Kalau di Jawa dikenal Wali Songo (Wali
Sembilan) maka di Sulawesi Selatan dikenal "Wali Pitue" (Wali Tujuh).
Perkataan wali sendiri berasal dari bahasa Arab. Wala atau waliya yang
berarti qaraba yaitu dekat, yang berperan melanjutkan misi kenabian
(Nasution, 1992; Saksono, 1995. Dalam Al-Qur’an istilah ini dipakai
dengan pengertian kerabat, teman atau pelindung. Al-Qur’an menjelaskan:
“Allah pelindung (waliyu) orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan
mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang
kafir, pelidung-pelindung (auliya) mereka ialah syetan, yang
mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu
adalah penghuni neraka; mereka kekal didalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 257)
Berikut sekelumit riwayat Wali PituE dari Sulawesi Selatan
- Syeck Yusuf (Toanta Salamaka),
- Petta Lasinrang (Petta Lolo),
- Arung Palakka (Petta to malampe gemmena),
- KH. Harun,
- Pettabarang,
- Imam Lapeo,
- Dt. Sangkala
Syech Yusuf
(toanta Salamaka) Seorang Penyebar agama Islam dari tanah Mekkah sampai
Banten, Petta Lasinrang Seorang Raja dari Tanah Pinrang yang arif nan
bijak sana dan gencar menyebarkan agama islam. yang terpenting Beliau
Pemberani, Arung Palakka Seorang Raja Bone yang bisa membebaskan
Masyarakat Bone dari penindasan oleh kerajaan Gowa dan beliau di Juluki
Sang Pembebas, KH. Harun beliau berasal dari Kerajaan Tallo, Petta
Barang atau petta To risappae konon beliau mallajang diatas kudanya dan
penunggu kudanya hingga sekarang masih ada. beliau adalah keturunan raja
Barru yang kuat akan agama, Imam Lapeo : seorang imam di desa lapeo
yang sederhana dan menyebarkan agama islam sampai ketanah bugis. sering
memperlihatkan mukzisat dari sang Kuasa, dan Dt. Sangkala.
Merekalah
ke tujuh wali yang diyakini oleh Masyarakat sulwesi selatan. Selain itu
terdapat beberapa wali lagi yang di yakini oleh masyarakat Indonesia
yakni Wali songo, dan Wali Pitu yang berada di Bali. yakni Mas Sepuh
Raden Raden Amangkuningrat di Kabupaten Badung, Chabib Umar Bin Maulana
Yusuf Al Magribi di Tabanan, Chabib Ali Bin abu Bakar Bin Umar Bin Abu
Bakar Al Khamid di Klungkung, Chabib Ali Zaebal Abidin Al Idrus di
Karangasem, Syech Maulana Yusuf Al Baghdi Al Magribi di Karangasem, The
Kwan Lie di Buleleng, dan Chabib Ali Bin Umar Bin Abu Bakar Bafaqih di
Jembrana.
Syeikh Yusuf
Makasar pembela dan penjunjung kebenaran - Syahdan, di Negeri Tallo,
pada 13 Juli 1626 M atau bertepatan 8 Syawal 1036 H, muncul dari langit
cahaya terang benderang menyinari negeri itu hingga Negeri Gowa. Maka,
gemparlah masyarakat Gowa melihat cahaya itu. Mereka pun berangkat ke
Tallo menceritakan serta mencari tahu fenomena luar biasa yang terlihat
di Gowa. Namun orang Tallo tak tahu apa-apa. Yang mereka tahu, di
negerinya telah lahir seorang anak bernama Yusuf. Kisah yang tertoreh
dalam lontara Riwayakna Tuanta Salamaka ri Gowa (RTSG) itu menggambarkan
kelahiran seorang ulama besar yang juga termasyhur sebagai sufi dan
pejuang bernama Asy-Syaikh al-haj Yusuf Abu al-Mahasin Hidayatullah Taj
Al-Khalwati al-Makasari atau Syekh Yusuf. Syekh Yusuf, menurut Abu Hamid
dalam bukunya Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang lahir dalam
masyarakat yang kompleks dan penuh dinamika. Saat itu, peperangan tengah
berkecamuk di antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan dan terjadi
persaingan melawan kompeni Belanda yang tengah sibuk berebut jalur
perdagangan. Suasana keagamaan juga berada dalam masa transisi, sehingga
kepercayaan lama dan Islam masih bercampur-baur.
