia
mengamuk dengan menggunakan tombak Karaeng Karunrung yang dibawanya.
Setelah membunuh banyak orang Gowa, barulah ia ditangkap dan disiksa
seperti layaknya pekerja parit yang melarikan diri tadi. Karena La
Pottobune’ memiliki ilmu kebal terhadap senjata tajam, maka nantilah dia
meninggal dunia setelah dimasukkan dalam lesung dan ditumbuk dengan
alu. Sejak kejadian itu, La Tenri Tatta To Unru Daeng Serang tidak bisa
lagi tidur. Setiap saat ia selalu berdoa kepada Dewata SeuwaE agar
diberi jalan yang lapang untuk kembali menegakkan kebesaran Tanah Bone.
Suatu saat pagi-pagi sekali La Tenri Tatta To Unru tiba di tempat
penggalian. Lalu dipanggilnya keluarga dekatnya, seperti ; Arung Belo,
Arung Pattojo Arung Ampana dan lain-lain. Semua keluarga dekatnya itu
memang tidak pernah berpisah dengannya. Dalam kesempatan itu, dibuatnya
suatu kesepakatan untuk membebaskan seluruh orang Bone dari penyiksaan
orang Gowa di tempat penggalian tersebut. Kesepakatan ini sangat
dirahasiakannya, tidak seorangpun yang bisa mengetahuinya termasuk
kepada isteri mereka. Pada waktu diadakan perburuan rusa terakhir di
Tallo, rencana pembebasan yang akan dilakukan oleh La Tenri Tatta Daeng
Serang, Arung Belo, Arung Pattojo dan Arung Ampana juga sudah cukup
matang. Semua keluarganya sudah dipersiapkan dan barang-barang bawaan
sudah dikemas dengan rapi. Saat itulah La Tenri Tatta Arung Palakka
memerintahkan kepada seluruh pekerja parit dan pembuat benteng untuk
melarikan diri meninggalkan tempat itu. Sebelumnya seluruh mandor dari
orang Gowa dibunuh dan dirampas senjata dan perlengkapan lainnya.
Sesampainya di Bone La Tenri Tatta To Unru langsung menemui Jennang
Tobala dan Datu Soppeng yang bernama La Tenri Bali yang tidak lain
adalah pamannya sendiri. Datu Soppeng La Tenri Bali dengan Jennang
Tobala memang telah membuat suatu kesepakatan untuk membangkitkan
kembali semangat orang Bone melawan Gowa. Kesepakatan antara Jennang
Tobala dengan Datu Soppeng inilah yang kemudian dikenal dengan nama
Pincara LopiE ri Attapang Kepada pamannya Datu Soppeng, La Tenri Tatta
To Unru minta bekal untuk dipakai dalam perjalanan, karena dia akan
pergi jauh mencari teman yang bisa diajak kerja sama melawan Gowa. Sebab
menurut perkiraannya perjalanan ini akan memakan waktu yang lama dan
akan menelan banyak pengorbanan. Tidak berapa lama, datanglah orang Gowa
dengan jumlah yang sangat besar lengkap dengan persenjataan perangnya
mencari jejaknya. Terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat antara La
Tenri Tatta To Unru bersama pasukannya melawan orang Gowa di Lamuru.
Tetapi karena kekuatan Gowa ternyata lebih kuat, akhirnya La Tenri Tatta
To Unu bersama pasukannya mundur kearah utara. Sementara orang Gowa
yang merasa kehilangan jejak, melanjutkan perjalanan ke Bone. Di Bone
orang Gowa betempur lagi melawan Tobala dengan pasukannya yang berakhir
dengan tewasnya Jennang Tobala Petta PakkanynyarangE. Setelah Tobala
Petta PakkanynyarangE tewas dalam pertempuran, orang Gowa terus ke
Soppeng untuk menangkap Datu Soppeng La Tenri Bali dan selanjutnya
dibawa ke Gowa ( Mangkasar ). Sedangkan pencaharian terhadap La Tenri
Tatta Arung Palakka tetap dilanjutkan. Tewasnya Tobala Arung Tanete
Petta PakkanynyarangE, oleh KaraengE ri Gowa yang bernama I Mallombasi
Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin merasa perlu
untuk mengangkat Jennang yang baru di Bone. Ditunjuklah La Sekati Arung
Amali sebagai pengganti Tobala, sementara Datu Soppeng La Tenri Bali
ditawan di Gowa dan ditempatkan di Sanrangeng bersama Arumpone La
Maddaremmeng. Karena merasa selalu diburu oleh orang Mangkasar ( Gowa ),
La Tenri Tatta To Unru bersama seluruh pengikutnya semakin terjepit dan
sulit untuk tinggal di Tanah Ugi. Oleh karena itu bersama Arung Belo,
Arung Pattojo dan Arung Ampana sepakat untuk menyeberang ke Butung Tanah
Uliyo. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan siapa tahu nanti di Butung
Tanah Uliyo bisa mendapatkan teman yang dapat diajak bekerja sama
melawan Gowa. Dipersiapkanlah sejumlah perahu dan pada saat yang tepat
La Tenri Tatta To Unru bersama seluruh pengikutnya bertolak dari pantai
Cempalagi Ujung Pallette menuju ke Butung Tanah Uliyo. Beberapa saat
saja setelah meninggalkan Cempalagi Ujung Pallette, orang Gowapun datang
mencari jejaknya. Tetapi La Tenri Tatta To Unru bersama pengikutnya
telah berada ditengah laut menuju ke Butung Tanah Uliyo. Dengan demikian
orang Gowa segera kembali untuk menyampaikan kepada KaraengE ri Gowa
bahwa La Tenri Tatta To Unru bersama seluruh pengikutnya tidak berada
lagi di daratan Tanah Ugi. Besar kemungkinannya ia menyeberang ke Butung
Tanah Uliyo untuk minta perlindungan kepada Raja Butung. Mendengar
laporan itu, KaraengE ri Gowa memerintahkan Arung Gattareng untuk
menyusulnya. Arung Gattareng berhasil bertemu La Tenri Tatta To Unru di
tengah laut. Setelah berbicara sejenak, Arung Gattareng lalu
membelokkan perahunya dan kembali ke Gowa . Sementara La Tenri Tatta
Arung Palakka bersama pengikutnya tetap melanjutkan perjalanan menuju ke
Butung. Sesampainya di Tanah Uliyo, La Tenri Tatta To Unru Arung
Palakka diterima baik oleh Raja Butung dan diberinya tempat untuk
istirahat dengan pengikutnya. Kepada La Tenri Tatta To Unru, Raja Butung
berkata ; ”Tinggallah sementara disini, nanti kalau kapal Kompeni
Belanda yang akan menuju ke Ambon dan Ternate singgah disini, barulah
saya pertemukan denganmu. Sebab sesungguhnya saya sangat menghawatirkan
kalau nantinya orang Gowa yang disuruh oleh KaraengE ri Gowa bisa
menemukan tempatmu disini. KaraengE ri Gowa memang sangat marah kepada
saya, karena kapal-kapal Kompeni Belanda selalu singgah disini apabila
akan berangkat menuju ke Ambon dan Ternate”. Pada saat La Tenri Tatta To
Unru akan bertolak ke Butung, ia singgah bernazar di gunung Cempalagi
dekat Pallette. Dalam nazarnya tersebut, La Tenri Tatta To Unru bertekad
tidak akan memotong rambutnya sebelum dirinya bersama seluruh
pengikutnya kembali dengan selamat di Tanah Ugi. Sejak itu rambutnya
dibiarkan menjadi panjang dan digelarlah MalampeE Gemme’na. KaraengE ri
Gowa sudah mengetahui bahwa La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka bersama
pengikutnya telah berada di Butung Tanah Uliyo. Oleh karena itu
disiapkanlah pasukan dengan jumlah besar yang diperlengkapi dengan
senjata perang untuk menyerang Butung Tanah Uliyo. Apalagi maksud untuk
menyerang Butung memang telah lama direncanakan, karena Butung selalu
menjadi tempat persinggahan kapal-kapal Kompeni Belanda kalau akan
berangkat ke Ambon dan Ternate. Tidak lama kemudian utusan KaraengE ri
Gowa datang ke Butung untuk mencari La Tenri Tatta bersama pengikutnya.
Tetapi sebelum utusan itu naik kedarat, Raja Butung menyampaikan kepada
La Tenri Tatta To Unru bersama pengikutnya untuk bersembunyi disebuah
sumur besar dan tidak berair tidak jauh dari istana Raja Butung. Kepada
La Tenri Tatta To Unru, Raja Butung berkata ;” Saya akan bersumpah nanti
kalau utusan KaraengE ri Gowa naik untuk menanyakan keberadaanmu, bahwa
kamu dengan seluruh pengikutmu tidak berada diatas Tanah Uliyo”. Karena
pernyataan Raja Butung bahwa La Tenri Tatta bersama seluruh pengikutnya
tidak berada diatas Tanah Uliyo dan utusan KaraengE ri Gowa memang
tidak melihat adanya tanda bahwa orang yang dicarinya ada di tempat itu,
maka utusan itupun pamit dan kembali ke Gowa. KaraengE ri Gowa rupanya
tidak kehabisan akal, maka disusunlah strategi baru dengan memperbanyak
pasukan dan diperlengkapi dengan persenjatan untuk menyerang Butung
sampai ke Ternate. Dipanggilah Datu Luwu La Setiaraja bersama Karaeng
Bonto Marannu untuk memimpin pasukan ke Tanah Uliyo. Menurut rencananya
setelah Butung kalah, serangan akan dilanjutkan ke Ternate untuk
menangkap Raja Ternate. Berita tentang rencana KaraengE ri Gowa yang
akan menyerang Butung dan Ternate telah sampai kepada Kompeni Belanda di
Jakarta. Oleh karena itu Kompeni Belanda mempersiapkan sejumlah kapal
dan perlengkapan perang untuk melawan Gowa. Kepada La Tenri Tatta To
Unru yang sementara berada di Butung dipesankan untuk memperlengkapi
pasukannya dengan persenjataan. Begitu pula kepada Raja Butung agar
bersiap-siap menunggu kedatangan Kompeni Belanda. Atas perintah
KaraengE ri Gowa, Datu Luwu bersama Karaeng Bonto Marannu berlayar ke
Butung membawa pasukan untuk menyerang Butung dan selanjutnya Ternate.
Sementara itu, berita tentang keberangkatan pasukan Kompeni Belanda
bersama La Tenri Tatta ke Butung telah sampai pula pada KaraengE ri
Gowa. Oleh karena itu, KaraengE ri Gowa segera mengembalikan Arumpone
La Maddaremmeng ke Bone dan Datu Soppeng yang bernama La Tenri Bali
dikembalikan ke Soppeng. Didudukkanlah Bone sebagai Palili (daerah
bawahan) dari Gowa yang berarti Bone telah lepas dari penjajahan Gowa.
Adapun maksud KaraengE ri Gowa mengembalikan Arumpone La Maddaremmeng
untuk menduduki kembali Mangkau’ Bone, agar orang Bone tidak lagi
melihat Gowa sebagai lawan yang sedang bermusuhan dengan Kompeni
Belanda. Sementara La Tenri Bali Datu Soppeng yang tadinya ditempatkan
di Sanrangeng bersama Arumpone La Maddaremmeng sebagai tawanan,
dikembalikan pula ke Soppeng. Selanjutnya Soppeng didudukkan pula
sebagai Palili dari Gowa sebagaimana halnya Bone. Sejak itu Soppeng
bukan lagi sebagai jajahan Gowa melainkan sebagai daerah bawahan saja.
Kapal-kapal Kompeni Belanda yang memuat pasukan tempur yang dipimpin
oleh Cornelis Speelman tiba di Butung. Diatas kapal ada La Tenri Tatta
To Unru Arung Palakka bersama dengan seluruh pengikutnya. Sesampainya di
Butung, La Tenri Tatta To Unru Arungt Palakka MalampeE Gemme’na
memperoleh informasi bahwa yang memimpin pasukan Gowa adalah Datu Luwu
La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu. Oleh karena itu La Tenri Tatta
berkata kepada Cornelis Speelman agar jangan melepaskan tembakan. La
Tenri Tatta memberi penjelasan kepada Cornelis Speelman bahwa Bone
dengan Luwu sama-sama jajahan Gowa dan tidak pernah bermusuhan. Begitu
pula Karaeng Bonto Marannu tidak pernah terjadi perselisihan faham
dengannya. Keduanya hanya disuruh oleh KaraengE ri Gowa unuk menyerang
orang Bone. Selanjuitnya La Tenri Tatta mengajak kepada Cornelis
Speelman untuk mengirim utusan kedarat guna menemui Datu Luwu dan
Karaeng Bonto Marannu.Siapa tahu ada jalan yang bisa ditempuh dan tidak
saling bermusuhan sesama saudara. Ajakan itu disetujui oleh Speelman dan
diutuslah beberapa orang naik menemui Datu Luwu dan Karaeng Bonto
Marannu. Sesampainya ditempat Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu,
utusan itu menyampaikan bahwa Arung Palakka bersama Cornelis Speelman
mengharapkan Datu Luwu bersama Karang Bonto Marannu turun ke kapal
dengan mengibarkan bendera putih untuk berbicara secara baik-baik.
Mendengar apa yang disampaikan oleh utusan itu, Datu Luwu La Setiaraja
dan Karaeng Bonto Marannu sependapat bahwa lebih banyak buruknya dari
pada baiknya jika kita saling bermusuhan sesama saudara. Kalau kita
berdamai, hanyalah senjata kita yang diambil. Tetapi kalau kita bertahan
untuk berperang, maka senjata beserta seluruh pasukan kita ikut
diambil. Setelah saling bertukar pendapat antara Datu Luwu dengan
Karaeng Bonto Marannu yang mendapat persetujuan dari seluruh pasukannya,
maka turunlah ke kapal Kompeni Belanda menemui La Tenri Tatta Arung
Palakka dan Cornelis Speelman sebagai pimpinan pasukan Kompeni Belanda.
Dari atas kapal nampak Arung Belo, Arung Pattojo, Arung Ampana serta
Arung Bila menjemput kedatangan Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu
beserta beberapa pengikutnya. Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto
Marannu menyatakan bergabung dengan Arung Palakka, makanya keduanya
minta perlindungan Kompeni Belanda. Untuk mengamankan keduanya dari
KaraengE ri Gowa, dibawa ke sebuah pulau oleh Cornelis Speelman. Nanti
setelah perang selesai, barulah kembali ke negerinya. Sedangkan
pasukannya dinaikkan ke kapal untuk dibawa pulang ke kampungnya setelah
dilucuti seluruh senjatanya. Sementara itu, berita tentang
dikembalikannya La Maddaremmeng ke Bone dan La Tenri Bali ke Soppeng
oleh KaraengE ri Gowa dimana Bone dan Soppeng didudukkan sebagai Palili
(daerah bawahan), telah sampai kepada La Tenri Tatta Arung Palakka. Lalu
Arung Palakka mengirim utusan ke Bone dan Soppeng agar Arumpone dan
Datu Soppeng tetap mengangkat senjata untuk melawan KaraengE ri Gowa
Sultan Hasanuddin. La Tenri Tatta Arung Palakka bersama Cornelis
Speelman dengan persenjatan yang lengkap meninggalkan Butung menyusuri
daerah-daerah pesisir yang termasuk kekuasan KaraengE ri Gowa. Banyak
daerah pesisir yang tadinya berpihak kepada Gowa, berbalik dan
menyatakan berpihak kepada La Tenri Tatta Arung Palakka. Sementara
melalui darat, Arung Bila, Arung pattojo, Arung Belo dan Arung Ampana
terus membangkitkan semangat orang Bone dan orang Soppeng untuk
berperang melawan Gowa. Beberapa daerah di Tanah Pabbiring Barat
berbalik pula melawan KaraengE ri Gowa. Dengan demikian keadaan KaraengE
ri Gowa Sultan Hasanuddin sudah terkepung. Kompeni Belanda dibawah
komando Cornelis Speelman menghantam dari laut, sementara Arung Palakka
dengan seluruh pasukannya menghantam dari darat. Semua arung yang
tadinya membantu Gowa kembali berbalik menjadi lawan, kecuali Wajo tetap
membantu Gowa. Karena merasa sudah sangat terdesak dan pertempuran
telah banyak memakan korban dipihak Sultan Hasanuddin, maka pada hari
Jumat tanggal 21 November 1667 M. KaraengE ri Gowa I Mallombasi Daeng
Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin bersedia mengakhiri
perang. Kesediaannya itu ditandai dengan suatu perjanjian yang bernama
Perjanjian Bungaya. Perjanjian mana ditanda tangani oleh Sultan
Hasanuddin dengan Cornelis Speelman Admiral Kompeni Belanda. Sementara
perjanjian Sultan Hasanuddin dengan Arung Palakka adalah melepaskan Bone
dan Soppeng sebagai jajahan Gowa. Setelah perang berakhir, barulah La
Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya masuk ke Bone. Sesampainya
di Bone, dijemput oleh Arumpone La Maddaremmeng. Keduanya saling
mengucapkan selamat atas kemenangannya melawan Gowa. Berkatalah La
Maddaremmeng kepada kemenakannya La Tenri Tatta ; ”Saya sekarang sudah
tua dan semakin lemah, walaupun saya telah dikembalikan oleh KaraengE ri
Gowa untuk menduduki Mangkau’ di Bone, namun hanyalah sebagai simbol.
Sebab Bone hanya ditempatkan sebagai daerah palili yang berarti harus
tetap mengabdi kepada Gowa. Oleh karena itu saya berpendapat sebaiknya
engkaulah yang memangku Mangkau’ di Bone. Sebab memang warisanmu dari
MatinroE ri Bantaeng. Hanya karena orang Bone pada mulanya tidak mau
menerima Islam, sehingga ia meninggalkan Bone”. La Tenri Tatta Arung
Palakka menjawab ; ”Saya menjunjung tinggi keinginan Puatta, tetapi saya
tetap berpendapat bahwa nantilah api itu padam baru dicarikan
penggantinya, artinya nantilah Arumpone benar-benar sudah tidak ada baru
diganti”. Oleh karena itu La Maddaremmeng tetap memangku Mangkau’ di
Bone sampai ia meninggal dunia. Akan tetapi hanyalah simbol belaka,
sebab yang melaksanakan pemerintahan adalah kemenakannya yang bernama La
Tenri Tatta To Unru Arung Palakka. Bagi Kompeni Belanda hubungannya
dengan arung-arung di Tanah Ugi harus melalui La Tenri Tatta Arung
Palakka. Cornelis Speelman meminta kepada Gubernur Jenderal di Betawe
agar Arung Palakka diangkat menjadi Arumpone. Selain itu ia juga
diangkat menjadi pimpinan bagi arung-arung di Tanah Ugi, karena itu
digelarlah To RisompaE. Dalam tahun 1672 M. Arumpone La Maddaremmeng
meninggal dunia, barulah Arung Palakka resmi menjadi Arumpone.
Diseranglah Wajo pada bulan Agustus 1670 M, karena Arung Matowa Wajo
yang bernama La Tenri Lai belum mau mengalah pada saat diadakannya
Perjanjian Bungaya. La Tenri Lai menyatakan kepada KaraengE ri Gowa
Sultan Hasanuddin bahwa perang antara KaraengE dengan Kompeni Belanda
telah berakhir, tetapi perang Wajo dengan Arung Palakka belum selesai.
Oleh karena itu Sultan Hasanuddin menganjurkan kepada La Tenri Lai untuk
kembali ke Wajo bersama seribu pengikutnya. Sesampainya di Wajo,
disusul kemudian oleh Arung Palakka bersama seluruh pengikutnya dan
berperanglah selama empat bulan. Korban berguguran baik dari Bone,
Soppeng maupun Wajo. Batal sudah Perjanjian TellumpoccoE, akhirnya Wajo
kalah. Tosora terbakar, bobol sudah pertahanan Wajo. Dalam peperangan
yang dahsyat ini, Arung Matowa Wajo La Tenri Lai To Sengngeng gugur
terbakar, maka digelarlah MatinroE ri Salokona. Dengan demikian
datanglah utusan PillaE PatolaE minta untuk diadakan gencatan senjata
atau menghentikan perang kepada Bone dan Soppeng. Permintaan itu dijawab
oleh Arung Palakka bahwa hanya diberi kesempatan selama tiga hari untuk
mengurus jenazah Arung MatowaE ri Wajo. Setelah itu, sepakatlah orang
Wajo untuk mengangkat La Palili To Malu menggantikan La Tenri Lai To
Sengngeng sebagai Arung Matowa Wajo yang baru. Arung Matowa Wajo inilah
yang menyatakan diri kalah dengan Bone dan Soppeng. Pada tanggal 23
Sepetember 1670 M. La Palili To Malu naik ke Ujungpandang untuk menanda
tangani perjanjian dalam Benteng Rotterdam. Arung Palakka MalampeE
Gemme’na, ArungE ri Bantaeng, Datu Soppeng, Arung Tanete serta beberapa
petinggi lainnya yang mengantar Arung Matowa Wajo La Palili To Malu
masuk ke Benteng Rotterdam. Arung Matowa Wajo brsama dengan PillaE yang
bernama La Pakkitabaja, PatolaE yang bernama La Pangabo, CakkuridiE yang
bernama La Pedapi, inilh yang dinamakan TelluE Bate Lompo ri Wajo.
Setelah selesai berperang dengan Wajo tahun 1671 M. dikawinkanlah adik
perempuannya yang bernama We Mappolo BombangE yang juga diangkat
menjadi Maddanreng di Palakka. We Mappolo BombangE dikawinkan dengan La
PakokoE Toangkone Arung Timurung yang juga Arung Ugi anak dari La
Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka dengan isterinya yang bernama We Hadijah
I Dasaleng Arung Ugi. Lima bulan setelah perkawinan adik perempuannya
We Mappolo BombangE Maddanreng Palakka, dalam tahun 1671 M. Arung
Palakka MalampeE Gemme’na mengadakan keramaian untuk melepaskan nazarnya
ketika hendak meninggalkan Tanah Ugi. Nazarnya itu, adalah ; Kalau
nantinya saya selamat kembali ke Tanah Ugi menegakkan kembali kebesaran
Bone dan Soppeng, saya akan membuat sokko (nasi ketang) tujuh macam
setinggi gunung Cempalagi. Akan kusembelih seratus kerbau camara
(belang) bertanduk emas, sebagai tebusan anak bangsawan Gowa –maddara
takku – (berdarah biru) dan sebagai ganti kepala Karaeng Mangkasar
(bangsawan tinggi) di Gowa. Pada saat itulah La Tenri Tatta Arung
Palakka menyampaikan kepada pengikutnya bahwa ia memanjangkan rambutnya
selama dalam perantauan dan nanti akan dipotong setelah kembali
menegakkan kebesaran Bone. Maka setelah melepaskan nazarnya di
Cempalagi, iapun memotong rambutnya, kemudian mangosong (bernyanyi) ; ”
Muaseggi belobelo, weluwa sampo genoaE mattipi nattowa wewe. Muaseggi
culecule weluwa sampo palippaling ri accinaongi awana”. Ketika acara
potong rambutnya yang diikuti oleh seluruh pengikutnya selesai, La Tenri
Tatta To Unru melepaskan nazarnya dengan memotong 400 ekor kerbau
dilereng gunung Cempalagi. Seratus ekor kerbau camara (Bulu hitam dengan
belang dibagian ekor dan kepala) bertanduk emas (ditaruh emas pada
tanduknya). Tiga ratus ekor sebagai pengganti kepala bangsawan Gowa dan
bangsawan Mangkasar. Setelah itu, diseranglah seluruh negeri yang belum
menyatakan diri takluk kepada Bone. Negeri-negeri itu antara lain ;
Mandar, Palilina Tanah Luwu yang masih mengikut kepada Gowa. Selanjutnya
serangannya ditujukan kepada Pasuruan Jawa Timur, Galingkang dan
Sangalla. Kesemua negeri tersebut dikalahkan dan terakhir adalah Letta.
Pada tanggal 3 – 11 – 1672 M. We Mappolo Bombang Maddanreng Palakka
melahirkan anak laki-laki yang bernama La Patau Matanna Tikka WalinonoE
La Tenri Bali MalaE Sanrang. Anak ini lahir dari perkawinannya denga La
PakokoE Toangkone Arung Timurung. Atas kelahiran La Patau Matanna Tikka
membuat La Tenri Tatta Arung Palakka Petta To RisompaE sangat gembira.
Karena menurut pikirannya, sudah ada putra mahkota yang bisa melanjutkan
akkarungeng di Tanah Bone. La Tenri Tatta Arung Palakka yang tidak
memiliki anak, menganggap bahwa anak dari adik perempuannya itulah yang
menjadi anak pattola (putra mahkota). Setelah Arumpone La Maddaremmeng
meninggal dunia dalam tahun 1672 M. sepakatlah anggota Hadat Bone yang
didukung oleh seluruh orang Bone serta Pembesar Kompeni Belanda untuk
mengangkat La Tenri Tatta Arung Palakka menjadi Arumpone menggantikan
pamannya. Agar dapat memperoleh keturumam La Tenri Tatta Arung Palakka
kawin dengan We Yadda Datu Watu anak dari La Tenri Bali Datu Soppeng
MatinroE ri Datunna dengan isterinya yang bernama We Bubungeng I Dasajo.