Asal-usul
ulama besar itu memang tak dapat dipastikan kebenarannya, karena
bersumber dari cerita dan legenda. Menurut lontarak RTSG versi Gowa, ibu
Syekh Yusuf bernama Aminah puteri Gallarang Moncongloe dan ayahnya
seorang tua yang tak diketahui asal kedatangannya. Orang tua itu dikenal
sebagai orang suci yang konon mempunyai banyak keramat. Buya Hamka
dalam bukunya Sejarah Umat Islam Jilid IV meyebutkan ayah Syekh Yusuf
bernama Abdullah.
Setelah
40 hari kelahiran Yusuf, Aminah dipersunting Raja Gowa setelah
diceraikan suaminya. Yusuf dan sang ibu pun berpindah ke istana. Nabilah
Lubis dalam bukunya Syekh Yusuf Al-Taj Al-Makari:Menyingkap Intisari
Segala Rahasia menyebutkan, `'Yusuf bukanlah seorang bangsawan. Dia
diangkat oleh Sultan Alaudin dan dibesarkan di istana Sultan, namun tak
pernah mendapat gelar kebangsawanan.''
Yusuf
kecil dibesarkan dalam kehidupan Islami. Selepas mengkhatamkan Alquran
dari gurunya Daeng ri Tasammang, ia menimba ilmu sharaf, nahwu, mantik
dan beragam kitab dari Syed Ba' Alwy bin Abdullah al-Allamah Thahir di
Bontoala. Dalam waktu singkat, Yusuf belia sudah menguasai dan tamat
mempelajari kitab-kitab fikih dan tauhid.
Sejak
kecil, ilmu tasawuf begitu membetot perhatiannya. Sebagain besar
perhatiannya tercurah pada ilmu yang kelak mengantarnya sebagai seorang
guru besar. Dianggap telah cakap, pada usia 15 tahun Yusuf disarankan
untuk menimba ilmu di negeri lain. Yusuf muda pun berguru pada Syekh
Jalaludin al-Aidit pun di Cikoang, selatan Sulawesi Selatan.
Rasa
ingin tahunya yang begitu besar tentang ilmu-ilmu keislaman
mengantrakannya ke luar negeri. Tepat pada 22 September 1644, saat
Kerajaan Gowa dipimpin Sultan Malikussaid, di usia 18 tahun, ia
meninggalkan tanah kelahirannya menuju Makkah menumpang kapal Melayu
dari Somba Opu.
Delapan
hari mengarungi lautan, Yusuf kemudian singgah di Banten. Di tanah para
jawara itu, Yusuf muda yang supel berkenalan dengan ulama, ahli agama
dan pejabat. Yusuf bersahabat dengan Pengeran Surya, putera mahkota
Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir. Kelak, Pangeran Surya menjadi,
Sultan Ageng Tirtayasa.
Ia
begitu tertarik dengan Syekh Nuruddin ar-Raniri, seorang ulama kondang
yang bermukim di Aceh. Syekh Yusuf menemui Syekh Nuruddin dan berguru
sampai mendapat ijazah tarekat Qadiriyah. `'Tarket Qadiriyah saya terima
dari Syekh kami yang alim, arif sempurnadan menyatukan antara ilmu
Syariat dengan ilmu Hakikat, penghulu kami Syekh Nuruddin Hasanji bin
Muhammad Hamid Al-Quraisyi ar-Raniri,'' ungkapnya dalam risalah Safinat
an-Naja.
Lima tahun sudah
Yusuf berkelana di Banten dan Aceh. Timur Tengah, kini menjadi tujuan
berikutnya. Bertolak dari Pelabuhan Banten, Syekh Yusuf akhirnya sampai
ke Timur Tengah. Yaman adalah negeri pertama yang dikunjunginya. Ia
berguru pada Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh
al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandi sampai mendapat ijazah
tarket Naqsyabandi.
Di
negeri itu pula, Syekh Yusuf mendapat ijazah tarekat al-Baalawiyah dari
Syekh Maulana Sayed Ali. Setelah menunaikan ibadah haji di Makkah, ia
kemudian menemui Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin al-Kurdi al-Kaurani
di Madinah hingga mendapatkan ijazah tarekat Syattariyah. Empat ijazah
yang telah digengamnya masih belum dirasa cukup. ia pun mengunjungi
Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi.
Ijazah tarekat Khawatiyah pun kembali digenggamnya dan mendapat gelar
Tajul Khalwati Hadiyatullah.
Di
usia 38 tahun, Syekh Yusuf akhirnya kembali ke Gowa dan telah menjadi
seorang guru yang besar. Menurut sumber lontara, sesampainya di kampung
halaman Syekh Yusuf begitu kecewa, Gowa telah berubah. Nabilah Lubis
dalam bukunya mengutip sumber sejarah yang bersifat separuh dongeng
menuturkan pada masa itu syariat Islam seolah-olah telah dikesampingkan,
maksiat dan kemungkaran merajalela.
Setelah
tak berhasil meyakinkan Sultan untuk melaksanakan kembali Syariat
Islam, Syekh Yusuf meninggalkan Gowa menuju Banten. Pada 1664, Banten
pun telah berubah. Sahabatnya, telah menjadi Sultan bergelar Ageng
Tirtayasa. Ia kini didaulat sebagai ulama tasawuf dan syekh tarekat.
Dalam sekejap, namanya sudah termasyhur, karena keluhuran ilmunya.
Sebagai
sufi, Syekh Yusuf juga dikenal memiliki kepribadian yang menarik. Ia
dipercaya mendidik anak-anak Sultan di bidang agama Islam dan membuka
pengajian bagi penduduk. Sejumlah karya mengenai ajaran tasawuf
ditulisnya di Banten.
Banten
pun berubah ketika Pangeran Gusti - putera mahkota Banten yang kemudian
mendaulat menjadi Sultan Haji -- tiba dari Makkah. Kompeni Belanda
mulai menghasut Pangeran Gusti untuk memberontak pada sang ayah. Maret
1682, pertempuran antara kompeni Belanda yang mendukung Sultan Haji dan
Sultan Ageng pun meletus. Syekh Yusuf dan Sultan Ageng serta Pangeran
Purabaya bahu membahu melawan kompeni.
Setahun
kemudian, Sultan Ageng ditangkap kompeni setelah ditipu anaknya.
Perjuangan belum habis. Syekh Yusuf memimpin 5.000 pasukan termasuk
1.000 orang dari Makassar bersama Pangeran Purabaya mengobarkan perang
gerilya. Pasukan yang dipimpinnya bergerilya hingga ke Karang dekat
Tasikmalaya. Pada 1683, Syekh Yusuf ditangkap Belanda di Sukapura.
Awalnya,
ia ditahan di Cirebon dan Batavia (Jakarta). Pengaruhnya yang begitu
besar dianggap membahayakan kompeni Belanda. Ia dan keluarga kemudian
diasingkan ke Srilanka, bulan September 1684. Di tempat baru itu, Syekh
Yusuf memulai perjuangan baru, menyebarkan agama Islam.
Di
Srilanka, ia bertemu dengan para ulama dari berbagai negara Islam.
Salah satunya adalah Syekh Ibrahim Ibn Mi'an, ulama besar dari India. Ia
pula yang meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang
tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf.
Syekh
Yusuf pun leluasa bertemu dengan sanak keluarga dan muridnya di negeri
Srilanka. Kabar dari dan untuk keluarganya, ia terima dan sampaikan
melalui jamaah haji singgah di Srilanka. Lewat jalur itu, ajarannya
sampai kepada muridnya. Belanda kembali kebakaran jenggot dan menganggap
Syekh Yusuf masih mejadi ancaman. Pengaruhnya masih begitu besar, meski
berada jauh dari tanah kelahiran.
Guna
menjauhkan pengaruh Syekh Yusuf di Tanah Airnya, Belanda membuangnya ke
Afrika Selatan. Bulan Juli 1693 adalah kali pertama bagi Syekh Yusuf
dan 49 pengikutnya menginjakkan kaki di Afrika selatan. Mereka sampai di
Tanjung Harapan dengan kapal De Voetboog dan ditempatkan di daerah
Zandvliet yang kemudian dikenal dengan Madagaskar.
Ulama Besar dengan Enam Makam
Berada
di tanah buangan tak meyurutkan semangat Syekh Yusuf untuk berdakwah.
Terlebih, waktu itu Islam di Afrika Selatan (Afsel) tengah berkembang.
Adalah Imam Abdullah ibn Kadi Abdus Salaam atau lebih dikenal dengan
julukan Tuan Guru yang lahir di Tidore pelopor penyebaran Islam di
negara itu.
Dalam waktu
singkat, Syekh Yusuf pun telah mengumpulkan banyak pengikut. Awalnya, ia
memantapkan pengajaran agama bagi pengikutnya. Kemudian, syiar Islam
diserukannya kepada orang-orang buangan yang diasingkan ke Kaap. Mereka
kemudian bersatu membentuk komunitas Muslim. Hingga kini, di Cape Town
terdapat 600 ribu warga yang memeluk agama Islam.
Meski
Syekh Yusuf telah wafat pada 23 Mei 1699 di usianya yang ke-73 tahun,
pengaruh Syekh Yusuf di Afsel hingga kini masih sangat besar. Mantan
Presiden Afsel, Nelson Mandela menyebut Syekh Yusuf sebagai 'salah
seorang putera Afrika terbaik'. Bahkan, Presiden Afsel, Thabo Mbeki
berencana menganugerahkan gelar pahlawan nasional bagi Syekh Yusuf.