Namun dari perkawinannya itu, tetap tidak memperoleh keturunan. Adapun
saudara perempuan La Tenri Tatta yang bernama We Kacimpureng yang kawin
dengan To Dani juga tidak memiliki keturunan. Saudara perempuaannya
yang tua yang bernama We Tenri Abang, dialah yang diberikan Mario
Riwawo. Dia pula yang diikutkan sewaktu La Tenri Tatta pergi ke Jakarta
dimasa berperang dengan Gowa. We Tenri Abang kawin dengan La Mappajanji
atau biasa juga dinamakan La Sulo Daeng Matasa. Dari perkawinannya itu
lahir seorang anak perempuan yang bernama We Pattekke Tana Daeng
Risanga. Melihat bahwa tidak ada lagi musuh yang berarti, maka Arumpone
La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka mengumpulkan seluruh Bocco
(Akkarungeng Tetangga) di Baruga TelluE Coppo’na di Cenrana. Diadakanlah
suatu pesta untuk disaksikan oleh arung-arung yang pernah
ditaklukkannya, termasuk pembesar-pembesar Kompeni Belanda. Dalam
kesempatan itu, Arumpone La Tenri Tatta Arung Palakka menyampaikan
kepada semua yang hadir bahwa dirinya telah melepaskan nazar dan telah
meletakkan samaja (sesaji) dan juga telah memotong rambutnya. Seluruh
yang hadir pada pesta tersebut mendengarkan dengan baik tentang apa yang
disampaikan oleh Petta To RisompaE. “Dengarkanlah wahai seluruh orang
Bone dan juga seluruh daerah passeyajingeng Tanah Bone, termasuk
passeyajingeng keturunan MappajungE. Besok atau lusa datang panggilan
Allah kepadaku, hanyalah kemanakan saya yang dua bisa mewarisi milikku.
Yang saya tidak berikan adalah harta yang masih dimiliki oleh isteriku I
Mangkawani Daeng Talele. Sebab saya dengan isteriku I Mangkawani Daeng
Talele tidak memiliki keturunan. Adapun kemanakanku yang bernama La
Patau Matanna Tikka, anak dari Maddanreng Palakka saya berikan
akkarungeng ri Bone. Sedangkan kemanakanku yang satu anak Datu Mario
Riwawo, saya wariskan harta bendaku, kecuali yang masih ada pada
isteriku I Mangkawani Daeng Talele”. La Patau Matanna Tikka berkata ;
“Saya telah mendengarkan pesan pamanku Petta To RisompaE bahwa saya
diharapkan untuk menggantikannya kelak sebagai Mangkau’ di Bone. Namun
saya sampaikan kepada orang banyak bahwa sebelum saya menggantikan
Puatta selaku Arumpone, apakah merupakan kesepakatan orang banyak dan
bersedia berjanji denganku?” Seluruh anggota Hadat dan orang banyak
berkata ; “Katakanlah untuk didengarkan oleh orang banyak”. Berkata lagi
La Patau Matanna Tikka ; “Saya akan menerima kesepakatan orang banyak
dari apa yang dikatakan oleh Puatta To RisompaE, apabila orang banyak
mengakui dan mengetahui bahwa ; - Tidak akan ada lagi Mangkau’ di Bone
kalau bukan keturunanku. - Ketahui pula bahwa keturunanku adalah anak
cucu MappajungE tidak akan dipilih dan didudukkan oleh keturunan LiliE.
Begitulah yang saya sampaikan kepada orang banyak”. Seluruh orang banyak
berkata ; ”Angikko Puang kiraukkaju Riyao miri riyakeng mutappalireng –
muwawa ri peri nyameng” (Baginda angin dan kami semua daun kayu –
dimana Baginda berhembus, disanalah kami terbawa – menempuh kesulitan
dan kesenangan). La Tenri Tatta To RisompaE, adalah Datu Mario Riwawo,
Arung di Palakka sebelum memangku Mangkau’ di Bone menggantikan MatinroE
ri Bukaka. Sesudah perjanjian Bungaya 18 November 1667 M. dia
menegakkan kembali kebesaran Bone, melepaskan dari jajahan Gowa. Begitu
pula Soppeng, Luwu dan Wajo, semuanya dilepaskan dari jajahan Gowa. Datu
Luwu MatinroE ri Tompo’tikka yang menguasai Tanah Toraja sampai di
pegunungan Latimojong yang ikut membantu Bone, diangkat sebagai daerah
passeyajingeng (daerah sahabat). Oleh karena itu Arumpone La Tenri Tatta
digelar Petta To RisompaE atas dukungan Kompeni Belanda yang memberinya
kekuasaan sebagai Mangkau’ dari seluruh Mangkau’ di Tanah Ugi. La Tenri
Tatta To Unru lalu membuat payung emas dan payung perak di samping
Bendera SamparajaE. Oleh Kompeni Belanda diberinya selempang emas dan
kalung emas sebagai tanda kenang-kenangan Kompeni Belanda atas jasa
baiknya menjalin kerja sama. Selaku Mangkau’ dari seluruh Mangkau’ di
Celebes Selatan, La Tenri Tatta Petta To RisompaE belum merasa puas
kalau TelluE Cappa’ Gala yaitu Kerajaan Besar Bone, Gowa dan Luwu tidak
bersatu. Oleh karena itu, ia mengawali dengan mengawinkan bakal
penggantinya sebagai Arumpone kelak yaitu La Patau Matanna Tikka
WalinonoE dengan anak PajungE ri Luwu La Setiaraja MatinroE ri
Tompo’tikka dari isterinya yang bernama We Diyo Opu Daeng Massiseng
Petta I Takalara. Anak Datu Luwu tersebut bernama We Ummung Datu
Larompong. We Ummung Datu Larompong kemudian diangkat menjadi Maddanreng
TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo) dan seluruh daerah sahabat Bone
dalam tahun 1686 M. Untuk Wajo diangkat dua orang berpakaian kebesaran,
begitu pula Soppeng, Ajatappareng, Massenrempulu, Mandar PituE Babanna
Minanga tiga orang, Kaili, Butung, Tolitoli masing-masing tiga orang.
Sedangkan Ajangale’ dan Alau Ale’ masing-masing dua orang. Adapun
perjanjian La Tenri Tatta Petta To RisompaE dengan Datu Luwu La
Setiaraja MatinroE ri Tompo’tikka, adalah ; ”Apabila La Patau bersama We
Ummung Datu Larompong melahirkan anak, maka anaknya itulah yang akan
menjadi Datu di Luwu”. Selanjutnya La Patau Matanna Tikka dikawinkan
lagi di Tanah Mangkasar dengan perempuan yang bernama We Mariama (Siti
Maryam) Karaeng Patukangang. Anak dari La Mappadulung Daeng Mattimung
KaraengE ri Gowa yang juga dinamakan Sultan Abdul Jalil dengan isterinya
Karaeng Lakiung. Dalam acara perkawinannya itu, datang semua daerah
sahabat Bone menyaksikannya. Adapun perjanjian Petta To RisompaE dengan
KaraengE ri Gowa, pada saat dikawinkannya La Patau Matanna Tikka dengan
We Mariama adalah ; ”Kalau nantinya La Patau dengan We Mariama
melahirkan anak laki-laki, maka anaknya itulah yang diangkat menjadi
Karaeng di Gowa”. Oleh karena itu maka hanyalah anak We Ummung dari Luwu
dan anak We Mariama dari Gowa yang bisa diangkat menjadi Mangkau’ di
Bone. Sementara yang lain, walaupun berasal dari keturunan bangsawan
tinggi, tetapi dia hanya ditempatkan sebagai cera’ biasa (tidak berhak
menjadi Mangkau’). Kecuali kalau anak We Ummung dan We Mariama yang
menunjuknya. Aturan yang berlaku di TellumpoccoE dan TelluE Cappa’ Gala
adalah - tenri pakkarung cera’E – tenri attolang rajengE (cera’ tidak
bisa menjadi Arung dan rajeng tidak bisa menggantikan Arung). Kecuali
semua putra mahkota telah habis dan tidak ada lagi pilihan lain. Ketika
kemanakan Petta To RisompaE yang bernama We Pattekke Tana Daeng
Tanisanga Petta MajjappaE Datu TelluE Salassana – digeso’ (tradisi orang
Bugis menggosok gigi dengan batu pada saat anak mulai dewasa),
diundanglah seluruh Bocco dan seluruh Lili Passeyajingeng Bone. Pada
saat itulah Petta To RisompaE memberikan kepada kemanakannya itu Pattiro
dan harta benda yang pernah dipersaksikan kepada orang banyak sesudah
memotong rambutnya. Selanjutnya We Pattekke Tana diberikan oleh ibunya
Mario Riwawo beserta isinya, dan ayahnya memberikan Tanete beserta
isinya. Pada acara maggeso’nya We Pattekke Tana, hadir semua Lili
Passeyajingeng Bone, seperti ; TellumpoccoE, LimaE Ajattappareng, PituE
Babanna Minanga, LimaE Massenreng Pulu, TelluE Batupapeng, Butung,
Toirate, BukiE, Gowa, Cappa’galaE dan petinggi-petinggi Kompeni Belanda.
Pada saat itu juga datang utusan PajungE ri Luwu untuk melamarkan
putranya yang bernama La Onro To Palaguna kepada We Pattekke Tana. Petta
To RisompaE mengatakan kepada utusan Datu Luwu ; ”Saya bisa menerima
lamaranmu wahai orang Ware, tetapi dengan perjanjian We Tekke (Pattekke
Tana) engkau angkat menjadi datu di Luwu. Walaupun dia nantinya tidak
memiliki anak dengan suaminya (La Onro To Palaguna), apalagi kalau dia
berdua melahirkan anak, maka harus mewarisi secara turun temurun tahta
sebagai Datu Luwu”. Permintaan tersebut diakui oleh orang Ware,
berjanjilah Puatta MatinroE ri Bontoala dengan MatinroE ri Tompo’tikka
untuk mengangkat We Pattekke Tana sebagai Datu Luwu sampai kepada anak
cucunya. Kesepakatan ini disetujui oleh orang Ware yang disaksikan oleh
TellumpoccoE. Dari perkawinan We Pattekke Tana dengan La Onro To
Palaguna lahirlah Batara Tungke Sitti Fatimah. Kemudian Sitti Fatimah
kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Rumpang Megga To
Sappaile Cenning ri Luwu. Anak dari We Yasiya Opu Pelai Lemolemo dengan
suaminya yang bernama La Ummareng Opu To Mallinrung. We Fatimah
melahirkan tiga orang anak, yaitu ; We Tenri Leleang, inilah yang
menjadi pewaris Datu Luwu. Yang kedua La Tenri Oddang atau La Oddang
Riwu Daeng Mattinring, dialah yang menjadi pewaris Arung Tanete.
Sedangkan yang ketiga La Tenri Angke Datu WaliE, dialah Datu Mario
Riwawo. Merasa usianya semakin renta, La Tenri Tatta To Unru Petta To
RisompaE MalampeE Gemme’na memilih untuk menetap di Tanah Mangkasar.
Tahun 1696 M. ia meninggal dunia di rumahnya di Bontoala, maka
dinamakanlah MatinroE ri Bontoala. La Tenri Tatta Arung Palakka yang
juga bernama Sultan Saaduddin dikuburkan di Bonto Biraeng berdampingan
dengan makam Sultan Hasanuddin MatinroE ri Bontoala.
16. LA PATAU MATANNA TIKKA (1696 – 1714)
Nama lengkapnya adalah La Patau Matanna Tikka
WalinonoE To Tenri Bali MalaE Sanrang MatinroE ri Nagauleng. Dialah yang
menjadi Arumpone setelah pamannya Petta To RisompaE meninggal dunia.
Sebelum Petta To RisompaE meninggal dunia, memang kemanakannya yang
bernama La Patau Matanna Tikka inilah yang dipesankan untuk menggantikan
kedudukannya sebagai Arumpone. Pesan yang dipersaksikan kepada seluruh
orang Bone segenap Lili Passeyajingeng Tanah Bone didukung oleh anggota
Hadat Tujuh Bone. La Patau Matanna Tikka adalah anak dari adik perempuan
Petta To RisompaE yang bernama We Mappolo BombangE Da Ompo We Tenri
Wale Maddanreng Palakka MatinroE ri Ajappasareng. Anak ini lahir dari
perkawinannya dengan La PakokoE Toangkone TadampaliE Arung Timurung
MaccommengE. La Patau Matanna Tikka MalaE Sanrang, dia juga sebagai
Ranreng Towa Wajo pusaka dari ayahnya. Selain itu ia pula sebagai Arung
di Ugi. La Patau merasa belum kuat kedudukannya sebagai Mangkau’ di
Bone berhubung masih ada putra mahkota yang lain yang berpeluang untuk
diangkat menjadi Mangkau’ di Bone. Putra mahkota tersebut, antara lain ;
La Pasompereng Petta I Teko, anak dari La Poledatu ri Jeppe’ dari
perkawinannya dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri
Sengngeng. La Poledatu ri Jeppe’ bersaudara dengan La Tenri Bali Datu
Soppeng MatinroE ri Datunna. Anak dari La Maddussila Arung Mampu
MammesampatuE yang juga sebagai Arung Sijelling. La Maddussila Arung
Mampu adalah anak dari We Tenri Patuppu Arumpone MatinroE ri Sidenreng.
Sedangkan We Tenri Sengngeng adalah anak dari We Tenri Tana Massao
LebbaE ri Mampu, adalah saudara La Maddussila Arung Mampu MammesampatuE.
We Tenri Tana kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Tenri
Peppang Lebbi WaliE Arung Kaju. Dari perkawinannya itu lahirlah We Tenri
Sengngeng. La Tenri Peppang Lebbi WaliE adalah anak dari We Tenri
Pateya saudara We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng. We Tenri Patuppu
bersaudara, yaitu ; We Tenri Pateya dan We Tenri Parola adalah anak dari
La Pattawe Arung Palenna Arumpone MatinroE ri Bettung Bulukumba, dari
hasil perkawinannya dengan We Balole I Dapalippu Arung Mampu. We Balole I
Dapalippu Arung Mampu adalah anak dari La Uliyo Bote’E Arumpone
MatinroE ri Itterung dengan isterinya yang bernama We Tenri Gau Arung
Mampu. Arumpone La Uliyo Bote’E inilah yang merupakan nenek dari La
Pasompereng Arung Teko dan juga merupakan nenek dari La Patau Matanna
Tikka. Hanya saja ketika Petta TorisompaE menjadi Mangkau’ di Bone
sampai meninggal dunia, La Pasompereng kebetulan tidak berada di Tanah
Ugi. Dia ke Timor Kupang karena disuruh oleh Petta To RisompaE sendiri
membantu Kompeni Belanda dalam memerangi orang Timor. Setelah Petta To
RisompaE meninggal dunia, barulah La Pasompereng kembali ke Bone dan
bermaksud merebut kedudukan La Patau Matanna Tikka sebagai Arumpone.
Pada mulanya La Patau tidak mengetahui bahwa La Pasompereng dianggap
cacat oleh Kompeni Belanda. Nanti setelah adanya surat dari Kompeni
Belanda yang menjelaskan tentang perbuatan La Pasompereng, barulah Lka
Patau merasa bahwa kedudukannya sebagai Mangkau di Bone telah aman.
Karena jelas bahwa La Pasompereng tidak mungkin didukung oleh Kompeni
Belanda untuk menduduki Mangkau’ di Bone dengan adanya kesalahannya itu.
Apalagi La Tenri Bali Datu Soppeng MatinroE ri Datunna yang bisa
mendukungnya juga telah meninggal dunia. Ketika La Tenri Bali MatinroE
ri Datunna meninggal dunia, ia tidak lagi digantikan oleh anaknya.
Tetapi orang Soppeng pergi ke Bone untuk minta kepada La Patau Matanna
Tikka agar selain sebagai Mangkau’ di Bone, dapat juga menjadi Datu di
Soppeng. La Patau Matanna Tikka tidak mengiyakan permintaan orang
Soppeng tersebut, karena ia berpikir bahwa kalau permintan orang
Soppeng itu diterima, maka ia harus menghadapi dua musuh besar yaitu La
Pasompereng Arung Teko dan Daeng Mabbani Sule DatuE ri Soppeng. Sebagai
Ranreng Towa di Wajo, La Patau Matanna Tikka sekali sebulan harus ke
Ujungpandang untuk melihat orang Wajo yang ada di Ujungpandang. Untuk
membantunya, diangkatlah Amanna Gappa sebagai Matowa Wajo yang
menggantikan dirinya bila kembali ke Bone. Setiap datang dari Bone, La
Patau selalu mengadakan Duppa Sawungeng (penyabungan ayam) secara
besar-besaran di Malimongeng. Semua arung-arung yang ada di Celebes
Selatan yang datang ke Ujungpandang untuk menemui Pembesar Kompeni
Belanda, mereka datang apabila La Patau ada. Arumpone La Patau Matanna
Tikka menolak permintaan orang Soppeng untuk menjadi Datu di Soppeng,
karena menurutnya masih ada pilihan yang paling tepat yaitu We Yadda
saudara Datu Soppeng MatinroE ri Salassana. Oleh karena itu, We Yadda
ditunjuk untuk menjadi Datu di Soppeng. Apalagi semasa hidupnya Petta To
RisompaE pernah kawin dengan sepupunya yang bernama We Yadda itu.
Kembali kepada Arung Teko yang bernama La Pasompereng, kawin dengan
saudara perempuan KaraengE ri Gowa Mallawakka Daeng Matanre Karaeng
Kanjilo Tu Mammenanga ri Passirinna. Dari perkawinannya itu melahirkan
anak perempuan yang bernama Karaeng Pabbineya. Inilah yang kawin dengan
To Marilaleng Pawelaiye ri Kariwisi, anak Opu Tabacina Karaeng Kariwisi
dengan isterinya yang bernama Arung Ujung. Sekembalinya dari Timor, La
Pasompereng Arung Teko langsung masuk ke Bone untuk menyampaikan kepada
Arumpone La Patau Matanna Tikka bahwa dirinya telah kembali dari Timor.
Sebagai Arumpone, La patau menerima kedatangannya, karena dianggap telah
melaksanakan tugas dari Petta To RisompaE dalam membantu Kompeni
Belanda memerangi Timor. Namun dalam hati La Patau tetap berpikir siapa
tahu La Pasompereng akan menuntut -akkarungeng (Kedudukan sebagai
Mangkau’)di Bone, karena dia juga sebagai putra mahkota. Pada saat La
Pasompereng berkunjung ke Saoraja menemui La Patau, ia langsung menerima
berita tidak baik tentang isterinya yang berselingkuh dengan Sule DatuE
di Soppeng yang bernama Daeng Mabbani. Isteri La Pasompereng yang
bernama Karaeng BalakkaeriE adalah sudara dari KaraengE ri Gowa,
sehingga pertemuannya dengan Sule Datu Soppeng Daeng Mabbani selalu
dilakukannya di SalassaE ri Gowa. Berkatalah La Patau Matanna Tikka
kepada La Pasompereng ; ” Kalau kita tidak dapat mengamankan dalam rumah
tangga sendiri, maka lebih tidak bisa lagi mengamankan satu wanuwa
(negeri)”. Mendengar pernyataan Arumpone La Patau begitu, La Pasompereng
terkejut dan bertanya ; Mengapa adik berkata begitu ? Apa adik
mengetahui kalau dalam rumah tanggaku terjadi sesuatu yang memalukan ?”
Setelah Arung Teko mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali, barulah
Arumpone La Patau Matanna Tikka menjawab ;”Nantilah kakanda kembali ke
Gowa baru mengetahui. Sebab hal itu bukan lagi rahasia umum di
Gowa”.Selanjutnya Arumpone La Patau menjelaskan tentang perbuatan
isterinya itu yang berselingkuh dengan Sule DatuE ri Soppeng yang
bernama Daeng Mabbani. Arung Teko kemudian pamit untuk kembali ke Gowa.
Sesampainya di rumahnya, benar ia tidak menemukan isterinya. Arung Teko
menanyakan kepada seisi rumahnya dan jawabannya adalah Karaeng
BalakkaeriE pergi ke SalassaE. Oleh karena itu Arung Teko menyuruh orang
untuk memanggil isterinya agar kembali ke rumahnya. Namun penggilan itu
tidak diindahkan oleh isterinya dan sudah tidak mau lagi bertemu
dengan suaminya. Dengan demikian maka kepercayaan Arung Teko kepada apa
yang disampaikan oleh Arumpone semakin jelas. Ia pun berpikir untuk
melakukan perhitungan terhadap Sule DatuE di Soppeng. Tidak berapa lama,
datanglah Arumpone untuk mengadakan penyabungan ayam di Ujungpandang.
Menurut kebiasaannya, bila ada penyabungan ayam yang diadakan oleh
Arumpone di Ujungpandang, semua arung-arung datang di tempat itu.
Sebelum Arumpone memberikan tanda-tanda kepada Arung Teko bahwa dia
mengirim seekor ayam, berarti Sule DatuE di Soppeng yang bernama Daeng
Mabbani telah datang dan pasti ia berada di SalassaE untuk melakukan
pertemuan dengan Karaeng BalakkaeriE. Arung Teko lalu mempersiapkan
pengawalnya untuk menghadang Daeng Mabbani pada jalan setapak menuju ke
SalassaE di Gowa. Sebab dia pikir setelah penyabungan ayam bubar, pasti
Daeng Mabbani melewati jalan itu menuju ke SalassaE untuk bertemu dengan
isterinya. Sementara itu, Arumpone La Patau Matanna Tikka melaporkan
kepada Kompeni Belanda bahwa pada sore hari ini bakal terjadi
perkelahian antara Arung Teko serombongan dengan Sule DatuE. Siapa nanti
yang membunuh, dialah yang dimasukkan dalam kurungan. Sore harinya
bubarlah penyabungan ayam. Sule DatuE juga bersiap-siap untuk menuju ke
SalassaE bersama pengawalnya.Serdadu-serdadu Kompeni Belanda juga telah
berjaga-jaga pada tempat yang telah ditunjukkan oleh Arumpone. Tepat
matahari terbenam, pertumpahan darahpun terjadi. Duel antara Arung Teko
dengan Daeng Mabbani berlangsung sangat seru yang berakhir dengan
meninggalnya Daeng Mabbani. Arung Teko langsung ditangkap dan dimasukkan
dalam kurungan dan tidak akan dikeluarkan. Pada saat itu terjadi
perebutan kekuasaan antara Inggeris dengan Kompeni Belanda. Gubernur
Inggeris yang ada di Kalimantan, mengirim surat kepada Arung Teko yang
sementara di penjara melalui utusan khususnya agar Arung Teko bersama
seluruh pengikutnya melawan Belanda. Gubernur Inggeris bersedia
memberinya bantuan persenjataan, kalau Arung Teko bersedia melawan
Kompeni Belanda. Arung Teko juga dijanji oleh Inggeris bahwa kalau kalah
dalam melawan Kompeni Belanda, maka Inggeris siap untuk berhadapan
dengan Kompeni Belanda di Celebes Selatan. Ketika Arumpone mengetahui
hal itu, maka dia minta kepada Gubernur Kompeni Belanda agar Arung Teko
bersama seluruh pengikutnya dibuang (diasingkan) ke tempat yang
diperkirakan tidak bisa kembali ke Tanah Ugi hingga akhir hayatnya.
Dipilihlah tempat oleh Kompeni Belanda yaitu Seilon ujung Afrika
Selatan. Tempat itulah yang merupakan tempat pembuangan bagi Kompeni
Belanda bagi orang yang bersalah atau dianggap membahayakan. Di sanalah
Arung Teko bersama seluruh pengikutnya meninggal dunia. Setelah Arung
Teko diasingkan ke Afrika Selatan, barulah pemerintahan La Patau Matanna
Tikka di Bone dirasa aman. Ketika itu datang pula orang Soppeng untuk
meminta kepada Arumpone agar dapat memegang Bone dan Soppeng. Permintaan
orang Soppeng itu diterima oleh Arumpone dan jadilah La Patau Matanna
Tikka sebagai Arumpone dan juga sebagai Datu di Soppeng. Hal ini sesuai
keinginan MatinroE ri Madello semasa hidupnya agar Enci Camummu yang
diambil sebagai Sule Datu anak dari La Majuna MatinroE ri Salassana. La
Patau Matanna Tikka WalinonoE To Tenri Bali MalaE Sanrang MatinroE ri
Nagauleng lahir pada tanggal 3 November 1672 M. Diangkat menjadi
Mangkau’ di Bone pada tahun 1698 M. dan digelar dengan nama Sultan
Muhammad Idris Adimuddin. Oleh pamannya La Tenri Tatta Petta To
RisompaE, La Patau Matanna Tikka dikawinkan dengan We Ummung Datu
Larompong anak dari PajungE ri Luwu MatinroE ri Tompo’tikka. Dari
perkawinannya itu, lahirlah We Batari Toja Daeng Talaga. Inilah yang
menjadi Arung Timurung juga sebagai Datu di Citta. Anak berikutnya
adalah We Patimana Ware, inilah yang menjadi Datu Larompong. Oleh karena
itu dinamakanlah Opu Datu Larompong MatinroE ri Bola Ukina. Karena We
Batari Toja Daeng Talaga menjadi Mangkau’ di Bone, Datu Luwu dan
Soppeng, maka Akkarungeng Timurung diserahkan kepada adiknya We Patimana
Ware. Oleh karena itu We Patimana Ware lagi yang menjadi Arung
Timurung. We Patimana Ware kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama
La Rumanga Daeng Soreang. Melahirkan tiga orang anak We Wale Daeng
Matajang, We Manneng Daeng Masiang dan We Amira. Dalam tahun 1687 M. La
Patau Matanna Tikka dikawinkan lagi oleh pamannya Petta To RisompaE di
Tanah Mangkasar, yaitu We Mariama Karaeng Patukangan anak KaraengE ri
Gowa yang bernama I Mappadulung Daeng Mattimung Tumenanga ri Lakiung.
Dari perkawinannya itu melahirkan empat anak, satu perempuan dan tiga
laki-laki.Anaknya yang perempuan bernama We Yanebana I Dapattola
meninggal sebelum menikah. Adapun anaknya yang laki-laki yaitu La
Pareppai To Sappewali, La Padassajati To Appaware dan La Panaongi To
Pawawoi. Anak La Patau Matanna Tikka dari isterinya yang keempat yaitu
Datu Baringeng dianggap juga sebagai putra mahkota yaitu La Temmassonge’
atau La Mappasossong To Appaweling. Tetapi karena lahir setelah
Torisompae meninggal, sehingga oleh saudara-saudaranya hanya dianggap
sebagai anak cera’. Artinya nanti bisa menduduki akkarungeng (Mangkau’
atau Datu) setelah putra mahkota yang lainnya sudah tidak ada. Mulai
dari ManurungE ri Matajang sampai kepada La Patau Matanna Tikka berlaku
suatu tradisi bahwa – tenri pakkarung cera’E – tenri attolang rajengE.
La Patau Matanna Tikka kawin lagi dengan We Rakiyah di Bantaeng. Dari
perkawinannya itu melahirkan dua anak perempuan dan empat anak
laki-laki. Yang perempuan bernama We Tabacina meninggal dimasa kecil
begitu juga berikutnya. Sedangkan yang laki-laki masing-masing bernama ;
La Pauseri To Malimongeng, La Massettuang To Ape, La Massangirang To
Patawari, La Makkarumpa meninggal diwaktu kecil. Selanjutnya La Patau
kawin lagi dengan We Biba To UnynyiE.Melahirkan seorang anak laki-laki
yang bernama La Tangkilang, meninggal diwaktu kecil. Kemudian kawin
dengan We Maisa To Lemoape’E, melahirkan dua anak yaitu La Madditudang
To Parellei, yang satunya meninggal setelah lahir. Selanjutnya kawin
dengan We Lette To BaloE, mekahirkan seorang anak perempuan nama We
Celai. Isteri-isteri La Patau Matanna Tikka yang dikawini tidak secara
langsung, artinya hanya diwakili oleh orang lain, atau tombaknya,
kerisnya, cere’nya, tempat sirih dan sebagainya. Mereka itu adalah ; We
Sanging To Buki’E melahirkan seorang anak perempuan bernama We Cikondo,
meninggal diwaktu kecil. Selanjutnya We Sisa melahirkan We Maragellu I
Damalaka . Kemudian kawin lagi dengan We Sitti di Palakka melahirkan La
Pawakkari To Appasalle, meninggal diwaktu kecil. Isteri selanjutnya
bernama We Naja To SogaE melahirkan seorang anak bernama La WangiE.
Kemudian isterinya yang keenam bernama We Saiyo, tidak melahirkan anak.
Isteri yang berikutnya bernama We Cimpau melahirkan seorang anak bernama
La Mappaconga, meninggal diwaktu kecil. Selanjutnya bernama We Baya To
BukakaE melahirkan anak laki-laki bernama La Tongeng Datu Laisu. Inilah
yang menggantikan saudara ayahnya menjadi Datu Soppeng. Ini pula yang
kawin dengan Datu Mario Riawa dan melahirkan anak laki-laki bernama La
Mappaiyyo. La Mappaiyyo kawin di Pammana dengan perempuan yang bernama
We Tenri Dio anak dari La Gau Arung Maiwa Datu Pammana yang juga sebagai
Pilla di Wajo dengan isterinya yang bernama We Tenri Yabang Datu Watu
Arung Pattojo MatinroE ri Pangkajenne. La Mappaiyyo inilah yang dibunuh
oleh iparnya yang bernama La Dolo (La Tenri Dolo), karena sifatnya tidak
akan menuruti perintah iparnya. Pembunuhan terhadap La Mappaiyyo
membuat La Temmassonge MatinroE ri Malimongeng marah besar dan mencari
La Tenri Dolo untuk melakukan pembalasan. Oleh karena itu La Tenri Dolo
melarikan diri ke Kamboja dan akhirnya kawin dengan anak Raja Kamboja
disana. Dari perkawinannya dengan anak Raja Kamboja, lahirlah seorang
anak laki-laki bernama Ambaralana. Selanjutnya Ambaralana melahirkan
Raja Sitti yang kawin di India. Inilah yang melahirkan Nonci, orang
kayanya Islam di Singapura. Isteri selanjutnya bernama We Sitti
melahirkan seorang anak perempuan yang bernama We Benni. Inilah yang
kawin dengan La Mattugengkeng Daeng Mamaro Ponggawa Bone. Dari
perkawinan ini lahirlah We Tenriawaru Arung Lempang yang kawin dengan
sepupu satu kalinya yang bernama La Temmassonge’. Isteri berikutnya E
Saira Karobba satu anaknya bernama E Jalling. Selanjutnya isteri
kesebelas bernama E Sanrang orang Soppeng melahirkan satu anak perempuan
meninggal diwaktu kecil. Isteri La Patau Matanna Tikka yang berikut
adalah E Yati, satu anaknya perempuan bernama E Kima. Selanjutnya yang
bernama E Rupi, satu anaknya tapi meninggal setelah lahir. La Patau
Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng memiliki anak pattola (putra
mahkota) dua di Luwu dari isterinya bernama We Ummung Datu Larompong
yakni ; Batari Toja Daeng Talaga dan We Patimana Ware. Sedangkan dari
isterinya di Gowa yang bernama We Mariama Karaeng Pattukkangang memiliki
lima anak. Tetapi hanya tiga yang dianggap mattola, yakni ; La Pareppai
To Sappewali, La Padassajati To Appaware dan La Panaongi To Pawawoi.
La Temmassonge’ anak Datu Baringeng adalah – ana’ sengngeng
mallinrungngi ri ana’ mattolaE (putra mahkota yang terselubung) karena
dia dilahirkan setelah Petta To RisompaE meninggal dunia. Oleh karena
itu, La Temmassonge’ dikatakan – cera’i rimannessaE, sengngengi ri
mallinrungE. Artinya yang diketahui oleh orang banyak dia hanyalah anak
cera’ (bukan putra mahkota), tetapi sesungguhnya dia adalah anak
sengngeng (putra mahkota). Tidak satupun saudaranya yang mengetahui
kalau La Temmassonge’ itu adalah juga putra mahkota, kecuali Batari Toja
Daeng Talaga MatinroE ri Tippulunna. Selain itu, La Patau memiliki 29
anak cera’ dan anak rajeng. Tetapi kesemua itu tidak memiliki hak untuk
mewarisi kedudukan ayahnya sebagai Arumpone. Arumpone La Patau Matanna
Tikka dikenal sebagai seorang Mangkau’ yang sangat menghargai adat
istiadat. Ia sangat tidak senang kalau kebiasaan-kebiasan yang berlaku
dalam masyarakat diubah. Dia sangat membenci orang yang suka mengisap
madat (candu) dan perbuatan-perbuatan yang mengganggu keamanan
masyarakat. Dua anaknya yang disuruh bunuh karena memiliki kesenangan
mengisap madat. Dengan demikian pada masa pemerintahannya di Bone, semua
adat istiadat berjalan dengan baik. Tidak seorangpun yang berani
melanggar, sebab sedangkan anak sendirinya disuruh bunuh kalau melakukan
pelanggaran. Dia tidak memandang bulu, siapa saja yang melanggar pasti
dihukum termasuk keluarganya sendiri. Dimasa pemerintahannya, dua kali
nyaris terjadi peperangan antara Bone dengan Gowa yang berarti melawan
mertuanya sendiri yaitu KaraengE ri Gowa yang bernama I Mappadulung
Daeng Mattimung Sultan Abdul Jalil, ayah dari isterinya yang bernama We
Mariama Karaeng Patukangang. Pertama, yaitu pada tahun 1700 M. ketika
Sule DatuE ri Soppeng yang bernama Daeng Mabbani dibunuh oleh La
Pasompereng Arung Teko. KaraengE ri Gowa menyangka kalau La Pasompereng
didukung oleh Arumpone La Patau untuk membunuh Daeng Mabbani yang
kejadiannya di SalassaE ri Gowa. Untung saja sebelum perang berkobar,
Kompeni Belanda cepat-cepat turun tangan dengan menenangkan kedua belah
pihak. Kedua , yaitu pada tahun 1709 M. ketika La Padassajati melakukan
kesalahan besar di Bone. Karena takut dihukum oleh ayahandanya sendiri
yang dikenal tidak memandang bulu, maka La Padassajati To Appaware
melarikan diri ke Gowa untuk minta perlindungan kepada neneknya. Karena
permintaan Arumpone bersama Hadat Tujuh Bone agar La Padassajati
dikembalikan ke Bone untuk dihukum tidak dipenuhi oleh KaraengE ri Gowa,
maka Bone menyatakan perang dengan Gowa. Sementara KaraengE ri Gowa
juga menyatakan dengan tegas bahwa lebih baik berperang dari pada
menyerahkan cucunya kepada Bone untuk dihukum. Sementara rencana perang
antara Bone dengan Gowa menunggu saat yang tepat untuk dimulai,
tiba-tiba KaraengE ri Gowa meninggal dunia. Maka La Pareppai To
Sappewali saudara La Padassajati sendiri yang tidak lain adalah juga
anak dari La Patau Matanna Tikka menggantikan neneknya sebagai Somba ri
Gowa. La Pareppai To Sappewali juga tetap menolak untuk menyerahkan
saudaranya ke Bone. Hal inipun langsung ditengahi oleh Kompeni Belanda,
sehingga perang antara Bone dengan Gowa yang berarti perang antara anak
dengan ayah dapat dihindari. La Patau Matanna Tikka pulalah yang pertama
mengangkat Matowa bagi orang-orang Wajo yang tinggal di Ujungpandang.
Hal ini dimaksudkan agar orang-orang Wajo yang tinggal di Ujungpandang
ada yang memimpinnya dan melihat keadaan sehari-harinya. Pada waktu itu
La Patau Matanna Tikka disamping sebagai Mangkau’ di Bone, juga sebagai
Ranreng Towa di Wajo. Orang yang diangkat sebagai Matowa adalah La
Patelleng Amanna Gappa. Makanya La Patelleng Amanna Gappa dinamakan
Matowa Wajo. Dalam tahun 1714 M. Arumpone La Patau Matanna Tikka membuka
arena penyabungan ayam dan mengundang seluruh TellumpoccoE (Bone,
Soppeng dan Wajo). Datanglah Arung Matowa Wajo yang bernama La
Salewangeng To Tenri Ruwa yang mengikutkan kemanakannya yang bernama La
Maddukkelleng Daeng Simpuang Puanna La Tobo Arung Peneki. Arung Matowa
Wajo yang bertaruh ayam dengan orang Bone dan ayam Arung Matowa Wajo
sempat membunuh ayam orang Bone. Karena pengawal Arumpone merasa malu,
tiba-tiba seorang anak bangsawan Bone mengambil bangkai ayam tersebut
dan melemparkan ketengah kelompok orang Wajo. Bangkai ayam tersebut
kebetulan mengenai Arung Matowa Wajo yang berada ditengah-tengah orang
Wajo. Hal ini membuat La Maddukkelleng marah dan mengamuk. Dengan mata
gelap, ia memburu dan menikam orang yang melemparkan bangkai ayam
tersebut sampai meninggal ditempat. Setelah itu, La Maddukkelleng
melarikan diri kembali ke Wajo. Beberapa hari kemudian, pergilah utusan
Bone untuk meminta kepada Arung Matowa Wajo agar La Maddukkelleng
diserahkan ke Bone. Kepada utusan Bone, Arung Matowa Wajo mengatakan
bahwa La Maddukkelleng telah menyeberang ke Kalimantan. Sejak itulah La
Maddukkelleng menetap di Kalimantan dan menjadi Arung di Pasir. Untuk
kembali ke Wajo, memang sangat sulit. Sebab selalu ditunggu oleh
TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo) untuk dihukum. Dalam tahun 1714 M.
itu pula La Patau Matanna Tikka WalinonoE To Tenri Bali MalaE Sanrang
Sultan Idris Alimuddin meninggal dunia di Nagauleng Cenrana. Oleh
karena itu dinamakanlah MatinroE ri Nagauleng.
17. BATARI TOJA DAENG TALAGA MATINROE RI TIPPULUNNA (1714 – 1715)
Batari Toja Daeng Talaga menggantikan ayahnya La
Patau Matanna Tikka menjadi Mangkau’; di Bone, karena dialah yang
dipesankan oleh ayahnya sebelum meninggal dunia. Disamping sebagai
Arumpone, Batari Toja juga sebagai Datu Luwu dan Datu Soppeng.
Sebelumnya Batari Toja diangkat sebagai Arung Timurung, nanti setelah
diangkat menjadi Arumpone, barulah Timurung diserahkan kepada adiknya
yang bernama We Patimana Ware. We Patimana Ware inilah disamping sebagai
Arung Timurung, juga sebagai Datu Citta. Batari Toja dianbgkat menjadi
Mangkau’ di Bone pada tanggal 17 Oktober 1704 M. dan diberi gelar
Sultanah Zaenab Zakiyatuddin. Batari Toja kawin dengan Sultan Sumbawa
yang bernama Mas Madinah. Tetapi perkawinan itu tidak berlangsung lama
akhirnya bercerai sebelum melahirkan anak. Perkawinan ini memang hanya
memenuhi pesan La Tenri Tatta Petta To RisompaE semasa hidupnya yang
menghendaki Batari Toja dikawinkan dengan Sultan Sumbawa Mas
Madinah.Batari Toja resmi diceraikan oleh Mas Madinah pada tanggal 27
Mei 1708 M. Sultan Sumbawa kemudian kawin di Sidenreng dengan perempuan
yang bernama I Rakiyah Karaeng Agangjenne. Perkawinannya itu membuat
Batari Toja marah, I Rakiyah dikeluarkan sebagai Karaeng Agangjenne,
sehingga pergi ke Sumbawa bersama suaminya. Perkawinan I Rakiyah dengan
Sultan Sumbawa Mas Madinah melahirkan seorang anak perempuan yang
bernama I Sugiratu. Karaeng Agangjenne adalah anak mattola (pewaris)
dari La Malewai Arung Berru. I Rakiyah Karaeng Agangjenne adalah anak
dari La Malewai Arung Berru Addatuang Sidenreng dengan isterinya yang
bernama I Sabaro anak Karaeng Karunrung Tu Mammenanga ri Ujungtana.
Batari Toja Daeng Talaga lahir pada tahun 1668 M. kemudian diangkat
menjadi Mangkau’ di Bone pada tanggal 19 September 1714 M. Karena pada
saat itu banyak upaya-upaya dari orang lain untuk menghalanginya, maka
Batari Toja menyerahkan kepada saudaranya yang berada di Gowa. Batari
Toja minta perlindungan kepada saudaranya yaitu La Pareppai To
Sappewali SombaE ri Gowa . Sementara akkarungengE ri Bone diserahkan
kepada saudaranya yang bernama La Padassajati To Appamole Arung Palakka.
La Padassajati disetujui oleh Adat bersama Arung PituE untuk menjadi
Arumpone menggantikan saudaranya Batari Toja Daeng Talaga.
18. LA PADASSAJATI TO APPAWARE (1715 – 1718)
La Padassajati To Appaware juga adalah anak dari
La Patau Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng dengan isterinya We Mariama
Karaeng Pattukangang. Ketika La Patau menjadi Mangkau’ di Bone, La
Padassajati To Appaware membuat kesalahan besar dengan hukuman yang
sangat berat. Karena dia takut kepada ayahnya yang dikenal sangat
menjunjung tinggi adat serta tidak memandang bulu dalam menegakkan
hukum, maka La Padassajati melarikan diri ke Gowa. Di sana ia minta
perlindungan kepada neneknya KaraengE ri Gowa. Oleh karena itu La Patau
Matanna Tikka minta kepada KaraengE ri Gowa untuk mengembalikan La
Padassajati ke Bone untuk diadili oleh adat. Tetapi KaraengE ri Gowa
tidak sampai hati untuk memberikan cucunya itu untuk menjalani hukuman
berat di Bone. Hal ini membuat hubungan antara Bone dengan Gowa menjadi
tegang dan nyaris menimbulkan peperangan. Untung Kompeni Belanda
cepat-cepat menengahinya. Karena La Patau Matanna Tikka sudah bertegas
untuk memberi tindakan tegas kepada Gowa kalau anaknya itu tidak
dikembalikan ke Bone untuk menjalani hukuman. Sementara Karaeng E ri
Gowa juga bertegas untuk tidak akan memberikan cucunya itu. Setelah
ayahnya meninggal dunia, barulah La Padassajati kembali ke Bone. Batari
Tojalah yang mengembalikan adiknya itu ke Bone yang kemudian memberinya
akkarungeng (Mangkau’) di Bone dan Datu Soppeng pada tanggal 14 Oktober
1715 M. Adapun kesalahan yang dilakukan La Padassajati pada masa
pemerintahan ayahnya adalah dia menyuruh untuk membunuh Arung Ujumpulu
Datu Lamuru yang bernama La Cella anak dari La Malewai Arung Ujumpulu
Arung Berru Addatuang Sidenreng MatinroE ri Tana MaridiE dengan
isterinya yang bernama We Karoro Datu Lamuru. La Padassajati menyuruh
orang mencekiknya sampai mati. Tindakan La Padassajati ini membuat
TellumpoccoE marah dan disuruh tangkaplah La Padassajati untuk dijatuhi
hukuman. Untuk menghindari hukuman tersebut La Padassajati disuruh
mengungsi ke Beula. Di sanalah ia meninggal dunia sehingga digelar
MatinroE ri Beula.
19. LA PAREPPAI TO SAPPEWALI (1718 – 1721)
La Pareppai To Sappewali menggantikan saudaranya
La Padassajati menjadi Mangkau’ di Bone. Inilah anak tertua dari La
Patau Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng dari isterinya yang bernama We
Mariama Karaeng Pattukangang. La Pareppai To Sappewali di samping
sebagai Arumpone, dia juga sebagai Somba ri Gowa dan Datu di Soppeng.
Dia menggantikan neneknya sebagai Somba ri Gowa pada tahun 1709 M. Dia
pula diberi nama Sultan Ismail yang disebut dalam khutbah Jumat. Ketika
menjadi Karaeng ri Gowa, ia bermusuhan dengan ayahnya. Tetapi permusuhan
tersebut berakhir dengan kekalahan Gowa dari serangan Bone. Karena La
Pareppai To Sappewali kelihatannya tidak terlalu menguasai pemerintahan,
maka pada tahun 1711 M. dia meletakkan Akkarungeng di Gowa, Bone dan
Soppeng. Ketika ia meninggal dinamakan MatinroE ri Somba Opu. Anaknya
kawin dengan We Gumittiri yang melahirkan La Muanneng yang kemudian
menjadi Arung Pattiro. La Muanneng kawin dengan sepupu satu kalinya yang
bernama We Pakkemme’ Arung Majang, anak dari MatinroE ri Malimongeng
dari isterinya yang bernama Sitti Abiba. La Muanneng dengan We Tenri
Pakkemme’ melahirkan anak yang bernama La Pajarungi Daeng Mallalengi
Arung Majang. Selanjutnya La Muanneng dengan We Gumittiri melahirkan La
Massellomo yang menjadi Ponggawa Bone. Inilah yang dinamakan Ponggawa
Bone LaoE ri Luwu. La Massellomo kawin dengan Petta ri Batu Pute,
melahirkan anak laki-laki yang bernama La Massompongeng, inilah yang
menjadi Arung Amali. Kamudian La Massellomo kawin lagi dengan We
Camendini Arung Sumaling. Dari perkawinannya itu lahirlah La Mappesangka
Daeng Makkuling. Inilah yang kawin dengan Besse Tanete Karaeng
Bulukumba. Selanjutnya La Massellomo kawin lagi dengan Arung Tajong.
Dari perkawinannya ini lahir La Mappapenning To Appaimeng Daeng
Makkuling. Kawin dengan sepupu satu kali ayahnya yang bernama I Mida
Arung Takalara anak dari MatinroE ri Malimongeng dari isterinya yang
bernama We Mommo Sitti Aisah. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri
Tappu To Appaliweng Daeng Palallo, We Yallu Arung Apala, We Oja dan We
Banrigau. Adapun saudara perempuan La Massellomo bernama We Senradatu
Sitti Amira Arung Palakka MatinroE ri Lanna. Inilah yang kawin di
Mangkasar dengan Makasuma yang kemudian melahirkan I Sugiratu. Karena
bercerai dengan Makasuma, maka kawin lagi dan melahirkan We Besse
Karaeng Leppangeng. Dengan demikian I Sugiratu dengan We Besse Karaeng
Leppangeng bersaudara, tetapi lain ayahnya. I Sugiratu kawin dengan
Arung Ujung anak dari To Marilaleng Pawelaiye ri Kariwisi dengan
isterinya yang bernama Karaeng Pabbineya. Dari perkawinan itu, lahirlah
La Umpu Arung Teko. Selanjutnya We Besse Karaeng Leppangeng kawin dengan
sepupu satu kalinya yang bernama La Massompongeng Arung Sumaling. Dari
perkawinannya itu, lahirlah We Rukiyah. We Rukiyah kawin dengan sepupu
dua kalinya yang bernama La Umpu Arung Teko yang juga sebagai Arung
Ujung. Dari perkawinannya itu, lahirlah We Bau Arung Kaju. Kemudian We
Bau kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Mappasessu Arung
Palakka anak dari La Tenri Tappu dengan isterinya We Padauleng Arung
Timurung. Dari perkawinannya itu, lahirlah We Baego Arung Macege. We
Besse kemudian kawin lagi dengan To Appo Arung Berru Addatuang Sidenreng
MatinroE ri Sumpang MinangaE. Dari perkawinan yang kedua ini melahirkan
seorang anak laki-laki bernama To Appasawe Arung Berru. To Appasawe
inilah yang kawin dengan Arung Paopao yang bernama Hatijah, anak dari La
Maddussila To Appangewa Karaeng Tanete dengan isterinya yang bernama
Sitti Abiba. To Appasawe dengan Arung Paopao melahirkan anak laki-laki
bernama Sumange’ Rukka To Patarai. Sumange’ Rukka To Patarai kawin
dengan anak sepupunya yang bernama We Baego Arung Macege, anak dari We
Bau Arung Kaju dengan suaminya yang bernama La Mappasessu To Appatunru
MatinroE ri Laleng Bata. Dari perkawinan Sumange’ Rukka dengan We Baego
Arung Macege, lahirlah We Pada Arung Berru dan Singkeru’ Rukka Arung
Palakka. La Pareppai To Sappewali meninggal dunia di Somba Opu, makanya
dinamakan MatinroE ri Somba Opu. Digantikan oleh saudaranya yang bernama
La Panaongi To Pawawoi menjadi Mangkau’ di Bone.
20. LA PANAONGI TO PAWAWOI (1721 – 1724)
Dengan diangkatnya La Panaongi To Pawawoi sebagai
Arumpone menggantikan saudaranya, maka telah tiga bersaudara dari
isteri La Patau Matanna Tikka yang bernama We Mariama Karaeng
Patukangang yang menjadi Mangkau’ di Bone dan juga Datu di Soppeng.
Ketika menjadi Mangkau’ di Bone, La Panaongi To Pawawoi dikenal sebagai
Arumpone yang berhati jernih dan dicintai oleh rakyatnya. La Panaongi
kawin dengan We Sitti Hawang Daeng Masennang, anak dari To Ujama. Dari
perkawinan itu, lahirlah La Page Arung Mampu yang juga sebagai Arung
Malolo di Bone. Ketika masih kecil, La Panaongi dipelihara oleh neneknya
yang bernama La Pariusi Daeng Manyampa Arung Mampu yang juga sebagai
Arung Matowa Wajo MatinroE ri Buluna. Pada saat itulah dia diwariskan
oleh neneknya Akkarungeng ri Mampu, Sijelling dan Amali. Oleh karena itu
sebelum menjadi Arumpone La Panaongi To Pawawoi telah dikenal sebagai
Arung Mampu, Arung Sijelling dan Arung Amali. Anak La Panaongi To
Pawawoi dari isterinya We Sitti Hawang yang bernama La Page Arung Mampu
Arung Malolo bi Bone, kawin dengan We Cenra Arung Bakung. Dari
perkawinan itu lahirlah dua anak laki-laki, yang pertama bernama La
Maddussila Arung Mampu, kedua bernama La Pasampoi Arung Kading. Kemudian
La Page Arung Mampu Arung Malolo di Bone kawin lagi dengan We Saloge
Arung Weteng. Dari perkawinan itu, lahirlah; pertama La Mappaware Arung
Tompo’bulu, kedua La Mappangara Arung Sinri To Marilaleng Bone Pawelaiye
ri SessoE, ketiga We Masi Arung Weteng. We Masi kawin dengan To Tenri
To Marilaleng Pawelaiye ri Kaluku BodoE. Dari perlawinannya itu, lahir
dua anak laki-laki; pertama bernama La Mappaware Arung Tompo’bulu, kedua
La Mappangara Arung Sinri, inilah yang menjadi To Marilaleng Pawelaiye
ri SessoE. La Mappangara Arung Sinri, inilah yang melahirkan Haji Abdul
Razak seorang ulama’ besar yang memiliki ilmu agama Islam yang sangat
luas saat itu. Untuk lebih memperdalam ilmu yang dimilikinya, Haji Abdul
Razak mengunjungi seorang ulama’ ahli tasauf di Berru yang bernama Haji
Kalula (Haji Muhammad Fadael). Tarekat yang dipelajari dari Haji Kalula
tersebut adalah Tarekat Khalwatiyah. Ketika ulama besar Tarekat
Khalwatiyah yang bernama Haji Kalula meninggal dunia, digantikanlah oleh
Haji Abdul Razak sebagai ulama’ besar (Anre Guru Lompo). Selanjutnya
setelah Haji Abdul Razak meninggal dunia, maka Anre Guru Lompo Tarekat
Khalwatiyah beralih lagi kepada anaknya yang bernama Haji Abdullah.
Ketika Haji Muhammad Abdullah meninggal dunia pada tanggal 29 Mei 1967
M. digantikan lagi oleh anaknya yang bernama Haji Muhammad Saleh Daeng
Situru. Kemudian digantikan oleh saudaranya yang bernama Haji Muhammad
Amin Daeng Manaba. Beralih kepada To Marilaleng Pawelaiye ri Kaluku
BodoE yang bernama To Tenri, anak dari We Maisuri dengan suaminya Petta
Tobala, Petta PakkanynyarangE Jennang Bone. Sementara We Maisuri adalah
anak dari We Daompo dengan suaminya La Uncu Arung Paijo.Sedangkan Tobala
Petta PakkanynyarangE adalah anak dari Ponggawa DinruE ri Bone. We
Daompo dengan Ponggawa DinruE ri Bone bersaudara kandung, keduanya
adalah anak dari MatinroE ri Bukaka. Dalam tahun 1724 M. La Panaongi
meletakkan AkkarungengE ri Bone dan Soppeng, digantikan kembali oleh
saudaranya dari Luwu yang bernama Batari Toja Daeng Talaga. Dengan
demikian, Batari Toja Daeng Talaga menjadi Mangkau’ di Bone untuk kedua
kalinya.
21. BATARI TOJA DAENG TALAGA (1724 – 1749)
Batari Toja Daeng Talaga kembali menjadi Mangkau’
di Bone menggantikan saudaranya yang bernama La Panaongi To Pawawoi.
Disamping kembali menjadi Mangkau’ di Bone, Batari Toja juga kembali
menjadi Datu di Luwu dan Soppeng. Batari Toja kawin dengan sepupu tiga
kalinya yang bernama La Oki yang tinggal di Ajattappareng. Akan tetapi
La Paulangi Petta Janggo’E sepupu satu kali La Oki mengawinkan dengan
anaknya yang bernama We Tungke. Oleh karena itu, Batari Toja membatalkan
perkawionannya dengan La Oki. Pada tahun 1716 M. Batari Toja kawin
dengan Arung Kaju yasng bernama Daeng Mamutu. Karena Batari Toja sangat
dekat dengan Kompeni Belanda, membuat arung-arung tetangganya banyak
yang kurang senang. Oleh karena itu Batari Toja lebih banyak tinggal di
Ujungpandang dari pada di Bone. Sementara suaminya Arung Kaju yang
diangkat sebagai Maddanreng (wakil) berniat merebut kekuasan isterinya.
Setelah Batari Toja mengetahui maksud jahat dari suaminya itu, iapun
segera menceraikan suaminya tersebut. Bahkan mantan suaminya tersebut
diusir untuk meninggalkan Bone. Dalam tahun 1735 M. La Maddukkelleng
Arung Peneki yang juga sebagai Sultan Pasir di Kalimantan berniat untuk
kembali ke negerinya di Peneki. Tetapi pada saat itu, La Maddukkelleng
belum bisa menginjakkan kakinya di wilayah TellumpoccoE (Bone, Soppeng
dan Wajo) karena kesalahan yang pernah diperbuatnya. Pada saat itu, Wajo
masih merupakan wilayah kekuasan Bone yang ditaklukkan pada masa
pemerintahan La Tenri Tatta Arung Palakka MaloampeE Gemme’na. Sedangkan
La Maddukkelleng meninggalkan Wajo dan lari ke Kalimantan karena
memperbuat kesalahan terhadap Bone pada masa pemerintahan La Patau
Matanna Tikka. Arung Kaju mantan suami Batari Toja yang diusir untuk
meninggalkan Bone, pergi ke Tanah Mandar bersama Karaeng Bonto Langhkasa
menunggu kedatangan La Maddukkelleng dari Tanah Pasir Kalimantan.
Karaeng Bonto Langkasa juga tidak senang dengan KaraengE ri Gowa karena
dinilai sangat dekat dengan Kompeni Belanda sebagaimana Batari Toja.
Dengan demikian, Arung Kaju menjalin kerja sama dengan Karaeng Bonto
Langkasa dan La Maddukkelleng. Kerja sama tersebut bermaksud untuk
melepaskan Wajo dari kekuasan Bone. Sementara Karaeng Bonto Langkasa
ingin menghilangkan pengaruh Kompeni Belanda di Gowa dan Bone, sehingga
menjalin kerja sama dengan Arung Kaju Daeng Mamutu yang memang berniat
merebut kekuasan dari mantan isterinya Batari Toja Daeng Talaga. Adapun
Arumpone Batari Toja setelah mengetahui bahwa La Maddukkelleng telah
mendarat di Wajo, berangkatlah ke Ujungpandang untuk berlindung pada
Kompeni Belanda. Diserbulah Bone oleh pasukan La Maddukkelleng, ada juga
rombongan Karaeng Bonto Langkasa dan Arung Kaju yang menghasut orang
Bone untuk melawan Arumpone. Setelah membumi hanguskan Bone, La
Maddukkelleng meminta kembali – sebbukatina (persembahan) Wajo yang
pernah diberikan kepada Bone pada masa pemerintahan Petta To RisompaE.
Maka kembalilah Wajo menjadi wilayah merdeka dari kekuasaan Bone.
Diangkatlah La Maddukkelleng sebagai Arung Matowa Wajo menggantikan
pamannya. Pergilah La Maddukkelleng Arung Matowa Wajo ke Gowa untuk
memanggil Sitti Napisa Karaeng Langelo We Denradatu saudara KaraengE ri
Gowa yang bernama I Mallawangeng Gau Sultan Abdul Khair untuk diangkat
menjadi Arumpone. Akan tetapi ditolak oleh orang Bone, maka pergilah
Karaeng Langelo ke Wajo dan tinggal di rumah La Maddukkelleng. Selain
itu datang pula La Oddang Riwu Karaeng Tanete bersama pasukannya
bermaksud pula menjadi Arung di Bone. Akan tetapi tidak disetujui oleh
Kompeni Belanda dan KaraengE ri Gowa. Juga tidak diterima oleh Adat
Bone. Oleh karena itu dikembalikanlah Batari Toja ke Bone untuk menjadi
Arumpone berdasarkan keinginan Arung PituE (Adat) di Bone. Setelah
kembali ke Bone, Batari Toja menyuruh Kadhi Bone yang bernama Abdul
Rasyid ke Tanah Mandar memanggil La Pamessangi untuk menjadi Arung di
Belawa Orai, Alitta dan Suppa yang pernah diusir oleh KaraengE ri Gowa.
Ketika sampai di Mandar, Kadhi Bone Abdul Rasyid menyampaikan kepada La
Pamessangi bahwa dia disuruh oleh Arumpone Batari Toja memanggil kembali
ke Bone untuk kembali menjadi Arung di Belawa Orai, Suppa dan Alitta.
Penyampaian itu dibenarkan oleh Matowa Belawa yang menyertai Kadhi Bone
ke Balannipa menemui La Pamessangi. La Pamessangi kembali ke Bone
bersama Kadhi Bone. Ia mendarat di JampuE dan disambut oleh Pabbicara
Suppa. Pada sat itu La Pamessangi menyuruh anaknya yang bernama La
Sangka untuk tinggal menjadi Datu di Suppa. Setelah bermalam tiga malam
di Suppa, datanglah orang Alitta bersama Pabbicara Suppa di Alitta untuk
menemuinya. Lalu La Pamessangi menyuruh lagi anaknya yang bernama La
Posi untuk menjadi Arung di Alitta. Tiga malam di Alitta baru pergi di
Belawa. Setelah bermalam satu malam di Belawa datanglah semua orang
Belawa, orang Wattang, orang Timoreng memberi ucapan selamat ditandai
dengan pemberian 10 gantang beras untuk satu kampung. Setelah empat
malam di Belawa dikumpulkanlah orang Belawa dan menyampaikan bahwa La
Raga yang akan diangkat menjadi Arung di WattangE. Hal ini disetujui
oleh orang Belawa, berdirilah MatowaE sambil berkata ; ”Dengarkanlah
wahai orang Belawa bahwa La Raga kita angkat sebagai Arung ri Belawa”.
Sesudah diserahkan AkkarungengE ri Belawa kepada La Raga, Petta MatowaE
bersama Kadhi Bone melanjutkan perjalanannya ke Bone. Ketika Batari
Toja berusia tua dan kelihatan semakin lemah, Adat bertanya kepadanya
tentang siapa nantinya yang bakal menggantikannya untuk melanjutkan
pemerintahannya di Bone. Lalu Batari Toja menunjuk saudaranya yang
bernama La Temmassonge’ To Appaweling Arung Baringeng Ponggawa Bone.
Mendengar itu, Arung Kaju berkata ;Tennakkarungi cera’ TanaE ri Bone,
tennatola rajeng akkarungengE ri Bone” (Yang bukan putra mahkota tidak
bisa diangkat menjadi Mangkau’ di Bone, sedangkan Mangkau’E ri Bone
tidak bisa digantikan oleh orang yang kebangsawanannya hanya dari ayah).
Karena merasa tersinggung dengan kata-kata Arung Kaju, La Temmassonge’
menunggu Arung Kaju didekat tangga dan menikamnya sehingga meninggal
dunia. Kematian Arung Kaju dikomentari oleh Arumpone Batari Toja bahwa
lantaran mulutnya Arung Kaju yang mengatakan La Temmassonge’ hanyalah
cera’ sehingga dia meninggal dunia. Dalam tahun 1749 M. Batari Toja
Daeng Talaga meninggal dunia di TippuluE sehingga dinamakan MatinroE ri
Tippulunna. Kemudian digantikan oleh saudaranya yang bernama La
Temmassonge’ To Appaweling Arung Baringeng.
22.LA TEMMASSONGE TO APPAWELING (1749 – 1775)
La Temmassonge To Appaweling nama kecilnya adalah
La Mappasossong. Sebelum diangkat menjadi Mangkau di Bone menggantikan
saudaranya Batari Toja Daeng Talaga, ia telah menjadi Arung Baringeng
dan Ponggawa Bone. Disamping itu ia pernah pula menjadi Tomarilaleng di
Bone pada masa pemerintahan Batari Toja. Dia adalah anak dari La Patau
Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng Arumpone yang ke 16 yang
menggantikan pamannya La Tenri Tatta MalampeE Gemme’na. Menurut garis
keturunannya, dia bukanlah putra mahkota ( anak pattola ) karena ibunya
bukan-lah Arung Makkunrai (permaisuri). Oleh karena itu La Temassonge'
hanyalah dipandang sebagi cera’ rimannessaE – sengngengngi ri
mallinrungE. Artinya pada kenyataannya dia adalah anak cera’, tetapi
sesungguhnya adalah anak sengngeng (putra mahkota). Hal ini terjadi
karena hanya dua isteri La Patau Matanna Tikka yang diakui sebagai
permaisuri, yakni; We Ummung Datu Larompong dari Luwu dan We Mariama
Karaeng Patukangang dari Gowa. Sementara ibu La Temmassonge’ walaupun
dia adalah keturunan bangsawan tinggi, tetapi tidak termasuk sebagai
Arung Makkunrai, sehingga La Temmassonge’ hanya dianggap sebagai cera’.
Tetapi karena putra mahkota sudah tidak ada lagi yang bisa diangkat
sebagai Mangkau di Bone pada saat itu, maka pilihan dialihkan kepada La
Temmassonge’ untuk diangkat menjadi Mangkau di Bone menggantikan
saudaranya Batari Toja Daeng Talaga MatinroE ri Tippulunna. Posisi La
Temmassonge’ sebagai cera ri mannessaE – sengngengngi ri mallinrungE ,
hanya diketahui oleh saudaranya Batari Toja. Dengan demikian, sebelum
meninggal dunia, Batari Toja telah berpesan bahwa yang bakal
menggantikannya kelak adalah La Temmassonge’ To Appaweling. Pada
saat-saat terakhir Batari Toja dia dirawat oleh La Temmassonge’ karena
Batari Toja menganggap bahwa La Temmassonge’adalah saudaranya yang
paling dekat.Itulah sebabnya sehingga banyak putra bangsawan Bone yang
menganggap bahwa La Temmassonge’ tidak pantas untuk diangkat menjadi
Arumpone, terutama keluarga Arung Kaju yang pernah dibunuhnya. Itu pula
sebabnya sehingga Akkarungeng La Temmassonge’ di Bone terkatung-katung
sejak tahun 1749 M. dan nantilah pada tahun 1752 M. baru dilantik
sebagai Arumpone. Untuk itu La Temmassonge’ minta dukungan Kompeni
Belanda di Ujungpandang agar kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone bisa
dikukuhkan. Datang pula Arung Berru dan Addatuang Sidenreng meminta
kepada Pembesar Kompeni Belanda di Makassar agar kedudukan La
Temmassonge’ sebagai Arumpone segera dikukuhkan. Karena desakan Arung
Berru dan Addatuang Sidenreng yang bernama To Appo, yang kemudian
didukung oleh Pembesar Kompeni Belanda yang bernama Asmaun, maka para
anggota Hadat Bone kembali menerima La Temmassonge sebagai Mangkau’ di
Bone, dan dikukuhkan pada tahun 1752 M. Adapun isteri La Temmassonge’
yang diakui sebagai Arung Makkunrai (permaisuri) adalah We Mommo Sitti
Aisah anak dari Maulana Muhammad dengan isterinya. Datu Rappeng. We
Mommo Sitti Aisah adalah cucu langsung dari Seikh Yusuf Tuanta Salamaka
ri Gowa. Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang yang bernama Asmaun
masuk ke Bone untuk menenangkan situasi dan setelah semua permasalahan
dianggap selesai dan kedudukan La Temmassonge’ sebagai Arumpone dianggap
aman, upaya-upaya untuk merebut kekuasan terhadap La Temmassonge’ telah
tidak ada, barulah Pembesar Kompeni Belanda membenarkan La Temmassonge’
untuk menetap di Bone. Disamping sebagai Mangkau’ di Bone, La
Temmassonge’ juga dikenal sebagai Datu di Soppeng. Dalam khutbah Jumat
namanya disebut sebagai Sultan Abdul Razak Jalaluddin. La Temmassonge’
memang dikenal sebagai penganut agama Islam yang taat dan sangat patuh
dalam beribadah. La Temmassonge’ dikenal sebagai Mangkau di Bone yang
memiliki banyak anak.Dalam catatan terdapat kurang lebih 80 dengan
jumlah isteri yang tidak sempat dihitung. Namun isteri yang dianggapnya
sebagai Arung Makkunrai (permaisuri) adalah We Mommo Sitti Aisah cucu
dari Tuanta Salamaka ri Gowa. Adapun anak-anak dari isterinya yang
bernama We Mommo Sitti Aisah; La Baloso To Akkaottong, inilah yang
menjadi Maddanreng di Bone. La Baloso kawin dengan sepupu satu kalinya
yang bernama We Tenriawaru Arung Lempang anak dari saudara perempuan
ayahnya. Dari perkawinan La Baloso dengan We Tenriawaru Arung Lempang,
lahirlah La Sibengngareng dan inilah yang kemudian menjadi Maddanreng di
Bone. Satu lagi anaknya bernama La Cuwa Arung Lempang, selanjutnya
bernama La Balo Ponggawa Pelaiyengi Pattimpa. Berikutnya bernama We
Daraima dan We Maukati. Inilah yang kawin dengan La Sau Arung Kalibbong.
Selanjutnya bernama We Tenripappa MajjumbaE , inilah yang kawin dengan
sepupu satu kalinya yang bernama La Maddinra Arung Rappeng Betti’E. La
Maddinra Arung Rappeng adalah anak saudara La Baloso yang bernama La
Kasi Daeng Majarungi Puanna La Tenro.dari isterinya yamg bernama We
Tenri Ona Arung Rappeng.. Dari perkawinan We Tenripappa MajjumbaE
dengan La Maddinra Arung Rappeng Betti’E lahirlah We Tenri. Inilah yang
kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Makkulawu Arung
Gilireng. Dari perkawinan itu lahirlah; pertama bernama We Bangki Arung
Rappeng, kedua bernama La Gau’ Arung Pattojo Ponggawa Bone, We Tenri
Pasabbi Arung Rappeng, La Palettei Ponggawa Bone, La Wawo, La
Mappajanci, We Nunu Arung Manisang Datu Pammana, La Massalewe, We Pana
dan We Sompa Arung Baleng. We Tenri Pasabbi Arung Gilireng kawin dengan
To Allomo CakkuridiE di Wajo. Dari perkawinan itu lahirlah La Tulu
CakkuridiE di Wajo. Berikutnya We Maddilu Arung Bakung, inilah yang
kawin dengan La Kuneng Addatuang ri Suppa Arung Belawa Orai. Dari
perkawinan itu lahirlah ; We Time Addatuang Sawitto, We Cinde Addatuang
Sawitto MatinroE ri Polejiwa, La Cibu Ponggawa Bone Addatuang Sawitto,
La Tenri Lengka Datu Suppa, We Maddika atau We Tenri Lippu Daeng Matana
Arung Kaju, We Pada Uleng Arung Makkunrai MatinroE ri Sao Denrana dan
Muhammad Saleh Arung Sijelling dan sebagai Arung Alitta. Selanjutnya
adik We Maddilu Arung Bakung adalah We Padauleng atau We Tenri Pada ,
kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Tenri Tappu To
Appaliweng Daeng Palallo. Kemudian anak La Temmassonge’ yang merupakan
adik dari La Baloso adalah We Pakkemme, inilah yang menjadi Arung
Majang. We Pakkemme kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La
Muanneng Arung Pattiro, anak dari La Pareppai To Sappewali MatinroE ri
Somba Opu dengan isterinya yang bernama We Gumittiri. Berikutnya adik We
Pakkemme adalah We Tenri Olle, inilah yang menjadi Datu Bolli. We Tenri
Olle kawin dengan La Mappajanci Daeng Massuro Datu Soppeng. Oleh karena
itu La Mappajanci disebut juga sebagai PollipuE ri Soppeng MatinroE ri
Laburaung. La Mappajanci Datu Soppeng adalah anak dari PajungE ri Luwu
yang bernama La Mappassili Arung Pattojo MatinroE ri Duninna. We Tenri
Olle dengan La Mappajanci melahirkan anak yang bernama La Mappapole
Onro, inilah yang menjadi Datu Soppeng MatinroE ri Amala’na. Berikutnya
bernama We Tenri Ampareng Arung Lapajung, inilah yang menjadi Datu
Soppeng MatinroE ri Barugana. Adik We Tenri Olle adalah We Rana, inilah
yang menjadi Ranreng Towa di Wajo. Kawin dengan La Toto Arung
Pallekoreng, anak dari La Mampulana Arung Ugi dengan isterinya yang
bernama I Yabang. Dari perkawinan itu lahirlah Sitti Hudaiya Ranreng
Towa Wajo. Inilah yang kawin dengan La Tenri Dolo Arung Telle.
Selanjutnya lahir Amirah Ranreng Towa Wajo. Amirah kawin dengan La
Pabeangi Petta TurubelaE anak dari We Tungke MajjumbaE dengan suaminya
yang bernama La Cella Patola Wajo. Dari perkawinan Amirah dengan La
Pabeangi, lahirlah We Panangareng Arung Tempe Selatan. Selanjutnya La
Pawellangi PajumperoE Ranreng Tuwa dan Arung Matowa Wajo. Selanjutnya
adik dari We Rana adalah We Hamidah Arung Takalar Petta MatowaE. We
Hamidah kawin dengan anak sepupu satu kalinya yang bernama La
Mappapenning Daeng Makkuling Ponggawa Bone MatinroE ri Tasi’na. Dari
perkawinan itu lahirlah La Tenri Tappu To Appaliweng Daeng Palallo
MatinroE ri Rompegading. La Tenri Tappu kawin dengan We Tenri Pada
atau We Padauleng anak dari La Baloso Maddanreng Bone dengan isterinya
We Tenriawaru Arung Lempang. Adik La Tenri Tappu adalah We Yallu Arung
Apala. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La
Mappapole Onro Datu Soppeng MatinroE ri Amala’na. Selanjutnya La Unru
Datu Pattiro, La Mata Esso, We Dende dan We Tenri Kaware Arung Balusu.
Karena We Mommo Sitti Aisah meninggal dunia, maka Arumpone La
Temmassonge mengawini adiknya yang bernama Sitti Habiba. Dari
perkawinannya itu, lahirlah; La Massarasa Arung Pallengoreng, La
Palaguna Arung Nangka dan juga Arung Ugi serta Dulung Awang Tangka. Anak
La Palaguna kemudian menjadi Arung Lamatti. Berikutnya bernama La
Patonangi atau La Tone, inilah yang menjadi Arung Amali. La Patonangi
kawin dengan We Kamummu Arung Bungkasa. Anak berikutnya berada di Luwu
yang bernama La Makkasau Arung Kera juga sebagai Dulung Pitumpanuwa. La
Makkasau kawin dengan We Kambo Opu Daeng Patiware anak dari We Tenriwale
Daeng Matajang MatinroE ri Limpo Paccing dengan suaminya yang bernama
La Tenri Tadang Pallempa Walenrang. Ini adalah cucu dari We Patimana
Ware saudara MatinroE ri Tippulunna. La Makkasau dengan We Kambo Opu
Daeng Patiware melahirkan anak ; pertama bernama La Riwu To Paewangi
Pallempa Walenrang, kedua bernama La Ewa Opu To Palinrungi, ketiga
bernama La Waje Ambo’na Riba Arung Kera Dulung Pitumpanuwa, keempat
bernama We Pada Daeng Malele, kelima bernama We Biba Daeng Talebbi.
Semua adik La Makkasau berada di Luwu, kecuali We Seno Datu Citta. We
Seno Datu Citta kawin dengan La Maddussila To Appangewa Karaeng Tanete ,
anak dari We Tenri Leleang PajungE ri Luwu MatinroE ri Soreang Tanete
dengan suaminya yang bernama La Mallarangeng To Pasamangi Datu Mario
Riwawo juga sebagai Datu Lompulle. We Seno dengan La Maddussila
melahirkan anak ; pertama bernama La Bacuapi , inilah yang menjadi Datu
di Citta juga sebagai Dulung Ajangale MatinroEb ri Kananna ri Leangleang
pada saat berperangnya Arumpone To Appatunru dengan Inggeris pada tahun
1814. Kedua bernama We Kajao Datu Citta, ketiga bernama We Hatija Arung
Paopao. We Hatija Arung Paopao kawin dengan To Appasawe Arung Berru,
anak dari To Appo Arung Berru Addatuang Sidenreng MatinroE ri Sumpang
MinangaE dengan isterinya yang bernama We Besse Karaeng Leppangeng. Dari
perkawinannya itu lahirlah Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru.
Sumange’ Rukka Arung Berru masuk ke Bone kawin dengan We Baego Arung
Macege anak dari Arumpone yang bernama La Mappasessu To Appatunru
MatinroE ri Laleng Bata dengan isterinya yang bernama We Bau Arung Kaju.
Dari perkawinannya itu, lahirlah We Pada Arung Berru. Saudara We Seno
yang bernama We Soji Arung Tanete kawin dengan La Makkawaru Arung Atakka
Tomarilaleng Bone, anak dari To Appo Addatuang Sidenreng dengan
isterinya yang bernama We Panidong Arung Atakka. Dari perkawinannya itu
lahirlah Sumange’ Rukka Ambo Pajala. Inilah yang kawin dengan We Tenri
Kaware Arung Saolebbi juga sebagai Arung Balosu anak dari La Mappapole
Onro Datu Soppeng MatinroE ri Amala’na. Sumange’ Rukka Ambo Pajala
dengan We Tenri Kaware melahirkan La Passamula BadungE Arung Balosu.
Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Bonga anak
dari La Unru Datu Soppeng dengan isterinya We Mariyama Mabbaju LotongE.
Selanjutnya We Bonga Petta Indo I Lampoko dengan suaminya La Passamula
Bau Baso Arung Balosu, inilah yang kemudian menjadi Sule Datu di
Soppeng. Saudara La Passamula BadungE yang lain bernama La Patongai,
inilah yang menjadi Datu di Pattiro. La Patongai kemudian kawin dengan
We Panangareng Datu Lompulle anak dari La Rumpang Megga Dulung Ajangale,
juga sebagai Datu Lamuru dan Mario Riwawo.Disamping itu, La Rumpang
Megga juga sebagai Karaeng di Tanete.Dari perkawinan We Panangareng
dengan La Patongai, lahirlah La Onro Datu Lompulle dan Datu Soppeng
MatinroE ri Galung. La Onro kawin di Wajo dengan We Cecu Arung Ganra
yang juga sebagai Arung Belawa, anak dari To Lempeng Arung Singkang yang
juga sebagai Datu Soppeng MatinroE ri Larompong. La Onro dengan We
Cecu melahirkan anak bernama La Pabeangi Arung Ganra yang kemudian
menjadi Sule Datu di Soppeng. Selanjutnya La Pabeangi kawin dengan
sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri Sui Sitti Zaenab Arung
Lapajung yang juga sebagai Datu Soppeng, anak dari We Mappanyiwi Patola
Wajo Arung Singkang dengan suaminya La Walinono Datu Botto. Anak La Onro
dengan We Cecu yang lain bernama We Soji Datu Madello. Inilah yang
kawin dengan La Tengko Manciji Wajo Arung Belawa Alau, anak La Tune
Arung Bettempola dengan isterinya yang bernama Sompa Ritimo Arung
Penrang. Anak yang lain bernama La Rumpang Datu Pattiro, inilah yang
kawin dengan We Bebu Datu Suppa tidak melahirkan anak. Kemudian La
Rumpang kawin dengan We Tappa, lahirlah La Makkulawu yang menjadi
Ranreng Talotenre. Selanjutnya La Onro kawin lagi dengan We Dulung,
lahirlah La Cube yang kemudian menjadi Pangulu Lompo di Galung. La Cube
kawin dengan We Munde saudara perempuan La Sana Arung Lompengeng yang
digelar Jenderal Lompengeng. Anak La Temmassonge’ yang lain dari
isterinya yang bernama Sitti Habiba, adalah La Potto Kati Datu Baringeng
Ponggawa Bone yang juga sebagai Arung Attang Lamuru. Inilah yang kawin
dengan anak Karaeng Agang PancaE dengan Karaeng Popo. Dari perkawinannya
itu, lahirlah anaknya; pertama bernama Sitti Hawang Arung Ujung , kedua
bernama La Tadampare To Appotase Arung Ujung. Sitti Hawang kawin dengan
sepupu satu kalinya yang bernama La Gau Ambo Pacubbe Arung Tanete.
Sedangkan La Tadampare To Appotase kawin dengan Hidayatullah Colli’
PujiE Arung Pancana, anak dari La Rumpang Megga Arung Tanete MatinroE ri
Muttiara dengan isterinya yang bernama Sitti Patimah Colli’ PakuE Daeng
Tarape. Dari perkawinan La Tadampare atau La Tenrengeng dengan Colli’
PujiE, lahirlah anak; pertama bernama We Gasi Arung Atakka, kedua
bernama La Makkarumpa Arung Ujung , ketiga bernama We Tenri Olle Arung
Tanete. Saudara dari Sitti Hawang yang lain adalah; pertama bernama La
Kaseng Arung Raja, kedua bernama La Supu Arung Suli. Selanjutnya We
Tenri Olle Arung Tanete kawin dengan La Sangaji Arung Bakke anak dari La
Mappatola Arung Bakke dengan isterinya yang bernama We Pada Datu Mario
Attassalo. Dari perkawinan La Sangaji Datu Bakke dengan We Tenri Olle
Arung Tanete, lahirlah ; pertama We Pancai’tana Bunga WaliE Datu
Tanete, kedua bernama We Pattekke Tana Tonra LipuE Arung Lalolang,
ketiga bernama La Tenri Sessu Rajamuda Datu Bakke. We Pattekke Tana
Arung Lalolang kawin dengan La Mappa Arung Pattojo, anak dari La Sunra
Karaeng Cenrapole dengan isterinya yang bernama We Nillang Datu
Kawerang. Dari perkawinannya itu lahirlah La Unru Sulewatang Tanete dan
We Tenri Aminah. La Tenri Sessu Rajamuda Datu Bakke kawin dengan sepupu
satu kalinya yang bernama We Bube Arung Panincong, anak dari La
Malleleang Datu Mario Riawa Attassalo dengan isterinya We Pabuka Arung
Panincong. Dari perkawinannya itu, lahirlah ; pertama Baso Jaya Langkara
Datu Tanete, kedua Besse Panincong, ketiga We Canno atau We Suhera Datu
Bakke. La Rajamuda Datu Bakke kawin lagi dengan We Daruma Petta Indo’na
Cella. Dari perkawinan itu lahirlah seorang anak perempuan yang bernama
We Mastura Petta Karaeng. Selanjutnya Arumpone La Temmassonge’
kawin lagi dengan Sitti Sapiyah anak Arung Letta. Dari
perkawinannya itu, lahirlah La Kasi Daeng Majarungi Puanna La Tenro
Ponggawa Bone. Puanna La Tenro kawin dengan We Yabang Datu
Watu Arung Pattojo MatinroE ri Pangkajenne, anak dari We Tenri Leleang
Datu Luwu MatinroE ri Soreang. Dari perkawinan We Yabang Datu Watu
dengan Puanna La Tenro, lahirlah We Muanneng dan La Tatta Petta Ambarala
Ambo’ Paggalung. We Muanneng kawin dengan La Sibengngareng Arung
Alitta, anak dari La Posi Arung Alitta dengan isterinya yang bernama
We Tenriangka. We Muanneng dengan La Sibengngareng melahirkan anak,
yaitu; We Lewa, La Dadda, La Paduppai dan We Nandong. We Lewa
Arung Alitta kawin dengan La Rumanga Karaeng Barang Patola, anak dari
We Ninnong Arung Tempe dengan suaminya yang bernama La Patarai
Arung Lamunre. Dari perkawinannya itu, lahirlah ; La Pamessangi
Petta Towa. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang
bernama E Maragau Daeng Nadi, anak dari La Pawelloi Petta Datu ri
JampuE dengan isterinya yang bernama E Kutana. E Maragau dengan
Petta Towa melahirkan anak yang bernama We Patima Arung Lerang.
Inilah yang kawin dengan La Bode Karaeng Jampu anak dari We Passulle,
Addatuang Sawitto dengan suaminya La Gau Arung Pattojo Ponggawa Bone.
We Patima Arung Lerang dengan suaminya La Bode Karaeng Jampu
melahirkan anak yang bernama Daeng Rawisa Mabbola SadaE Arung
Jampu. Inilah yang kawin dengan I Koso Karaeng Allu. Dari
perkawinannya itu lahirlah La Pawelloi. Kemudian La Pawelloi kawin
dengan sepupu dua kalinya yang bernama We Tenri anak dari We
Dalaintang dengan suaminya To Sangkawana. Dari perkawinan We
Tenri dengan La Pawelloi lahirlah La Parenrengi Bau Ila dan E Siseng Bau
Polo. Adapun La Tatta Petta Ambarala kawin dengan orang Melayu
yang bernama Encik Sitti Mainong. Dari perkawinannya itu lahirlah
La Pakkamunri Daeng Patobo. Inilah yang melahirkan La Maddiolo
Daeng Pabeta. Selanjutnya La Maddiolo Daeng Pabeta melahirkan
Bumihari. Bumihari inilah yang kawin dengan Encik Hatibe Abdullah Saeni.
Dari perkawinannya itu lahirlah ; pertama Encik Zainul Abidin, Encik
Bala, Encik Jauhar Manikam dan Encik Cahaya. La Pakkamunri Daeng
Patobo kawin lagi dan melahirkan La Kangkong Petta Nabba. Inilah
yang kawin dengan I Jaleha Daeng Jenne dan melahirkan dua
anak laki-laki, pertama bernama Tuan Panji dan yang kedua
bernama Encik Padu Salahuddin Daeng Patangnga. Kemudian Daeng
Patangnga melahirkan anak satu laki-laki dan dua anak perempuan.
Laki-laki bernama Encik Abdul Karim Daeng Pasau dan perempuan
bernama masing-masing Encik Kebo dan Encik Innong Daeng Tono.
Selanjutnya La Kasi Puanna La Tenro kawin lagi dengan We Tenri Ona
Arung Rappeng anak dari We Senru Arung Rappeng dengan suaminya La
Cella Datu Bongngo Arung Gilireng. Dari perkawinannya itu, lahirlah La
Maddinra Arung Rappeng Betti’E. Inilah yang kawin dengan sepupu
satu kalinya yang bernama We Tenri Pappa MajjumbaE anak
dari La Baloso Maddanreng Bone dengan isterinya yang bernama We Tenri
Awaru Arung Lempang. We Tenri Pappa MajjumbaE dengan La Maddinra
Arung Rappeng melahirkan anak perempuan yang bernama Qwe Matana Arung
Rappeng. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama
La Makkulawu Arung Gilireng anak dari La Canno Arung Gilireng Lampe
Uttu dengan isterinya We Mappanyiwi Daeng Takennang Datu Lagosi. We
Matana Arung Rappeng dengan La Makkulawu Arung Gilireng melahirkan
anak ; pertama bernama We Bangki Arung Rappeng, kedua bernama La
Gau Arung Pattojo Ponggawa Bone, ketiga bernama We Tenri Pasabbi
Arung Gilireng, keempat bernama We Nunu Arung Manisang Datu Pammana,
kelima La Palettei Ponggawa Bone, keenam We Sampa Arung Baleng, ketujuh
bernama La Wawo, kedelapan bernama We Pana, kesembilan bernama La
Mappajanci dan kesepuluh bernama La Massalewe. Kemudian Arumpone La
Temmassonge’ kawin lagi dengan We Salima Ajappasele,
melahirkan anak perempuan bernama We Nime. Inilah yang kemudian
kawin dengan Datu Bengo. Dari perkawinannya itu, lahirlah La
Dekke Daeng Silasa Petta Bekka’E. Kemudian Petta Bekka’E kawin dengan
Karaeng SombaE yang kemudian melahirkan La Mapparewe Daeng Makkuling
Datu Bengo. Pada hari Senin 29 Jumadil Akhir 1133 H.
Arumpone La Temmassonge’ memperjelas pemberian saudaranya
Batari Toja MatinroE ri Tippulunna baik semasa hidupnya maupun setelah
meninggal dunia yang dipesankan kepadanya. Setelah itu iapun masuk
kepada Kompeni Belanda untuk mempersaksikan pemberian Batari Toja
tersebut. Inilah penjelasan Arumpone La Temmassonge’ ; ” Adapun yang
diberikan Batari Toja kepada saya ketika masih hidup, seperti;
Baringeng, Amali, Pattiro, PaddakkalaE di Bantaeng, saya
diberikan ketika berada di Kessi. Sedangkan yang dipesankan,
adalah ; Timurung, Majang, Pallengoreng, Kera, Tuwa, Ugi, Citta,
Lapajung,Tellu Latte’ E dan Ta’. Selanjutnya Tuwa saya serahkan
kepada We Rana, Citta saya serahkan kepada We Seno, Majang saya
serahkan kepada We Pakkemme’, Pallengoreng saya serahkan kepada
La Massarasa, Ugi saya serahkan kepada La Palaguna, Kera saya
serahkan kepada La Makkasau, Takalar saya serahkan kepada We Yamida.
Sedangkan Timurung dan NakkaE, itulah yang akan saya tempati
sampai tiba ajalku. Siapa saja yang merawat saya sewaktu saya
sakit, itulah yang akan memilikinya.” Pada saat menjadi Mangkau’
di Bone, anaknya di Soppeng, di Tanete, di Luwu dari We Tenri Sui
Datu Mario Riwawo dengan La Pottobune Arung Tanatengnga Addatuang
ri Lompulle, ditulis dalam lontara’ Bone dan Soppeng bahwa;
Bone dan Mario Riwawo tempat lahirnya KadhiE, Lompulle tempat
asal SengngengngE, Tanete sumber pas- seajingeng dan Soppeng tempat
untuk memilih. Dalam tahun 1775 M. Arumpone La Temmassonge’ Arung
Baringeng meninggal dunia dalam usia 80 tahun. Dalam khutbah Jumat, dia
dinamakan Sultan Abdul Razak Jalaluddin. Karena dia meninggal
di Malimongeng, maka digelar MatinroE ri Malimongeng.
23. LA TENRI TAPPU TO APPALIWENG (1775 – 1812)
La Tenri Tappu To Appaliweng adalah cucu La
Temmassonge’ To Appaweling MatinroE ri Malimongeng, dari anaknya yang
bernama We Hamidah Arung Takalar Petta MatowaE. La Tenri Tappu
menggantikan neneknya menjadi Arumpone pada tanggal 4-6- 1775 M.
Arumpone La Tenri Tappu inilah yang berkedudukan di Rompegading,
sehingga ketika ia meninggal dunia digelar MatinroE ri Rompegading.
Sebagai Arumpone, ia pernah berperang dengan Addatuang Sidenreng yang
bernama La Wawo. Persoalannya adalah karena La Wawo akan melepaskan diri
dari keterikatannya dengan Bone. La Wawo bertegas tidak akan memberikan
lagi – sebbukati yaitu semacam persembahan yang menjadi kewajiban
Addatuang Sidenreng. Setelah melalui pertimbangan yang matang,
berangkatlah orang Bone dibawah komando Arumpone untuk menyerang
Sidenreng. Karena merasa terancam, Addatuang Sidenreng La Wawo minta
bantuan kepada Karaeng Tanete. La Wawo minta kepada Karaeng Tanete agar
Arumpone La Tenri Tappu bersama segenap pasukannya dapat dibendung untuk
tidak memasuki wilayah Sidenreng. Addatuang Sidenreng La Wawo
menyanggupi untuk menyediakan –ubba yaitu semacam bahan peledak kepada
Karaeng Tanete dalam membendung serangan Bone. Setelah bermusuhan kurang
lebih tiga tahun, ternyata orang Bone tidak mampu untuk melewati Sungai
Segeri karena dibendung oleh orang Tanete dengan bantuan Petta TollaowE
ri Segeri. Untuk mencegah terjadinya perang yang berkerpanjangan,
Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang segera turun tangan. Pembesar
Kompeni Belanda yang bernama Yacobson Wilbey mengingatkan kepada
Arumpone La Tenri Tappu untuk mundur ke Bone. Begitu pula kepada
Addatuang Sidenreng La Wawo agar menarik pasukannya kembali ke
Sidenreng. Dengan demikian, perang antara Bone dengan Sidenreng
berakhir. Ketika perang antara Bone dengan Sidenreng berakhir, datanglah
La Wawo kepada Karaeng Tanete membawa 40 orang Batu Lappa dan 20 orang
Kasa sebagai pengganti harga ubba yang digunakan Karaeng Tanete selama
perang. Dalam masa pemerintahan La Tenri Tappu di Bone, Inggeris masuk
memerintah menggantikan Belanda tahun 1814 M. La Tenri Tappu To
Appaliweng kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Padauleng
untuk dijadikan sebagai Arung Makkunrai (permaisuri) di Bone. We
Padauleng adalah anak dari La Baloso, saudara ibunya dengan isterinya
yang bernama We Tenriawaru Arung Lempang. We Padauleng dengan La Tenri
Tappu melahirkan anak; pertama bernama La Mappasessu To Appatunru,
inilah yang kemudian menjadi Mangkau’ di Bone, kedua bernama We Manneng
Arung Data, ketiga bernama Batara Tungke Arung Timurung, keempat bernama
La Pawawoi Arung Sumaling, kelima bernama La Mappaseling Arung
Panynyili, keenam bernama La Tenri Sukki Arung Kajuara, ketujuh bernama
We Kalaru Arung Pallengoreng, kedelapan bernama Mamuncaragi, kesembilan
bernama La Tenri Bali Arung Ta’, kesepuluh bernama La Mappawewang Arung
Lompu Anre Guru Anakarung Bone, kesebelas bernama La Paremma’ Rukka
Arung Karella, kedua belas bernama La Temmu Page Arung Paroto Ponggawa
Bone MatinroE ri Alau Appasareng, ketiga belas bernama La Pattuppu Batu
Arung Tonra. La Mappasessu To Appatunru kawin dengan We Bau Arung Kaju,
anak dari We Rukiyah dengan suaminya yang bernama La Umpu Arung Teko.
Dari perkawinannya itu lahirlah; We Baego Arung Macege. Inilah yang
kawin dengan sepupu satu kali ibunya yang bernama Sumange’ Rukka To
Patarai Arung Berru. Selanjutnya dari perkawinan We Baego Arung Macege
dengan Sumange’ Rukka To Patarai, lahirlah; We Pada Arung Berru dan
Singkeru’ Rukka Arung Palakka. Adapun La Tenri Sukki Arung Kajuara To
Malompo di Bone, kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri
Lippu atau We Maddika Daeng Matana Arung Kaju. Dari perkawinannya itu
lahir seorang anak perempuan bernama We Tenriawaru Pancai’tana Besse
Kajuara. Daeng Matana adalah anak dari We Maddilu saudara kandung We
Padauleng Arung Makkunrai di Bone. Sedangkan La Mappawewang Arung Lompu
Anre Guru Anakarung Bone, kawin dengan We Tabacina atau Bau Cina
Karaeng Kanjenne anak dari We Mudariyah MappalakaE Ranreng Talotenre
dengan suaminya yang bernama La Pasanrangi Petta CambangE Arung Malolo
Sidenreng. Dari perkawinan Bau Cina dengan Petta Anre Guru AnakarungE ;
pertama bernama La Parenrengi Arung Ugi. Inilah yang kawin dengan sepupu
satu kalinya yang bernama We Tenriawaru atau Pancai’tana Besse Kajuara
anak dari We Tenri Lippu atau We Maddika Daeng Matana dengan suaminya
yang bernama La Tenri Sukki Arung Kajuara. Adik dari La Parenrengi
bernama Toancalo Petta CambangE Arung Amali To Marilaleng Bone yang juga
sebagai Ranreng Talotenre Wajo. Selanjutnya adik dari Toancalo bernama
Sitti Saira Arung Lompu. Adik berikutnya bernama We Rukka, We Ciciba. We
Ciciba inilah yang kawin dengan La Pangerang Arung Cimpu. Kembali
kepada saudara perempuan La Tenri Tappu yang bernama We Yallu Arung
Apala. Inilah yang melahirkan Datu Pattiro, Datu Soppeng MatinroE ri
Tengngana Soppeng dengan suaminya yang bernama La Mappapole Onre Datu
Soppeng MatinroE ri Amala’na. Anak berikutnya bernama La Mata Esso Sule
Datu di Soppeng MatinroE ri Lawelareng. Selanjutnya bernama We Tenri
Kaware Arung Saolebbi Arung Balosu. Selanjutnya We Dende, meninggal
dunia ketika masih kecil. La Unru Datu Pattiro kawin dengan We Selima
Mabbaju NyilaE anak dari We Mariyama Mabbaju LotongE dengan suaminya
yang bernama La Pede Daeng Mabela Pabbicara Sidenreng. Dari
perkawinannya itu lahirlah; pertama bernama Baso Sidenreng Petta Ambo’na
Salengke, kedua bernama We Bonga Petta Indo’na I Lampoko. Baso
Sidenreng Petta Ambo’na Salengke kawin dengan We Waru, kemudian We
Kacici. Keduanya adalah anak dari La Patau Petta Janggo Arung Leworeng.
Dari perkawinan dengan We Waru lahirlah; pertama bernama We Nibu, kedua
bernama La Salengke. Selanjutnya We Kacici melahirkan anak; pertama
bernama La Palloge, kedua bernama We Jenna, ketiga bernama We Takka.
Sedangkan We Tenri Kaware Arung Balosu kawin dengan Sumange’ Rukka Ambo’
Pajala Arung Tanete anak We Soji Arung Tanete dengan suaminya yang
bernama La Makkawaru Arung Atakka Tomarilaleng Bone. Dari perkawinannya
itu lahirlah dua anak laki-laki; pertama bernama La Patongai Datu
Pattiro, kedua bernama La Passamula BadungE. La Patongai Datu Pattiro
kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Panangareng Datu
Lompulle, anak dari We Pancai’tana Arung Akkampeng dengan suaminya yang
bernama La Rumpang Megga Karaeng Tanete. We Panangareng dengan La
Patongai melahirkan anak bernama La Onro Datu Lompulle. La Passamula
BadungE kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Bonga Petta
Indo’na I Lampoko. Dari perkawinan itu lahirlah anaknya; pertama bernama
Bau Baso Arung Balosu, inilah yang menjadi Sule Datu di Soppeng. Kedua
bernama Sitti Hawang, ketiga bernama We Mira. Bau Baso Arung Balosu
kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Nebu Petta Indo’na
Matta anak Baso Sidenreng dengan isterinya We Waru. Dari perkawinan itu
lahirlah ; pertama bernama We Matta, kedua bernama Mahmud Petta Bau,
ketiga bernama We Besse. Sitti Hawang kawin dengan La Cakkudu Petta
Amparita, anak La Panguriseng Addatuang Sidenreng dengan isterinya yang
bernama We Bangki Arung Rappeng. We Sitti Hawang dengan La Cakkudu
melahirkan anak bernama La Pasanrangi Datu Taru. We Taka kawin dengan La
Sanreseng Datu Lamuru, anak dari Jaya Langkara Datu Lamuru dengan
isterinya yang bernama We Tellongeng. Dari perkawinan itu lahirlah We
Sengngeng. Inilah yang kawin dengan La Sana Arung Lompengeng, anak dari
La Page Arung Lompengeng dengan isterinya yang bernama We Bonga. We
Sengngeng dengan La Sana melahirkan anak bernama We Yasiyah. We Yasiyah
inilah yang kawin dengan La Coppo Daeng Mangottong, anak dari La
Massikkireng Arung Macege dengan isterinya yang bernama Sitti Aminah
Arung Pallengoreng. We Jenna kawin dengan La Passamula Datu Lompulle
Ranreng Talotenre Arung Matowa Wajo MatinroE ri Batubatu. Anak dari La
Patongai Datu Lompulle Ranreng Talotenre dengan isterinya Besse Arawang.
Dari perkawinannya itu lahirlah La Mappe Datu Mario Riawa. Kemudian La
Mappe kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Besse anak Sule
DatuE Arung Balosu dengan isterinya yang bernama We Nebu Petta Indo’na
Matta. Selanjutnya We Besse dengan La Mappe melahirkan anak perempuan
yang bernama Isa Arung Padali. We Matta kawin dengan sepupu satu kalinya
yang bernama La Pasanrangi Datu Taru, anak dari Sitti Hawang dengan
suaminya La Cakkudu Petta Amparita. Kemudian We Matta dengan La
Pasanrangi melahirkan anak ; pertama bernama La Bandu, kedua bernama We
Selo. We Selo kawin dengan La Jojjo Arung Berru Karaeng Lembang Parang,
anak dari We Batari Arung Berru dengan suaminya La Mahmud Karaeng ri
Baroanging. Dari perkawinannya itu lahirlah We Tenri. La Onro Datu
Lompulle kawin dengan We Cecu Arung Ganra yang juga Arung Belawa Orai.
Anak dari We Sitti Tahirah Patola Wajo dengan suaminya To Lempeng Arung
Singkang yang juga Datu Soppeng Rialau. Kemudian We Cecu dengan La Onro
melahirkan anak ; pertama bernama We Soji Datu Madello, kedua bernama La
Pabeangi Arung Ganra, ketiga bernama La Rumpang Datu Pattiro Ranreng
Talotenre. We Soji Datu Madello kawin dengan Loa Tengko Manciji Wajo
Arung Belawa Alau anak dari La Tune Arung Bettempola dengan isterinya
Sompa Ritimo Arung Penrang. Dari perkawinannya itu lahirlah; pertama
bernama La Cella, kedua bernama We Tenri Arung Belawa , ketiga bernama
We Panangareng Datu Madello, keempat bernama La Patongai Datu Doping. La
Pabeangi Arung Ganra kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We
Tenri Sui Datu Watu Arung Lapajung Patola Wajo, anak dari We Mappanyiwi
Patola Wajo dengan suaminya yang bernama La Walinono Datu Botto. We
Tenri Sui dengan La Pabeangi melahirkan anak; pertama bernama La Wana
Arung Ganra, kedua bernama La Jemma Datu Lapasung, ketiga bernama We
Yaddi Luwu Datu Watu, keempat bernama Sitti Tahira Patola Wajo Datu
MallanroE. Sitti Tahira inilah yang kawin dengan sepupu tiga kalinya
yang bernama La Bandu, tidak melahirkan anak. La Wana kawin dengan
sepupu tiga kalinya yang bernama Isa Arung Padali anak dari La Mappe
dengan isterinya yang bernama We Besse. Kemudian La Mappe kawin lagi
dengan We Cingkang anak dari La Jalante Jenderal Tempe. Dari
perkawinannya itu lahirlah La Mori. Selanjutnya Isa dengan La Wana Arung
Ganra melahirkan anak; pertama bernama La Walinono Arung Laleng Bata,
kedua bernama We Tenri Dio Datu Lompulle, ketiga bernama Galette,
keempat bernama Abu Baedah. We Yaddi Luwu kawin dengan sepupu satu
kalinya yang bernama La Mangkona Datu Mario Riwawo anak dari La Wawo
Datu Botto dengan isterinya yang bernama We Tenri Leleang Datu Mario
Riwawo. We Yaddi Luwu dengan La Mangkona melahirkan anak; pertama
bernama La Sade, kedua bernama We Tenriabeng, ketiga bernama We
Tenriangka, keempat bernama We Cecu, kelima bernama We Tenri Pakkemme’.
La Onro Datu Lompulle kawin lagi dengan We Dulung, melahirkan seorang
anak bernama La Cube. Inilah yang kemudian menjadi Pangulu Lompo di
Galung. La Cube kawin dengan We Munde saudara perempuan Jenderal
Lompengeng, anak dari La Page Arung Lompengeng dengan isterinya We
Bonga. Dari perkawinan La Cube dengan We Munde ; pertama bernama La
Singke, kedua bernama We Sukki, ketiga bernama Sitti Saleha, keempat
bernama La Mahmud. La Rumpang kawin lagi dengan We Tappa dan melahirkan
seorang anak laki-laki bernama La Makkulawu. Sampai disinilah
keterangan tentang keturunan We Yallu Arung Apala yang bersaudara
kandung dengan We Banrigau Arung Tajong. We Banrigau Arung Tajong kawin
dengan La Tenriangka Arung Ujung anak dari Tomarilaleng Pawelaiye ri
Gowa dengan isterinya yang bernama Sitti Aminah Karaeng Somba Opu yang
juga Karaeng Tallo. Perkawinannya itu melahirkan seorang anak laki-laki
bernama La Tenri Wari. Kemudian We Banrigau Arung Tajong kawin lagi di
Wajo dengan La Sampenne Petta La Battowa CakkuridiE ri Wajo yang juga
sebagai Arung Liu. Anak dari La Paulangi To Saddapotto Daeng Lebbi Arung
Bette dengan isterinya We Tenri Ampa Arung Singkang. We Banrigau dengan
Petta La Battowa melahirkan anak; pertama bernama We Sawe Arung Liu,
kedua bernama La Olli Maddanreng Bone, ketiga bernama We Sikati Andi
Ecce We Sikati kawin dengan La Sampo Arung Ugi yang juga sebagai Arung
Belawa. Anak dari La Mampulana Arung Ugi dengan isterinya yang bernama
We Bakke Datu Kawerang. Dari perkawinannya itu, lahirlah ; pertama
bernama We Busa Petta WaluE Arung Belawa, kedua bernama La Rappe Arung
Liu Arung Ugi yang juga Maddanreng di Bone dan Sule Ranreng Tuwa ketika
sepupu satu kalinya yang bernama We Hudiyah menjadi Ranreng Tuwa. Ketiga
bernama La Maggalatung Daeng PaliE Arung Palippu. We Busa Arung Belawa
kawin dengan La Tompi Arung Bettempola MatinroE ri Wajo. Anak dari La
Sengngeng Arung Bettempola MatinroE ri Salawa’na dengan isterinya We
Mappangideng Arung Macanang. Dari perkawinan itu lahirlah; pertama
bernama We Kalaru Arung Bettempola, kedua bernama La Paramata atau La
Tatta Raja Dewa Arung Bettempola, ketiga bernama La Tune Mangkau atau La
Tune Sangiang Arung Bettempola MatinroE ri Tancung. We Kalaru kawin
dengan La Patongai Datu Lompulle Ranreng Talotenre, anak dari We
Mudariyah MappalakaE dengan suaminya La Pasanrangi Petta CambangE Arung
Malolo Sidenreng. Dari perkawinannya itu lahirlah; pertama laki-laki
bernama La Mangkona To Rao PajumpungaE Datu Alau Wajo dan juga sebagai
Arung Palippu. La Rappe Arung Liu kawin dengan We Besse Daeng Taleba
Arung Penrang anak dari We Jiba Datu Bulu Bangi dengan suaminya La
Saliwu Petta KampongE Arung Atakka. Dari perkawinannya itu lahirlah
seorang anak perempuan yang bernama Sompa Ritimo Arung Penrang MatinroE
ri Cinnong Tabi. Kemudian Sompa Ritimo kawin dengan sepupu satu kalinya
yang bernama La Tune Mangkau Arung Bettempola. Anak dari We Busa Petta
WaluE dengan suaminya La Tompi Arung Bettempola MatinroE ri Wajo.
Sompa Ritimo dengan La Tune Sangiang melahirkan anak yang bernama La
Gau, inilah yang kemudian mejadi Ranreng di Bettempola Wajo. La Gau
kemudian kawin dengan We Tenri Sampeang Denra WaliE Arung Patila. Anak
dari We Baru Arung Patila dengan suaminya yang bernama La Saddapotto
Maddanreng Pammana. Kemudian La Gau dengan We Tenri Sampeang melahirkan
anak yang bernama La Jamarro, inilah yang kemudian menjadi Paddanreng
Bettempola. Anak berikutnya adalah La Cengke Manciji Wajo, La Tengko
Arung Belawa Alau, juga sebagai Manciji Wajo, La Jollo Datu Patila, La
Mamu Petta Yugi, La Come, We Gallo Arung Liu, We Gallo Arung Liu,
kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Mangkona To Rao
PajumpungaE, tidak ada anaknya. Kemudian PajumpungaE kawin lagi dengan
sepupu satu ayahnya yang bernama We Nyili’timo Arung Baranti, anak dari
La Panguriseng . Arumpone La Tenri Tappu yang tempat tinggalnya
Rompegading dan Bone secara bergantian. Pada tahun 1812 M. ia meninggal
dunia di Rompegading, maka dinamakanlah MatinroE ri Rompegading. La
Tenri Tappu To Appaliweng Daeng Palallo MatinroE ri Rompegading
digantikan oleh anaknya yang bernama La Mappasessu To Appatunru sebagai
Mangkau’ di Bone.
24. LA MAPPASESSU TO APPATUNRU (1812 – 1823)
La Mappasessu To Appatunru Arung Palakka
menggantikan ayahnya menjadi Mangkau’ di Bone pada tahun 1812 M. Namun
pelantikannya nanti pada tahun 1814 M. La Mappasessu To Appatunru
dikenal banyak bersaudara, anak dari La Tenri Tappu To Appaliweng
MatinroE ri Rompegading dengan isterinya We Padauleng MatinroE ri Sao
Denrana. Pada saat menjadi Arumpone, Inggeris masuk memerintah
menggantikan Belanda. Inggerislah yang menyuruh Arung Mampu yang bernama
Daeng Riboko untuk mengambil SudengE dan segenap benda Kerajaan Gowa
yang selama ini dipegang oleh Arumpone. Tetapi Arumpone tetap
mempertahankan segenap milik ArajangE ri Gowa karena memang Arumpone
punya niat untuk menjadi Arung di Gowa. Baik Arumpone La Tenri Tappu
maupun La Mappasessu anaknya, merasa memiliki hak untuk menjadi Karaeng
di Gowa karena memang adalah cucu dari KaraengE ri Gowa MatinroE ri
Somba Opu. Apalagi banyak sekali orang Gowa yang tinggal di pegunungan
yang menyerahkan diri. Oleh karena itu, Arumpone La Mappasessu berkeras
untuk menjadi Karaeng ri Gowa. Pada saat itu belum ada yang jelas
tentang Karaeng di Gowa. Bagi orang Gowa beranggapan bahwa siapa saja
yang memegang benda –benda Arajang, itulah yang dianggap sebagai Karaeng
ri Gowa. Walaupun telah dilantik sebagai Karaeng, tetapi tidak memiliki
benda-benda ArajangE ri Gowa, maka tidak bisa memerintah di Gowa
Pembesar Inggeris yang bernama Residen Philips menyuruh kepada Arung
Mampu Daeng Riboko pergi menemui Arumpone untuk minta agar benda-benda
Kerajaan Gowa yang disimpan oleh Arumpone La Tenri Tappu pada masa
hidupnya dikembalikan ke Gowa. Tetapi Arumpone La Mappasessu tetap
mempertahankan untuk tidak memberikan SudengE dan segenap benda-benda
Kerajaan Gowa tersebut. Karena Pembesar Inggeris merasa tidak dipatuhi,
maka direncanakanlah untuk menyerang Bone. Arumpone saat itu
berkedudukan di Rompegading dan Inggeris melakukan serangan kepada
Arumpone. Karena persenjataan Inggeris jauh lebih kuat, maka pada
akhirnya Arumpone kalah setelah Rompegading dibumi hanguskan. Arumpone
La Mappasessu serta seluruh keluarganya kembali ke Bone dan berkedudukan
di Laleng Bata. Adapun SudengE serta segenap benda-benda Kerajaan
Gowa, Arumpone menyerahkan kepada Datu Soppeng MatinroE ri Amala’na.
Selanjutnya Datu Soppeng MatinroE ri Amala’na yang memberikan kepada
Arung Mampu untuk dilanjutkan kepada Kompeni Inggeris. Pada tanggal 4
Juni 1814 M. Kompeni Inggeris menyerahkan SudengE dan segenap
benda-benda Kerajaan Gowa kepada Bate SalapangE ri Gowa . Jenderal
Perang Inggeris yang menyerang Rompegading bernama Tuan Nightingale.
Dalam tahun 1816 M. Gubernur Jenderal Belanda kembali memerintah. Dalam
khutbah Jumat nama Arumpone La Mappasessu To Appatunru disebut sebagai
Sultan Muhammad Ismail Mukhtajuddin. Inilah Arumpone yang kawin dengan
sepupu dua kalinya yang bernama We Bau Arung Kaju, anak dari We Rukiyah
dengan suaminya yang bernama La Umpu Arung Teko. Dari perkawinannya itu
lahirlah anak perempuannya yang bernama We Baego yang kemudian menjadi
Arung Macege. Dalam tahun 1823 M. Arumpone La Mappasessu To Appatunru
meninggal dunia di Laleng Bata dan dinamakanlah MatinroE ri Laleng Bata.
We Baego Arung Macege kawin di Berru dengan Sumange’ Rukka To Patarai
Arung Berru. Anak dari Arung Berru To Appasawe dengan isterinya yang
bernama We Hatija Arung Paopao. We Hatija Arung Paopao adalah anak La
Maddussila Karaeng Tanete dengan isterinya yang bernama We Seno Datu
Citta. We Baego Arung Macege dengan Sumange’ Rukka To Patarai
melahirkan ; pertama bernama We Pada Arung Berru, kedua bernama
Singkeru’ Rukka Arung Palakka. We Pada Arung Berru kawin di Gowa dengan I
Mallingkaang Karaeng Katangka. Dari perkawinannya itu lahirlah; pertama
bernama I Makkulawu Daeng Parani Karaeng Lembang Parang, kedua bernama I
Topatarai Karaeng Pabbundukang. Ketiga bernama I Togellangi Karaeng
Silajo, keempat bernama We Batari Daeng Marennu Arung Berru, kelima
bernama We Bau , keenam bernama We Biba Karaeng Bonto Masuji, ketujuh
bernama Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo, kedelapan bernama Butta
Intang Karaeng Mandalle, kesembilan bernama I Mangiruru Daeng Mangemba
Karaeng Manjalling, kesepuluh bernama We Sugiratu Andi Baloto Karaeng
Tanete, kesebelas bernama Sitti Haja Daeng Risanga, kedua belas bernama
Sitti Rugaiya Karaeng Langelo, ketiga belas bernama I Mangimangi Daeng
Matutu Karaeng Bontonompo. Kembali kepada La Makkulawu Daeng Parani
Karaeng Lembang Parang. Inilah yang menjadi Karaeng ri Gowa. La
Makkulawu Daeng Parani kawin di Alitta dengan We Tenri Paddanreng atau
We Bunga Singkeru’ anak La Parenrengi Arumpone MatinroE ri Ajang Benteng
dengan isterinya yang bernama We Tenriawaru Besse Kajuara Arumpone
MatinroE ri Majennang Suppa. Dari perkawinannya itu lahirlah; pertama
bernama La Panguriseng Bau Tode Petta Alitta, kedua bernama La
Mappanyukki Datu Lolo ri Suppa. La Panguriseng Petta Alitta kawin dengan
sepupu satu kalinya yang bernama We Seno Karaeng Lakiung. Anak dari We
Batari Arung Berru dengan suaminya I Mahmud Karaeng Baroanging. La
Panguriseng dengan We Seno melahirkan anak; pertama bernama We Cella
Karaeng Lakiung, kedua bernama We Saripa Karaeng Pasi La Mappanyukki
kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Maddilu Karaeng Bonto
Masuji anak dari I Sugiratu Andi Baloto Karaeng Tanete dengan suaminya
yang bernama La Parenrengi Karaeng Tinggimae. Namun tidak melahirkan
anak dan We Maddilu meninggal dunia. Kemudian La Mappanyukki kawin lagi
dengan We Batasi anak Gallarang Tombolo Bate SalapangE ri Gowa dengan
isterinya yang bernama I Cikopo. Dari perkawinan yang kedua itu lahirlah
La Pangerang Arung Macege. Selanjutnya La Mappanyukki kawin lagi di
Massepe dengan We Besse Petta Bulo anak dari La Saddapotto Addatuang
Sidenreng dengan isterinya yang bernama We Beda Addatuang Sawitto. Dari
perkawinannya yang ketiga itu lahirlah; Abdullah Bau Massepe, We Rakiyah
Bau Baco Karaeng Balla Tinggi dan terakhir bernama We Bulaeng. Karena
Besse Bulo meninggal dunia, maka La Mappanyukki kawin lagi dengan sepupu
satu kalinya yang bernama I Manenne Karaeng Balangsari anak dari I
Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo dengan isterinya yang bernama I
Nako Karaeng Panakukang. Dari perkawinannya itu, lahirlah; We Tenri Pada
Karaeng Lakiung, kedua bernama We Saripa Karaeng Pasi. I Mallingkaang
Karaeng Riburane di Wajo kawin dengan We Ninnong Ranreng Tuwa Wajo
anak dari La Mappanyompa Ranreng Tuwa Wajo Arung Ujung dengan isterinya
yang bernama We Dala Tongeng Arung Tempe. Dari perkawinan itu lahirlah;
pertama bernama We Manawara Besse Tempe, kedua bernama Baharuddin Bau
Akkotengeng Karaeng Mandalle, ketiga bernama Mahmud, keempat bernama We
Mudariah Karaeng Balangsari, kelima bernama Hasan Karaeng Riburane,
keenam bernama Sulaeman. I Sugiratu Andi Baloto kawin dengan La
Parenrengi Karaeng Tinggimae anak dari I Manggabarani Karaeng Mangeppe
Arung Matowa Wajo dengan isterinya We Dala Wettoeng Karaeng Kanjenne.
Dari perkawinan itu lahirlah; pertama bernama We Maddilu Daeng Bau,
kedua bernama We Seno Karaeng Lakiung. We Maddilu kawin dengan La
Mappanyukki Datu Lolo ri Suppa, tidak melahirkan anak. Selanjutnya We
Seno kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama Kumala Karaeng
Cenrapole. Kemudian I Magguliga Andi Bangkung kawin dengan We Patima
Banri atau We Banri Gau Arung Timurung anak Singkeru’ Rukka Arung
Palakka Arumpone MatinroE ri Topaccing dengan isterinya yang bernama
Sitti Saira Arung Lompu.Selanjutnya We Banri Gau dengan I Magguliga
Karaeng Popo melahirkan anak bernama We Sutera Arung Apala, meninggal
dunia diwaktu masih kecil. Kemudian Karaeng Popo kawin dengan I Nako
Karaeng Panakukang anak dari I Mappatunru Karaeng Riburane dengan
isterinya I Patimasang Daeng Ngasseng. Karaeng Popo dengan I Nako
melahirkan anak bernama I Manenne Karaeng Balangsari Arung Makkunrai ri
Bone yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Mappanyukki.
We Batari Daeng Marennu kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama I
Mahmud Karaeng ri Baroanging anak dari I Manginyareng Karaeng Lembang
Parang dengan isterinya I Woja Karaeng Balangsari. Dari perkawinan itu
lahirlah; pertama bernama I Jojjo Kalamullahi Karaeng Lembang Parang
Arung Berru, kedua bernama I Kumala Karaeng Cenrapole, ketiga bernama We
Seno Karaeng Lakiung, keempat bernama I Sari Banong Karaeng Tanete
Arung Berru, kelima bernama I Malingkaang Karaeng Riburane. I Jojjo
Kalamullahi kawin dengan We Ica Arung Manisang anak dari La Saddapotto
Addatuang Sidenreng dengan isterinya We Beda Addatuang Sawitto. Dari
perkawinan itu lahirlah seorang anaknya yang bernama La Saddapotto.
Kemudian I Jojjo Kalamullahi kawin lagi di Soppeng dengan We Selo anak
dari La Pasanrangi Datu Taru dengan isterinya yang bernama We Matta.
Dari perkawinannya itu melahirkan anak yang bernama We Tenri. I Kumala
Karaeng Cenrapole kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Seno
Karaeng Lakiung anak dari I Sugiratu Andi Baloto Karaeng Tanete dengan
sepupu dua kalinya yang bernama La Parenrengi Karaeng Tinggi Mae. Dari
perkawinan itu lahirlah ; pertama bernama I Manggabarani, kedua bernama
Singkeru’ Rukka, ketiga bernama Sumange’ Rukka Karaeng Mangeppe Arung
Berru dan satu bernama We Oja, meninggal diwaktu kecil. We Seno Karaeng
Lakiung kawin dengan La Panguriseng Petta Alitta anak dari I Makkulawu
KaraengaE ri Gowa dengan isterinya We Cella Arung Alitta. I Mangimangi
Daeng Matutu Karaeng Bontonompo kawin dengan We Kunjung Karaeng Tanatana
anak dari I Nyulla Daeng Tappa Manyoro Attabone dengan isterinya We
Patimasang, cucu Arumpone MatinroE ri Laleng Bata. Dari perkawinannya
itu lahirlah; pertama bernama La Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang.
Kedua seorang perempuan bernama I Maisa Karaeng Rappocini dan ketiga
seorang perempuan bernama I Patimasang Karaeng Panaikang. I Mangimangi
Daeng Matutu sewaktu dilantik sebagai Somba atau Karaeng ri Gowa
–ripasekkori lalla sipuwe pada tanggal 4 Januari 1937 ketika Tuan
Boslaar sebagai Pembesar Kompeni di Ujungpandang. Datang semua
TellumpoccoE, LimaE Ajattappareng, PituE Babanna Minanga, LimaE
Massenrempulu, Cappa GalaE. Datang juga Sultan Butung. La Ijo Daeng
Mattawang Karaeng Lalolang kawin dengan Daeng Tuji. Kawin juga dengan
Daeng Ngai. Inilah Karaeng ri Gowa dan Kemerdekaan Republik Indonesia
diproklamirkan oleh Sukarno dan Hatta. Sampai disinilah catatan tentang
keturunan Arumpone MatinroE ri Laleng Bata. Adapun yang menggantikan
sebagai Mangkau’ di Bone adalah saudara perempuannya yang bernama I
Manneng Arung Data.
25. I MANNENG ARUNG DATA (1823 – 1835)
I Manneng Arung Data menggantikan saudaranya
MatinroE ri Laleng Bata menjadi Mangkau’ di Bone. Dalam khutbah Jumat
nama I Manneng Arung Data dikenal dengan sebutan Sultanah Salimah
Rajiyatuddin. Dalam tahun 1824 M. pada masa pemerintahannya di Bone,
Belanda kembali memerintah. Pembesar Kompeni Belanda mengajak kepada
Arumpone untuk meperbaharui Perjanjian Bungaya , yaitu perjanjian antara
La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na dengan Kompeni Belanda
untuk bekerja sama dalam pemerintahan. Arumpone I Manneng Arung Data
dikenal sangat patuh dalam melaksanakan agama Islam, sehingga dia
memperdalam yang namanya ilmu tasauf. Untuk itu ia diberikan wilayah
oleh gurunya yang bernama Seikh Ahmad yang menundukkan Tambora yang
digelar Alif Putih. Oleh karena itu I Manneng Arung Data bertegas untuk
tidak akan mengulangi Perjanjian Bungaya. Dengan demikian, Gubernur
Belanda menyerang Bone pada tahun 1825 M. Dan nanti pada tanggal 7
Agustus 1825 M. baru terjadi kesepakatan antara Bone dengan Gowa untuk
menjadi Bond Gnoshap dengan Belanda sebagai realisasi Pembaharuan
Perjanjian Bungaya. Arumpone I Manneng Arung Data dikenal tidak memiliki
anak karena tidak pernah menikah. Ia meninggal dalam tahun 1835 M. dan
dinamakan MatinroE ri Kessi. Selanjutnya digantikan oleh saudaranya yang
bernama La Mappaseling Arung Panynyili.
26. LA MAPPASELING ARUNG PANYNYILI (1835 – 1845)
La Mappaseling Arung Panynyili menggantikan
saudaranya I Manneng Arung Data MatinroE ri Kessi menjadi Mangkau’ di
Bone. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultan Adam
Najamuddin. Adapun yang menjadi penengah untuk mendamaikan kembali Bone
dengan Gubernur Belanda, adalah La Mappangara Arung Sinri, anak dari We
Masi Arung Weteng dengan suaminya yang bernama To Tenri Tomarilaleng
Pawelaiye ri Kaluku BodoE. La Mappangara menggantikan ayahnya menjadi
Tomarilaleng ri Bone dan setelah meninggal dunia, dinamakanlah PawelaiyE
ri SessoE. Ketika La Mappangara menjadi Tomarilaleng di Bone,
terjalinlah kembali persahabatan Bone dengan Kompeni Belanda yang pernah
terputus. Pada tanggal 13 Agustus 1835 M. diperbaharuilah perjanjian
yang pernah disepakati oleh Petta To RisompaE dengan Pembesar Kompeni
Belanda di Ujungpandang. Dalam tahun 1838 M. Arumpone La Mappaseling
bersama TomarilalengE Arung Sinri berangkat ke Ujungpandang untuk
menemui Pembesar Kompeni Belanda yang bernama Tuan de Peres guna
mempererat hubungan Bone dengan Kompeni Belanda. La Mappangara Arung
Sinri Tomarilaleng Bone yang kawin dengan saudara perempuan Arumpone
yang bernama We Kalaru Arung Pallengoreng. Dari perkawinannya itu, tidak
melahirkan anak. Begitu pula Arumpone La Mappaseling Arung Panynyili,
juga tidak memiliki Arung Makkunrai (permaisuri) yang melahirkan anak.
Dalam tahun 1845 M. Arumpone La Mappaseling Arung Panynyili meninggal
dunia dan dinamakanlah MatinroE ri Salassana. Dengan demikian, para
Hadat Bone bermusyawarah untuk menentukan pengganti Arumpone. Setelah
terjadi berbagai pertimbangan, maka disepakatilah La Parenrengi Arung
Ugi menggantikan pamannya sebagai Mangkau’ di Bone.
27.LA PARENRENGI ARUNG UGI (1845 – 1857)
La Parenrengi sebagai Arung Lompu menggantikan
pamannya La Mappaseling Arung Panynyili sebagai Mangkau’ di Bone. La
Parenrengi adalah anak dari La Mappaewa Arung Lompu To Malompo ri Bone
saudara kandung dengan MatinroE ri Salassana. Sedangkan ibunya bernama
We Tabacina atau Bau Cina Karaeng Kanjenne anak dari La Pasanrangi Petta
CambangE Arung Malolo Sidenreng. Anak MappalakaE dengan Petta CambangE,
adalah ; pertama bernama La Patongai Datu Lompulle Ranreng Talotenre.
Inilah yang dipersiapkan menjadi Addatuang Sidenreng, akan tetapi Petta
CambangE berperang dengan saudaranya yang bernama La Panguriseng
sehingga kedudukan tersebut direbut oleh La Panguriseng. Anak yang kedua
bernama La Unru Arung Ujung, ketiga bernama We Tabacina Karaeng
Kanjenne dan yang keempt bernama We Batari, meninggal diwaktu kecil. We
Tabacina kawin dengan La Mappaewa Arung Lompu To Malompo ri Bone. Dari
perkawinannya itu lahirlah La Parenrengi. Inilah yang disepakati oleh
Hadat Tujuh Bone untuk diangkat menjadi Arumpone. Anak MappalakaE dengan
Petta CambangE berikutnya, adalah; Toancalo Arung Amali Tomarilaleng
Bone Ranreng juga di Talotenre. Berikutnya bernama We Rukiyah dan
berikutnya lagi bernama Sitti Saira Arung Lompu. Sitti Saira kawin
dengan anak sepupu satu kalinya yang bernama Singkeru’ Rukka Arung
Palakka MatinroE ri Topaccing. Dari perkawinannya itu lahirlah We Patima
Banri Arung Timurung. La Parenrengi Arung Ugi yang telah diangkat
menjadi Arumpone dan masih tetap didampingi oleh pamannya yang bernama
La Mappangara Arung Sinri. Dalam khutbah Jumat nama Arumpone La
Parenrengi disebut sebagai Sultan Ahmad Saleh Mahyuddin. La Mappangara
Arung Sinri masih tetap berjasa dalam memperbaiki hubungan antara Bone
dengan Kompeni Belanda. Karena jasa-jasa La Mappangara Arung Sinri
sehingga Kompeni Belanda benar-benar memperlihatkan perhatiannya dalam
menjalin kerja sama dengan Arumpone.Pembesar Kompeni Belanda yang ada di
Ujungpandang sengaja masuk ke Bone sebagai tanda bahwa Bone dengan
Kompeni Belanda bersahabat yang dimulai dari MatinroE ri Salassana.
Ketika Pembesar Kompeni Belanda yang bernama Tuan de Peres masuk ke Bone
pada tahun 1846 M. Arumpone La Parenrengi menjemput dan menerimanya
dengan baik. Namun tidak seorangpun yang menduga bahwa persahabatan Bone
dengan Kompeni Belanda akan mengalami masalah. Seperti kata orang tua
bahwa sedangkan piring satu tempat bisa saling berbenturan, walaupun
tidak ada yang menggoyangkannya.Begitu pula Arumpone La Parenrengi
dengan Kompeni Belanda, persahabatan yang begitu akrab, tiba-tiba saja
merenggang. Karena La Mappangara Tomarilaleng Bone mengambil jalan
pintas yaitu untuk minta kepada Arumpone agar dirinya dapat
diberhentikan sebagai Tomarilaleng. Permintaan itu dipenuhi oleh
Arumpone La Parenrengi dengan pertimbangan bahwa pamannya itumemang
sudah tua dan ingin istirahat. Dalam tahun 1849 M. setelah tugasnya
sebagai Tomarilaleng Bone dilepaskannya, maka naiklah ke Ujungpandang
untuk minta perlindungan kepada Pembesar Kompeni Belanda yang bernama
Tuan de Peres. Kepada Arung Sinri Pembesar Kompeni Belanda menunjukkan
tempat yang baik untuk ditempati, yaitu Marus. Setelah kesepakatan
antara Arung Sinri dengan Pembesar Kompeni Belanda selesai dan Arung
Sinri setuju untuk tinggal di Marus, maka kembalilah ke Bone
mengumpulkan semua barang-barangnya dan segenap keluarganya untuk dibawa
ke Ujungpandang. Setelah semua barang-barangnya selesai dikemas dan
segenap keluarganya yang akan mengikutinya dipersiapkan, La Mappangara
Arung Sinri minta izin kepada kemanakannya Arumpone untuk berangkat ke
Ujungpandang. Arumpone La Parenrengi melepas kepergian pamannya diikuti
oleh beberapa keluarganya. Arung Sinri bersama rombongannya berjalan
menelusuri hutan, melewati Lappariaja akhirnya sampai di padang yang
luas di Maros, di tempat yang telah ditunjukkan oleh Pembesar Kompeni
Belanda, yaitu tempat yang bernama SessoE. Di tempat itulah Arung Sinri
dengan seluruh pengikutnya singgah dan menetap. Kepada pengikutnya
dibagikan tanah untuk digarap sebagai sumber penghidupan dengan
keluarganya. Arung Sinri yang dikenal sangat patuh dalam melaksanakan
syariat Islam, maka iapun merasa tenang dan aman dalam beribadah
ditempatnya yang baru itu. Beberapa saat kemudian Arung Sinri memilih
suatu tarekat untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, yaitu tarekat
khalwatiyah. Pergilah ke Barru menemui seorang ulama’ yang bernama Haji
Kalula. Inilah yang membimbingnya untuk lebih memperdalam ilmu agama
Islam yang dianutnya. Anak cucunyalah secara turun temurun yang menjadi
Pangulu Lompo tarekat Khalwatiyah itu. Pada tanggal 16 Februari 1857 M.
Arumpone La Parenrengi meninggal dunia di Ajang Benteng. Oleh karena itu
dinamakanlah MatinroE ri Ajang Benteng. Selanjutnya digantikan oleh
janda sepupu satu kalinya yang bernama We Tenriawaru Pancai’tana Besse
Kajuara.
28. WE TENRIAWARU PANCAI’TANA BESSE KAJUARA (1857 – 1860)
Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara menggantikan
suaminya La Parenrengi menjadi Mangkau’ di Bone. Dalam khutbah Jumat
namanya disebut sebagai Sultanah Imalahuddin. Tenriawaru Pancai’tana
Besse Kajuara dengan La Parenrengi Arung Ugi adalah bersepupu satu kali
karena kedua orang tuanya bersaudara kandung dari MatinroE ri
Rompegading. Ayah dari La Parenrengi yang bernama La Mappawewang Arung
Lompu Anre Guru Anakarung ri Bone kawin dengan anak MappalakaE dengan
suaminya yang bernama Muhammad Rasyid Petta CambangE Arung Malolo ri
Sidenreng. La Mappawewang dengan dengan La Tenri Sukki Arung Kajuara To
MalompoE ri Bone. La Tenri Sukki yang kawin dengan sepupu satu kalinya
yang bernama We Tenri Lippu atau We Maddika Daeng Matana anak dari We
Maddilu Arung Kaju dengan suaminya La Kuneng Arung Belawa Orai. Dari
perkawinannya itu lahirlah We Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara. Pada
masa pemerintahan We Tenriawaru Besse Kajuara, ketegangan antara Bone
dengan Kompeni Belanda kembali terjadi. Hal itu terjadi karena Kompeni
Belanda selalu menekankan untuk memperbaharui kembali Perjanjian
Bungaya, agar persahabatan Bone dengan Kompeni Belanda tetap kokoh. Akan
tetapi Arumpone Besse Kajuara tetap bertegas untuk tidak akan
memperbaharui Perjanjian Bungaya, karena ada kemanakannya yang ingin
merebut kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone. Kemanakannya inilah yang
selalu menghadap kepada Kompeni Belanda agar maksudnya untuk menjadi
Arumpone dapat disetujui. Pada saat MatinroE ri Ajang Benteng meninggal
dunia, kemanakannya itu sudah merasa dirinya berhak untuk ditunjuk oleh
Hadat Tujuh Bone. Kemanakannya itu bernama Singkeru’ Rukka Arung
Palakka, anak We Baego Arung Macege dengan suaminya yang bernama
Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru, cucu dari MatinroE ri Laleng
Bata. Dengan demikian antara Bone dengan Gubernur Belanda kembali saling
menyatakan perang. Arumpone We Tenriawaru Besse Kajuara didukung oleh
pamannya yang bernama La Cibu To LebaE Ponggawa Bone untuk melawan
Belanda. Pada bulan Desember 1859 M. Gubernur Jenderal Belanda yang
bernama Van Switen bersama Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang yang
bernama Tuan Djensin menyerang Bone. Dibelakangnya terdapat La Tenri
Sukki Arung Palakka yang ikut menyerang. Arumpone Besse Kajuara
berkedudukan di Pasempe, sementara pasukan Belanda membumi hanguskan
Bone. Karena Arumpone merasa serangan Belanda semakin kuat dan agar
tidak terlalu banyak memakan korban, maka iapun menyatakan kalah. Besse
Kajuara meninggalkan Bone dan pergi ke Ajattappareng. Dalam perjalannya
ke Ajattappareng, Besse Kajuara dengan pengikutnya singgah di Polejiwa
dijemput oleh pamannya yang bernama La Cibu Addatuang Sawitto Ponggawa
Bone. La Cibu Addatuang Sawitto berpesan kepada kemanakannya Besse
Kajuara untuk memilih tempat diantara tiga wanuwa, yaitu; Suppa, Sawitto
atau Alitta. Setelah beristirahat beberapa hari, Besse Kajuara
meninggalkan Polejiwa dan melanjutkan perjalanan ke Alitta. Disitulah
seorang anak Besse Kajuara yang bernama We Cella atau We Bunga
Singkeru’ atau We Tenri Paddanreng disuruh untuk menetap. Selanjutnya
Besse Kajuara terus ke Suppa dan disitulah ia tinggal melihat dan
memperhatikan kepentingan orang Suppa, sampai akhirnya meninggal dunia.
Karena ia meninggal di Majennang Suppa, maka dinamakanlah MatinroE ri
Majennang Suppa. Adapun anak yang dilahirkan dari perkawinannya dengan
La Parenrengi MatinroE ri Ajang Benteng, adalah; pertama bernama
Sumange’ Rukka, meninggal ketika berperang saat mengungsikan ibunya ke
Ajattappareng. Kedua bernama We Sekati Arung Ugi, meninggal sebelum
menikah. Ketiga bernama We Bube, inilah yang menjadi Arung Suppa.
Selanjutnya Besse Kajuara kawin lagi dengan La Rumpang Datu Pattiro,
anak dari La Onro Datu Lompulle dengan isterinya We Cecu Arung Ganra.
Dari perkawinannya itu tidak mnelahirkan anak dan Datu Suppa meninggal
dunia, Anaknya yang lain bernama We Cella atau We Bunga Singkeru’ atau
We Tenri Paddanreng. Inilah yang kawin di Gowa dengan La Makkulawu
Karaeng Lembang Parang. Anak KaraengE ri Gowa yang bernama I
Mallingkaang Karaeng Katangka, dia juga bernama Pati Matareng Tu
Mammenanga ri Kalabbiranna dengan isterinya yang bernama We Pada Arung
Berru Karaeng Baine ri Gowa. Setelah I Malingkaang Karaeng Katangka
meninggal dunia, digantikanlah oleh Karaeng Lembang Parang menjadi
Karaeng ri Gowa dan Arung Alitta menjadi Karaeng Baine (permaisuri).
Dengan demikian Alitta dengan Gowa bersatu. Dari perkawinan Arung Alitta
dengan KaraengE ri Gowa lahirlah dua anak laki-laki, pertama bernama La
Panguriseng Bau Tode Arung Alitta. Kedua bernama La Mappanyukki Datu
Suppa. La Panguriseng kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We
Seno Karaeng Lakiung anak dari We Batari Arung Berru dengan suaminya
yang bernama La Mahmud Karaeng ri Baroanging. We Seno dengan La
Panguriseng melahirkan anak ; pertama bernama Saripa Karaeng Pasi,
kedua bernama We Cella Karaeng Lakiung. Kedua bersaudara itu tidak
pernah menikah. La Mappanyukki kawin dengan sepupu satu kalinya yang
bernama We Maddelu Petta Daeng Bau anak We Sugiratu Andi Baloto Karaeng
Tanete dengan suaminya La Parenrengi Karaeng Tinggi Mae Datu Suppa. Dari
perkawinannya itu tidak melahirkan anak, hingga We Maddelu meninggal
dunia. Kemudian La Mappanyukki kawin lagi di Gowa dengan anak Gellarang
Tombolo, lahirlah seorang anak laki-laki yang bernama La Pangerang.
Ketika We Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara meninggalkan Bone,
Pembesar Kompeni Belanda menggantinya dengan mengangkat anak sepupu satu
kalinya yang bernama Singkeru’ Rukka Arung Palakka.
29. SINGKERU’ RUKKA ARUNG PALAKKA (1860 – 1871)
Singkeru’ Rukka Arung Palakka adalah anak We
Baego Arung Macege dengan suaminya yang bernama Sumange’ Rukka To
Patarai Arung Berru. Cucu dari La Mappasessu To Appatunru Arumpone
MatinroE ri Laleng Bata. Sebelum diangkat menjadi Arumpone, Singkeru’
Rukka Arung Palakka pernah juga menjadi Arung Bulobulo. Dia diangkat
menjadi Mangkau’ di Bone hanya semata-mata keinginan Kompeni Belanda dan
bukan atas kesepakatan Hadat Tujuh Bone. Dia diserahkan akkarungeng di
Bone oleh Kompeni Belanda, karena dialah yang selalu menemani Kompeni
Belanda untuk menyerang MatinroE ri Majennang Suppa. Pada tanggal 13
Februari 1860 M. kontrak perjanjiannya dengan Kompeni Belanda selesai,
sebab memang Akkarungeng ri Bone hanyalah diberi untuk sementara, karena
Singkeru’ Rukka terlalu menginginkannya. Namun dalam khutbah Jumat
namanya tetap disebut sebagai Sultan Ahmad.Dalam tahun 1871 M. Singkeru’
Rukka meninggal dunia di Topaccing dan dinamakanlah MatinroE ri
Topaccing. Arumpone Singkeru’ Rukka kawin dengan sepupu datu kali ibunya
yang bernama Sitti Saira Arung Lompu saudara perempuan MatinroE ri
Ajang Benteng. Anak La Mappawewang Arung Lompu Anre Guru Anakarung ri
Bone dengan isterinya We Tabacina Karaeng Kanjenne. Dari perkawinannya
itu, lahirlah We Patima Banri Arung Timurung. Inilah yang kawin dengan
sepupu satu kalinya yang bernama I Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo.
Anak We Pada Arung Berru dengan KaraengE ri Gowa Tu Mammenanga ri
Kalabbiranna. We Patima Banri Arung Timurung dengan I Magguliga Andi
Bangkung melahirkan seorang anak perempuan bernama We Sutera Arung
Apala. Selanjutnya Singkeru’ Rukka Arung Palakka kawin lagi dengan I
Kalossong Karaeng Langelo. Dari perkawinannya itu lahirlah La Pawawoi
Karaeng Sigeri. Kemudian Singkeru’ Rukka kawin lagi dengan I Tatta atau I
Jora, lahirlah La Panagga, inilah yang menjadi Pangulu Jowa ri Bone.
Kemudian La Panagga kawin dengan Arung Patingai, lahirlah E Suka Arung
Data. E Suka Arung Data kawin dengan La Mallarangeng Daeng Mapata Arung
Melle. Anak dari La Makkarodda Anre Guru Anakarung Bone dengan isterinya
We Kusuma, anak Toancalo Petta CambangE Arung Amali To Marilaleng
Bone. Dari perkawinan itu lahirlah La Mandapi Arung Ponceng. La Mandapi
kawin dengan Daeng Tapuji anak dari La Baso Daeng Sitaba Arung Ponceng.
Dari perkawinan itu lahirlah La Patarai dan We Nona. Kemudian La Patarai
kawin dengan anak Arung Bettempola La Makkaraka dengan isterinya We
Laje Petta Ince yang bernama We Tappu. Dari perkawinan La Patarai dengan
We Tappu, lahirlah ; pertama bernama We Ratna, kedua La Takdir dan We
Megawati. We Nona kawin di Parepare dengan La Dewang anak dari We Rela
dengan suaminya yang bernama La Makkawaru. Kemudian La Pananrang Pangulu
JowaE kawin lagi dengan We Saripa, lahirlah seorang anak laki-laki yang
bernama La Maddussila Daeng Paraga Tomarilaleng Bone, juga sebagai
MakkedangE Tana ri Bone. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya
yang bernama Petta Tungke Besse Bandong anak dari La Pawawoi Karaeng
Sigeri dengan isterinya yang bernama Daeng Matenne. Dari perkawinannya
itu lahirlah Amirullah. Arumpone Singkeru’ Rukka menjadi Mangkau’ di
Bone dari tahun 1860 sampai tahun 1871. Kemudian digantikan oleh anaknya
yang bernama Fatimah Banri. Singkeru’ Rukka meninggal dunia di
Topaccing, sehingga dinamakan MatinroE ri Topaccing.
30. FATIMAH BANRI (WE BANRI GAU) (1871 – 1895)
We Fatimah Banri atau We Banri Gau Arung Timurung
menggantikan ayahnya Singkeru’ Rukka Arung Palakka menjadi Mangkau’ di
Bone. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultanah Fatimah dan
digelarlah We Fatimah Banri Datu Citta. Dalam tahun 1879 M. kawin dengan
sepupu satu kalinya yang bernama La Magguliga Andi Bangkung Karaeng
Popo, anak dari We Pada Daeng Malele Arung Berru dengan suaminya I
Malingkaang KaraengE ri Gowa. Dari perkawinannya itu lahirlah We Sutera
Arung Apala. Setelah Arumpone kawin dengan Karaeng Popo, Fatimah Banri
memberikan kepada suaminya Akkarungeng di Palakka. Setelah Arumpone We
Banri Gau meninggal dunia pada tahun 1895 M. berupayalah Karaeng Popo
untuk menggantikan isterinya sebagai Arumpone.Untuk itu ia mendekati
Hadat Tujuh Bone agar dirinya dapat diangkat menjadi Mangkau’ di Bone
menggantikan isterinya Fatimah Banri atau We Banri Gau MatinroE ri
Bolampare’na. Akan tetapi maksudnya itu dihalangi oleh iparnya yang
bernama La Pawawoi Karaeng Sigeri yang pada waktu itu menjadi
Tomarilaleng ri Bone. Alasannya adalah bahwa Karaeng Popo ketika
isterinya masih hidup telah banyak melakukan tindakan yang tidak
disenangi oleh orang Bone. Karaeng Popo bersama Jowana (pengawalnya)
sering melakukan tindakan keras yang membuat rakyat kecil menderita.
Dengan demikian Hadat Tujuh Bone dengan orang banyak sepakat untuk
mengangkat anak Fatinah Banri yang bernama We Besse Sutera Bau Bone
Arung Apala menjadi Mangkau’ di Bone. Pada waktu itu Besse Sutera Bau
Bone baru berusia 13 tahun. Akan tetapi kesepakatan Hadat Tujuh Bone
dengan segenap orang Bone belum disetujui oleh Pembesar Kompeni Belanda
di Ujungpandang yang bernama Tuan Braan Manrits. Alasannya ada
kekhawatiran Bone dengan Gowa akan bersatu melawan Kompeni Belanda.
Untuk itu, Pembesar Kompeni Belanda sendiri yang langsung masuk ke Bone.
Adapun kesepakatan Pembesar Kompeni Belanda Tuan Braan Manrits dengan
Hadat Tujuh Bone yang akan diangkat menjadi Mangkau’ ri Bone adalah
saudara MatinroE ri Bolampare’na sendiri yang bernama La Pawawoi Karaeng
Sigeri.
31. LA PAWAWOI KARAENG SIGERI (1895 – 1905)
La Pawawoi Karaeng Sigeri menggantikan saudaranya
MatinroE ri Bolampare’na menjadi Mangkau’ di Bone. Waktu itu La Pawawoi
Karaeng Sigeri sebenarnya sudah tua, tetapi karena memiliki hubungan
baik dengan Kompeni Belanda, sehingga dirinya yang ditunjuk untuk
menjadi Mangkau’ di Bone. Seperti pada tahun 1859 M. La Pawawoi Karaeng
Sigeri membantu Kompeni Belanda memerangi Turate dan ketika kembali dari
Turate, pada tahun 1865 M, maka diangkatlah sebagai Dulung Ajangale.
Karena itulah yang dijanjikan oleh Pembesar Kompeni Belanda kepadanya
ketika membantu memerangi Turate. Keberanian dan kecerdasan La Pawawoi
Karaeng Sigeri dalam berperang menjadi buah tutur sehingga namanya
menjadi populer. Ketika saudaranya We Banri Gau MatinroE ri Bolampare’na
menjadi Mangkau’ di Bone, La Pawawoi Karaeng Sigeri diangkat menjadi
Tomarilaleng di Bone. Setelah selesai memerangi Turate, karena La
Pawawoi dianggap berjasa dalam membantu Kompeni Belanda, maka dimintalah
untuk menjadi Karaeng di Sigeri. Ketika Karaeng Bontobonto melakukan
perlawanan terhadap Kompeni Belanda, La Pawawoi Karaeng Sigeri
dipanggil kembali oleh Kompeni Belanda untuk membantu meredakan
perlawanan Karaeng Bontobonto tersebut. Perlawanan Karaeng Bontobonto
yang dimulai pada tahun 1868 M. dan nanti pada tahun 1877 M. baru dapat
dipadamkan. Karena Pembesar Kompeni Belanda merasa berutang budi atas
bantuan yang diberikan oleh La Pawawoi Karaeng Sigeri, maka diberikanlah
penghargan berupa Bintang Emas besar dengan kalung yang dinamakan ; De
Grote Gouden ster voor traun en verdienste. Kesepakatan Hadat Tujuh
Bone dengan Kompeni Belanda dan Arumpone untuk mengusir Karaeng Popo
dari Bone. Setelah Karaeng Popo kembali ke Gowa, anaknya yang bernama We
Sutera Arung Apala meninggal dunia pada tahun 1903 M. Pada tanggal 16
Februari 1895 M. terjadi lagi kesepakatan antara Kompeni Belanda dengan
Bone untuk memperbaharui Perjanjian Bungaya. Dengan demikian, Kompeni
Belanda bertambah yakin bahwa persahabatannya dengan Bone sudah sangat
kuat. Akan tetapi setahun setelah terjadinya kontrak persahabatan itu,
Belanda melihat adanya tanda-tanda bahwa perjanjian yang pernah
disepakati bakal diingkari oleh Arumpone. Pada tanggal 16 Februari 1896
M. perjanjian itupun dilanggar dan mulailah berlaku keras terhadap
sesamanya Arung dan juga kepada orang banyak. Tindakan itu, seperti
diperanginya Sengkang dan Arung Peneki, La Oddang Datu Larompong,
dengan alasan bahwa Arung Peneki dan Datu Larompong menghalangi dagangan
garamnya untuk masuk ke Pallime. Bagi Arung Sengkang, mencampuri
perselisihan antara Luwu dengan Enrekang. Untuk itu Pembesar Kompeni
Belanda di Ujungpandang yang bernama Tuan Krussen memperingatkan,
tetapi La Pawawoi Karaeng Sigeri tidak mengindahkannya. Pada tahun 1904
M. Gubernur Kompeni Belanda meminta sessung (bea) pada Pelabuhan
Ujungpandang dan dihalangi oleh Arumpone. Disamping itu Kompeni Belanda
juga meminta untuk mendirikan loji di BajoE dan Pallime, kemudian
membayar kepada Arumpone sesuai dengan permintaannya. Semua itu ditolak
oleh Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri. Bahkan Arumpone memungut
sessung bagi orang Bone yang ada diluar Bone. Karena permintaan Kompeni
Belanda merasa tidak diindahkan oleh Arumpone, maka pada tahun 1905 M.
Bone diserang. Penyerangan dipimpin oleh Kolonel van Loenen dengan
persenjataan yang lengkap. Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri bersama
putranya Baso Pagilingi mundur ke arah Palakka dan selanjutnya ke
Pasempe. Sementara tentara Belanda memburu terus, hingga akhirnya
Arumpone dengan laskar serta sejumlah keluarganya mengungsi ke Lamuru,
Citta dan terus ke Pitumpanuwa Wajo. Adapun Panglima Perang Arumpone ,
ialah putra sendirinya yang bernama Abdul Hamid Baso Pagilingi dibantu
oleh Ali Arung Cenrana, La Massikireng Arung Macege, La Mappasere Dulung
Ajangale, La Nompo Arung Bengo, Sulewatang Sailong, La Page Arung
Labuaja. Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri bersama Baso Pagilingi yang
lebih dikenal dengan sebutan Petta PonggawaE serta sejumlah laskar
pemberaninya terakhir berkedudukan di Awo perbatasan Siwa dengan Tanah
Toraja. Bone diserang oleh tentara Belanda mulai tanggal 30 Juli 1905 M.
dan Arumpone mengungsi ke Pasempe. Tanggal 2 Agustus 1905 M. tentara
Belanda menyerbu ke Pasempe, akan tetapi Arumpone dengan laskar dan
keluarganya sudah meninggalkan Pasempe dan mengungsi ke Lamuru dan
selanjutnya ke Citta. Dalam bulan September 1905 M. Arumpone dengan
rombongannya tiba di Pitumpanuwa Wajo. Tentara Belanda tetap mengikuti
jejaknya dan nanti pada tanggal 18 November 1905 M. barulah bertemu
laskar pemberani Arumpone dengan tentara Belanda dibawah komando Kolonel
van Loenen. Pada saat itu, Baso Pagilingi Petta PonggawaE gugur terkena
peluru Belanda, maka Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri memilih untuk
menyerah. Pertimbangannya adalah kondisi laskar yang semakin menurun dan
gugurnya Panglima Perang Bone yang gagah perkasa. Arumpone ditangkap
dan dibawa ke Parepare, selanjutnya naik kapal ke Ujungpandang.
Selanjutnya dari Ujungpandang dibawa ke Bandung. Sepeninggal La Pawawoi
Karaeng Sigeri, pemerintahan di Bone hanya dilaksanakan oleh Hadat Bone.
Pada tanggal 2 Desember 1905 M. Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta
menentukan bahwa TellumpoccoE (Bone – Soppeng – Wajo) di Celebes Selatan
disatukan dalam satu pemerintahan yang dinamakan Afdeling Bone yang
pusat pemerintahannya berada di Pompanuwa. Di Pompanuwa inilah
berkedudukan Pembesar Afdeling yang disebut Asistent Resident. Afdeling
Bone dibagi menjadi lima bahagian, yaitu tiap-tiap bahagian disebut
Onder Afdeling dan dipegang oleh seorang yang disebut Tuan Petoro.
Petoro itu dibagi lagi menjadi ; Petoro Besar ialah Asistent Resident,
Petoro Menengah ialah Controleur dan Petoro Kecil ialah Aspirant
Controleur. Ketiga tingkatan itu semua dipegang oleh orang Belanda,
sedangkan tingkat dibawahnya bisa dipegang oleh orang pribumi kalau
memiliki pendidikan yang memadai. Tingkat yang bisa dipegang oleh orang
pribumi seperti Landshap atau Bestuur Assistent. Dibawanya disebut Kulp
Bestuur Assistent yang biasa dipendekkan menjadi K.B.A. Adapun
bahagian-bahagian Afdeling Bone, adalah ; 1. Onder Afdeling Bone Utara,
ibu kotanya di Pompanua. 2. Onder Afdeling Bone Tengah, ibu kotanya di
Watampone, diperintah oleh Petoro Tengah yang disebut Controleur. 3.
Onder Afdeling Bone Selatan, ibu kotanya di Mare diperintah oleh
Aspirant Controleur. 4. Onder Afdeling Wajo, ibu kotanya Sengkang
(sebelum Belanda di Tosora) diperintah oleh Controleur. 5. Onder
Afdeling Soppeng, ibu kotanya Watang Soppeng diperintah oleh Controleur.
Kembali kepada kedatangan Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri di
Pitumpanuwa, karena pada saat itu memang termasuk dibawah kekuasaan
Bone. Disebut Pitumpanuwa karena ada tujuh wanuwa yang berada dibawah
pengaruh Bone. Ketujuh wanuwa tersebut, adalah ; pertama Kera, kedua
Bulete, ketiga Leworeng, keempat Lauwa, kelima Awo, keenam Tanete,
ketujuh Paselloreng. Setelah Bone kalah yang dalam catatan sejarah
disebut Rumpa’na Bone, barulah diambil oleh Belanda dan diserahkan
kepada Wajo. Akan tetapi hanyalah berbentuk Lili Passeajingeng artinya
segala perintah tetap dikeluarkan oleh Kompeni Belanda. Begitu pula di
Bone, sejak ditawannya La Pawawoi Karaeng Sigeri segala perintah hanya
dilakukan oleh Hadat Bone dibawah kendali Kompeni Belanda. Di Wajo
tetap Arung Matowa Wajo yang menjadi penyambung lidah Kompeni Belanda,
sedang di Soppeng dilakukan oleh Datu Soppeng dan Bone dilakukan oleh
TomarilalengE. Yang pertama-tama dilakukan oleh Kompeni Belanda setelah
Arumpone diasingkan ke Bandung, adalah mengumpulkan semua sisa-sisa
persenjataan dari laskar Arumpone yang masih tersimpan. Dipungutlah
sebbu kati (persembahan) dari masyarakat sebesar tiga ringgit untuk satu
orang. Pungutan itu adalah pengganti kerugian Belanda selama berperang
melawan Arumpone. Setelah pungutan yang diberlakukan di wilayah
TellumpoccoE selesai, mulai Belanda membuat jalan raya. Seluruh
laki-laki yang mulai dewasa sampai kepada laki-laki yang berumur 60
tahun diwajibkan bekerja untuk membuat jalan raya tersebut. Bagi yang
tidak mampu untuk bekerja dapat membayar sebesar tiga ringgit. Ketika
Belanda merasa tenang dan tidak ada lagi persoalan yang berat dihadapi,
maka ibu kota Afdeling Bone dipindahkan dari Pompanuwa ke Watampone.
Assistent Resident Bone berkedudukan di Watampone. Adapun La Pawawoi
Karaeng Sigeri yang pada mulanya diasingkan di Bandung, akhirnya
dipindahkan ke Jakarta. Pada tanggal 11 November 1911 M. La Pawawoi
Karaeng Sigeri meninggal dunia di Jakarta, maka dinamakanlah MatinroE ri
Jakarta. Dalam tahun 1976 M. dianugrahi gelar sebagai Pahlawan
Nasional, dan kerangka jenazahnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan
Kalibata. Setelah La Pawawoi Karaeng Sigeri meninggal dunia, tidak
jelas siapa sebenarnya anak pattola (putra mahkota) yang bakal
menggantikannya sebagai Mangkau’ di Bone. Baso Pagilingi yang
dipersiapkan untuk menjadi putra mahkota, ternyata gugur dalam
pertempuran melawan Belanda di Awo. Pada saaat gugurnya Baso Pagilingi
Petta PonggawaE, La Pawawoi Karaeng Sigeri langsung menaikkan bendera
putih sebagai tanda menyerah. Rupanya La Pawawoi Karaeng Sigeri melihat
bahwa putranya yang bernama Baso Pagilingi itu adalah benteng pertahanan
dalam perlawanannya terhadap Belanda. Sehingga setelah melihat putranya
gugur, spontan ia berucap ; Rumpa’ni Bone, artinya benteng pertahanan
Bone telah bobol. Baso Pagilingi itulah yang dilahirkan dari
perkawinannya dengan isterinya yang bernama We Karibo cucu dari Arung
Mangempa di Berru. Karena hanya itulah isterinya yang dianggap sebagai
Arung Makkunrai (permaisuri) di Bone. Ketika La Pawawoi Karaeng Sigeri
menjadi Mangkau’ di Bone, diangkat pulalah putranya Baso Pagilingi Abdul
Hamid sebagai Ponggawa (Panglima Perang). Baso Pagilingi Abdul Hamid
kawin dengan We Cenra Arung Cinnong anak dari La Mausereng Arung Matuju
dengan isterinya We Biba Arung Lanca. Dari perkawinannya itu, lahirlah
La Pabbenteng Arung Macege. Selanjutnya La Pawawoi Karaeng Sigeri kawin
lagi dengan Daeng Tamene, yang juga cucu dari Arung Mangempa di Berru.
Dari perkawinannya itu lahirlah seorang anak perempuan yang bernama We
Tungke Besse Bandong, karena inilah isteri yang mengikutinya sewaktu
diasingkan ke Bandung. Kemudian We Tungke Besse Bandong kawin dengan La
Maddussila Daeng Paraga anak dari Pangulu JowaE ri Bone saudara MatinroE
ri Jakarta dengan isterinya yang bernama We Saripa. Ketika La
Pabbenteng diangkat menjadi Arumpone, suami Besse Bandong yang bernama
Daeng Paraga diangkat pula menjadi MakkedangE Tana. Karena MakkedangE
Tana meninggal dunia, maka Besse Bandong kawin lagi dengan sepupu dua
kalinya yang bernama La Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang SombaE ri
Gowa, anak dari I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo dengan
isterinya Karaeng Tanatana. Adapun anak La Pawawoi Karaeng Sigeri dengan
isterinya yang bernama We Patimah dari Jawa Sunda, ialah La Mappagau.
Inilah yang melahirkan La Makkulawu Sulewatang Pallime. Anak selanjutnya
bernama Arung Jaling, inilah yang kawin dengan Ali Arung Cenrana anak
dari La Tepu Arung Kung dengan isterinya We Butta Arung Kalibbong. Dari
perkawinannya itu lahirlah ; pertama bernama We Manuare , kedua bernama
Arase, ketiga bernama La Sitambolo. Ketika La Pawawoi Karaeng Sigeri
diasingkan ke Bandung, pemerintahan di Bone hanya dilaksanakan oleh
Hadat Tujuh Bone. Hadat Tujuh Bonelah yang melakukan pembaharuan
Perjanjian Bungaya dengan Kompeni Belanda. Dengan demikian selama 26
tahun tidak ada Mangkau’ di Bone. Setelah Kompeni Belanda merasa tenang,
baru mengangkat salah seorang putra mahkota untuk menjadi Mangkau di
Bone.
32. LA MAPPANYUKKI DATU LOLO RI SUPPA (1931 – 1946)
La Mappanyukki Datu Lolo ri Suppa yang juga
dikernal dengan nama Datu Silaja. Pada masa Perang Gowa tahun 1906 M,
ketika I Makkulawu Karaeng Lembang Parang KaraengE ri Gowa
berperang dengan Kompeni Belanda. Setahun setelah tertangkapnya La
Pawawoi dan diasingkan ke Bandung, Kompeni Belanda mengalihkan perangnya
dari Bone ke Gowa. Padahal antara La Pawawoi Karaeng Sigeri dengan
SombaE ri Gowa adalah bersepupu satu kali. Ketika itu La Mappanyukki
menjadi Datu Lolo ri Suppa, dia bersaudara dengan La Panguriseng Datu
Alitta. Karena ayahnya adalah Karaeng ri Gowa, sehingga Suppa dengan
Alitta melibatkan diri pada Perang Gowa untuk membantu ayahnya. Adapun
sebabnya Gowa diperangi oleh Kompeni Belanda, karena Belanda menyangka
kalau Dulung Awang Tangka Arung Labuaja salah seorang Panglima Perang
Bone pada masa pemerintahan La Pawawoi Karaeng Sigeri bersembunyi di
Gowa. Selain itu Belanda berkeyakinan apabila kedua Bocco (Bone dan
Gowa) telah ditaklukkan, maka daerah-daerah lain di Celebes Selatan akan
mudah ditaklukkan. Makanya ketika pusat pemerintahan Gowa berhasil
diduduki, SombaE ri Gowa mengungsi ke Ajattappareng bersama pengikutnya.
Dia menetap di Suppa dan Alitta karena tempat itu merupakan akkarungeng
kedua anaknya yaitu La Panguriseng di Alitta dan La Mappanyukki di
Suppa. Perang Gowa berakhir dengan gugurnya KaraengE ri Gowa dan
putranya yang bernama La Panguriseng Datu Alitta. Oleh karena itu
KaraengE ri Gowa dinamakan Tu Mammenanga ri Bundu’na. Sementara La
Mappanyukki ditawan oleh tentara Belanda dan diasingkan ke Selayar.
Itulah sebabnya La Mappanyukki dinamakan pula sebagai Datu Silaja. La
Mappanyukki diangkat menjadi Mangkau’ di Bone menggantikan pamannya
yaitu sepupu satu kali ayahnya, karena jelas bahwa dia adalah cucu dari
MappajungE. Dia sengngempali dari turunan La Tenri Tappu MatinroE ri
Rompegading. Dengan demikian Hadat Tujuh Bone dianggap tidak salah pilih
dalam menentukan pengganti La Pawawoi Karaeng Sigeri sebagai Mangkau’
di Bone. Ibu dari La Mappanyukki bernama We Cella atau We Bunga
Singkeru’ atau We Tenri Paddanreng Arung Alitta anak La Parenrengi
MatinroE ri Ajang Benteng dengan isterinya We Tenriawaru Pancai’tana
Besse Kajuara. Sedangkan ayahnya bernama I Makkulawu Karaeng Lembang
Parang Somba di Gowa Tu Mammenanga ri Bundu’na, anak dari We Pada Arung
Berru, anak We Baego Arung Macege dengan suaminya Sumange’ Rukka To
Patarai Arung Berru. We Baego adalah anak dari La Mappasessu To
Appatunru Arumpone MatinroE ri Laleng Bata. Pada hari Kemis tanggal 12
April 1931 M. Dan 13 Syawal 1349 H. La Mappanukki dilantik menjadi
Mangkau’ di Bone dan dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultan
Ibrahim. Pada waktu itu Pembesar Kompeni Belanda di Celebes Selatan
bernama Tuan L.J.J. Karon serta Raja Belanda di Nederland pada waktu
itu bernama A.C.A de Graff. Setelah dilantik menjadi Mangkau’ di Bone La
Mappanyukki meminta kepada Pembesar Kompeni Belanda untuk diberikan
kembali rumah (salassa) milik La Pawawoi Karaeng Sigeri yang diambil
oleh Belanda pada saat diasingkannya La Pawawoi ke Bandung. Permintaan
tersebut dipenuhi oleh Pembesar Kompeni Belanda. Rumah itulah yang
ditempati Arumpone La Mappanyukki bersama seluruh anggota Hadat Tujuh
Bone sebagai tempat untuk melaksanakan pemerintahannya. Pada masa
pemerintahan La Mappanyukki, La Pabbenteng Arung Macege anak dari Baso
Pagilingi Abdul Hamid dengan isterinya We Cenra Arung Cinnong, membunuh
sepupu satu kalinya yang bernama Daeng Patobo saudara dari La Sambaloge
Daeng Manabba Sulewatang Palakka. Oleh karena itu dia dikeluarkan dan
diberhentikan sebagai Arung Macege. Kemudian Arumpone La Mappanyukki
memanggil anaknya yang bernama La Pangerang yang pada waktu itu menjadi
Bestuur Assistent atau Lanshap di Gowa untuk menggantikan La Pabbenteng
sebagai Arung Macege. Anaknya yang bernama La Pangerang itulah yang
sering menggantikan ayahnya kalau bepergian jauh atau pada saat ayahnya
tidak berkesempatan. Pada masa pemerintahan La Mappanyukki di Bone,
Perang Dunia II pecah dan melibatkan seluruh negara-negara besar di
Eropa. Negeri Belanda diserbu oleh Jerman, Ratu Belanda Wilhelmina
melarikan diri bersama seluruh keluarganya ke Inggeris untuk minta
perlindungan. La Mappanyukki yang dikenal patuh dalam melaksanakan
syariat Islam, sehingga pada tahun 1941 M. ia mendirikan Mesjid Raya
Watampone. La Mappanyukki mengundang Pembesar Kompeni Belanda yang
bernama Tuan Resident Boslaar untuk meresmikan pemakaian mesjid
tersebut. Pada tanggal 8 Desember 1941 M. dampak Perang Dunia II juga
terjadi di Celebes Selatan dengan datangnya Bangsa Jepang bersekutu
dengan Jerman dan Italia untuk melawan Belanda dan Amerika. Pada tahun
1942 M. Belanda bertekuk lutut kepada Jepang dan Gubernur Jenderal
Belanda di Jakarta menyerah. Pada masa pemerintahan Jepang, nama
Mangkau diganti dengan Bahasa Jepang menjadi Sutyoo dan Hadat menjadi
Sutyoo Dairi. Sedangkan Arung Lili disebut Guntyoo dan Kepala Kampung
disebut Sontyoo. Kedudukan Controleur Petoro Belanda diganti dengan
Bunken Kanrikan, sedangkan kedudukan Assistent Resident diganti dengan
Ken Kanrikan. Jepang memerintah selama tiga setengah tahun yang membuat
penderitaan dan kesengsaran bagi penduduk negeri. Hampir seluruh
penduduk mengalami kekurangan makanan dan pakaian. Terjadilah kelaparan
dimana-mana, perampokan juga tidak bisa ditanggulangi. Karena Jepang
merasa semakin terdesak dan tidak mampu lagi untuk memperkuat
perlengkapan perangnya, Jepang membujuk penduduk pribumi untuk ikut
memperkuat tentaranya dengan membentuk Heiho yang dikenal di Jawa
sebagai Pembela Tanah Air (PETA). Dalam tahun 1944 M. Jepang menjanjikan
kemerdekan kepada Bangsa Indonesia. Datanglah Ir. Soekarno dari Jawa ke
Celebes Selatan ( Ujungpandang) untuk menjelaskan kepada penduduk
tentang maksud dan tujuan kemerdekaan itu. Setelah Ir. Soekarno kembali
ke Jawa, Jepang juga mulai menarik diri dari kegiatan pemerintahan.
Diangkatlah La Pangerang Arung Macege untuk menempati kedudukan Jepang
yang disebut Ken Kanrikan. Pada awal Kemerdekan Indonesia banyak orang
yang ragu dan sulit untuk menentukan pendirian, dengan alasan sangat
berbahaya dari tekanan Tentara Australia yangt bernama NICA ( Nederloand
Indiche Cipil Administration). Namun bagi Arumpone La Mappanyukki
dengan tegas menyatakan tetap berdiri dibelakang Republik Indonesia yang
di peroklamirkan oleh Soekarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945
M. Adapun anaknya yang bernama La Pangerang yang pernah menjadi Arung
Macege, pada masa pemerintahan Jepang diangkat sebagai Ken Kanrikan sama
dengan Petoro Besar atau Assistent Residen di zaman Belanda. Pada awal
kemerdekaan Republik Indonesia, ditunjuk bersama DR Ratulangi pergi ke
Jakarta sebagai utusan Indonesia bahagian timur dalam mempersiapkan
Kemerdekaan Indonesia. Tetapi setelah kembali dari Jawa, ia ditangkap
oleh tentara NICA dan diasingkan ke Tanah Toraja bersama ayahnya La
Mappanyukki. Setelah proklamasi kemerdekan 17 Agustus 1945
dikumandangkan oleh Soekarno dan Hatta,La Pangerang dikembalikan ke Bone
untuk menjadi Bupati Kepala Daerah Kabupaten Bone lama yang meliputi
TellumpoccoE, kemudian diangkat menjadi Residen bersama Karaeng
Pangkajenne yang bernama Burhanuddin, ketika Lanto Daeng Pasewang
menjadi Gubernur Sulawesi. Setelah masa jabatan Lanto Daeng Pasewang
berakhir, maka Pangerang yang nama lengkapnya Pangerang Daeng Rani
menggantikannya menjadi Gubernur Sulawesi. La Pangerang Daeng Rani kawin
dengan sepupu satu kalinya yang bernama Petta Lebba, anak La
Panguriseng saudara La Mappanyukki dengan isterinya I Puji. Dari
perkawinannya itu, lahirlah ; pertama bernama Abdullah Petta Nyonri,
kedua bernama We Cina atau Mariayama, ketiga bernama We Ralle, keempat
bernama We Tongeng. Kelima bernama I Kennang. Kemudian La Pangerang
Daeng Rani kawin lagi dengan I Suruga Daeng Karaeng, anak Karaeng Parigi
Sedangkan anak La Mappanyukki yang bernama Abdullah Bau Massepe, inilah
yang menjadi Datu Suppa. Akan tetapi dimasa perang kemerdekan, dia
dibunuh oleh serdadu Belanda yang bernama Westerling dalam peristiwa
Korban 40.000 jiwa di Sulawesi Selatan. Abdullah Bau Massepe kawin
dengan We Soji Petta Kanjenne. Anak La Mappanyukki dengan isterinya
yang bernama Besse Bulo adalah I Rakiyah Bau Baco Karaeng Balla Tinggi.
Inilah yang menjadi Addatuang Sawitto. Kawin dengan La Makkulawu anak
dari We Mappasessu Datu WaliE, dengan suaminya yang bernama La
Mappabeta. Selanjutnya anak La Mappanyukki dari isterinya yang bernama
We Mannenne Karaeng Balangsari, adalah ; We Tenri Paddanreng. Inilah
yang kawin di Luwu dengan La Jemma atau La Patiware Pajung ri Luwu.
Ketika La Pangerang Daeng Rani menjadi Gubernur Sulawesi, pemerintah
pusat membagi Sulawesi menjadi dua Provinsi, yaitu Provinsi Sulawesi
Selatan dan Provinsi Sulawesi Utara. Kemudian kewedanan juga dirubah
menjadi kabupaten. Oleh karena itu Kabupaten Bone lama dipecah menjadi
tiga kabupaten, yaitu ; 1. Kabupaten Bone dengan ibu kotanya Watampone.
2. Kabupaten Wajo dengan ibu kotanya Sengkang. 3. Kabupaten Soppeng
dengan ibu kotanya Watassoppeng. Hal yang demikian, merupakan realisasi
dari UU No.4 Tahun 1957 sebagai pembubaran Daerah Bone lama meliputi
Daerah Bone baru, ialah Zelfbestuur atau Swapraja Bone, ialah Kabupaten
Bone baru dengan ibu kotanya Watampone. Pada waktu itu, La Mappanyukki
dikembalikan ke Bone untuk menjadi Bupati Kepala Daerah Kabupaten Bone.
Setelah sampai masa jabatan dan pensiun, maka kembalilah La Mappanyukki
ke Jongaya. Pada tanggal 18 Februari 1967 M. ia meninggal dunia dan
dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Panaikang.
33. LA PABBENTENG PETTA LAWA (1946 – 1951)
La Pabbenteng Petta Lawa Arung Macege menjadi
Mangkau’ di Bone yang diangkat oleh NICA (Nederland Indiche Civil
Administration), suatu organisasi baru yang dibentuk oleh Belanda dan
sekutunya yang bertujuan untuk berkuasa kembali di Indonesia. Padahal
Bangsa Indonesia telah memperoklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17
Agustus 1945 oleh Dwi Tunggal Sukarno- Hatta. La Pabbenteng adalah anak
dari Baso Pagilingi Abdul Hamid Ponggawa Bone yang gugur dalam
pertempuran melawan Belanda di Bulu Awo perbatasan Siwa dengan Tanah
Toraja dengan isterinya We Cenra Arung Cinnong. Sedangkan Baso Pagilingi
Ponggawa Bone adalah anak dari La Pawawoi Karaeng Sigeri MatinroE ri
Jakarta, Arumpone ke 31. Setelah La Mappanyukki berhenti menjadi
Mangkau’ di Bone, maka tidak ada lagi putra mahkota yang dapat
menggantikannya kecuali La Pabbenteng Petta Lawa Arung Macege. Oleh
karena itu, NICA mengangkatnya menjadi Arumpone atas persetujuan anggota
Hadat Tujuh Bone menggantikan La Mappanyukki Datu Malolo ri Suppa.
Sebelum diangkat menjadi Mangkau di Bone, La Pabbenteng memang selalu
dekat dengan NICA dan selalu bersama-sama apabila NICA bepergian. Oleh
karena itu dia diberi pangkat kemiliteran yaitu Kapten Tituler. Setelah
diangkat menjadi Mangkau’ di Bone, pangkatnya dinaikkan menjadi Kolonel
Tituler. Pada waktu La Mappanyukki akan diangkat menjadi Mangkau’ di
Bone, salah seorang anggota Hadat Tujuh Bone yang menolaknya adalah La
Pabbenteng Arung Macege. Karena menurutnya dia lebih berhak untuk
menduduki akkarungengE ri Bone sebab dialah yang paling dekat dengan La
Pawawoi Karaeng Sigeri MatinroE ri Jakarta. Akan tetapi sebelum Perang
Dunia II La Pabbenteng memperbuat kesalahan di Bone yaitu membunuh
sepupunya yang bernama Daeng Patobo. Oleh karena itu, Gubernur Belanda
bersama Hadat Tujuh Bone memutuskan untuk mengasingkan La Pabbenteng.
Setelah datang Jepang, barulah La Pabbenteng kembali dari
pengasingannya. Ketika ia diasingkan, kedudukannya sebagai Arung Macege
digantikan oleh La Pangerang Daeng Rani anak La Mappanyukki Datu Malolo
ri Suppa Arumpone ke 32. Kedudukan itu berakhir setelah diasingkan oleh
NICA ke Tanah Toraja bersama ayahnya La Mappanyukki karena pernyatannya
yang tetap berdiri dibelakang Republik Indonesia yang diproklamirkan
oleh Sukarno Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada saat La Pabbenteng
menjadi Arumpone ia melengkapi perangkat pemerintahannya dengan
mengangkat To Marilaleng La Maddussila Daeng Paraga menjadi MakkedangE
Tanah. Selanjutnya La Sulo Lipu Sulewatang Lamuru diangkat menjadi To
Marilaleng menggantikan La Maddussila Daeng Paraga. La Pabbenteng kawin
di Sidenreng dengan We Dala Uleng Petta Baranti, anak dari We Bunga
dengan suaminya yang bernama La Pajung Tellu Latte Sidenreng. Cucu
langsung Addatuang Sidenreng dari ibunya dan cucu langsung Arung Rappeng
Addatuang Sawitto dari ayahnya. Arumpone La Pabbenteng kemudian
diperintahkan oleh NICA untuk mempersatukan arung-arung (raja-raja) di
Celebes Selatan untuk membentuk organisasi yang bernama Hadat Tinggi.
Organisasi ini diketuai sendiri oleh Arumpone La Pabbenteng dan wakilnya
adalah La Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang. Hadat Tinggi itulah
yang ditempati oleh Gubernur NICA untuk melaksanakan pemerintahannya di
Celebes Selatan. Pada masa pemerintahan La Pabbenteng di Bone, NICA
mengadakan Komperensi Malino yang diprakarsai oleh Lt.G.Dj.Dr.H.J.van
Mook, sekaligus sebagai pimpinan. Komperensi itu dihadiri oleh
wakil-wakil dari Celebes, Sunda Kecil dan Maluku yang bertujuan
membentuk suatu negara dalam negara Republik Indonesia yaitu Negara
Indonesia Timur (NIT). Pada tanggal 12 November 1948, Gubernur NICA di
Ujungpandang menyerahkan kepada Arumpone La Pabbenteng untuk menjadi
Ketua Hadat Tinggi dan memasukkan sebagai satu bahagian dari Negara
Indonesia Timur. Namun bentukan NICA itu tidak berumur panjang, sebab
pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda menyerahkan kedaulatan Republik
Indonesia kepada Bangsa Indonesia. Selanjutnya terbentuklah Republik
Indonesia Serikat dan bubar pulalah Hadat Tinggi bentukan NICA. Dalam
tahun 1950 La Pabbenteng mengundurkan diri sebagai Arumpone, dia
berangkat ke Jawa bersama isterinya. Begitu pula anggota Hadat Bone,
semua meninggalkan kedudukannya sebagai anggota Hadat Bone.