Pemerintah Indonesia telah menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional pada
1995.
Guna mengenang Sang
Guru, bangunan bekas tempat tinggalnya di Afsel dijadikan bangunan
peringatan yang diberi nama 'Karamat Syaikh Yusuf'. Meski Syekh Yusuf
tak dimakamkan di Afsel, hingga kini bangunan peringatan itu masih tetap
dikunjungi warga Afsel yang mengagumi dan menghormati Tuan Guru.
Jenazah
Syekh Yusuf dimakamkan dibawa ke Gowa oleh Belanda setelah diminta
Sultan Abdul Jalil. April 1705, kerandanya tiba di Gowa untuk kemudian
dimakamkan di di Lakiung keesokan harinya. `'Makam Syekh Yusuf yang
sebenarnya berada di Lakiung, Sulawesi Selatan,'' ujar sejarawan Prof
Anhar Gonggong, kepada Republika, saat berziarah ke makam Syekh Yusuf
beberapa waktu lalu.
Pengaruhnya
yang begitu besar, membuat masyarakat di wilayah yang pernah disinggahi
Syekh Yusuf meyakini ulama besar itu dimakamkan di tempat mereka.
Selain di Makassar, pemakaman Syekh Yusuf juga dapat diyakini berada di
Banten; Pelambang, Sumatera Selatan; Srilanka dan di Talango, Madura.
Makam-makam itu, hingga kini masih tetap didatangi para peziarah. Meski
telah berpulang empat abad lalu, kemasyhuran dan keluhuran akhlak serta
ilmu Syekh Yusuf hingga masih tetap dikenang.
Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf
Berbagai
tarekat telah dikuasai Syekh Yusuf selama berguru di Timur Tengah.
Menurut Martin Van Bruinessen,sepulang ke Nusantara, Syekh Yusuf justru
mengajarkan tarekat Khalwatiyah, bukan tarekat Qadariyah. Tarekat itu
dipelajarinya dari Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub
al-Khalwati al-Quraisyi di Damaskus.
Dari
sang guru, Syekh Yusuf mendapat gelar Tajul Khalwati Hadiyatullah.
Tarekat Khalwatiyah justru diambil dari kata 'khalwat', yang berarti
menyendiri untuk merenung. Konon, nama itu dikarenakan seringnya Syekh
Muhammad Al-Khalwati, pendiri Tarekat Khalwatiyah, melakukan khalwat di
tempat-tempat sepi.
Tarekat
Khalwatiyah merupakan cabang dari Tarekat Az-Zahidiyah, cabang dari
Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh
Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H).
Tarekat Khalwatiyah berkembang secara luas di Mesir. Ia dibawa oleh
Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin Kamaluddin bin Ali al-Bakri
as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal Damaskus, Syiria.
Di
Indonesia, Tarekat Khalwatiyah disebarkan Syekh Yusuf. Penyebaran
tarekat Khalwatiyah Yusuf di Sulawesi Selatan mulai dikenal sejak adanya
peran yang dimainkan Syekh Abdul Fathi Abdul Bashir al-Dhahir
al-Khalwati yang lazim disebut Tuang Rappang I Wodi. Tuang Rappang
berguru tarekat itu dari Syekh Yusuf, sejak di Makkah dan banten.
Syekh
Yusuf menganugerahkan ijazah dan mengangkatnya sebagai khalifah untuk
menyebarkan tarekat Khalwatiyah di Sulawesi Selatan. Awalnya, penyebaran
tarekat Khalwatiyah Yusuf berlangsung di kalangan bangsawan, dan secara
berangsur-angsur diterima pula rakyat kebanyakan.
Kelompok
tarekat itu kemudian tersebar di berbagai kampung dan secara bersama
mereka melakukan ibadah zikir khaafi (suara kecil) di rumah dan tempat
ibadah. Dalam Tarekat Khalwatiyah dikenal adanya sebuah amalan yang
disebut Al-Asma' As-Sab'ah (tujuh nama), yakni tujuh macam dzikir atau
tujuh tingkatan jiwa. Hingga kini, tarekat Khalwatiyah Yusuf itu masih
tetap eksis di Sulawesi Selatan.
PETTA LASINRANG
Sekitar
tahun 1856, keluarga raja dan pembesar kerajaan Sawitto, diliputi
suasana bahagia atas lahirnya putra La Tamma yaitu La Sinrang. Kemudian
dikenal dengan nama Petta Lolo La Sinrang. Putra La Tamma Addatuang
Sawitto ini, dilahirkan di Dolangeng sebuah kota kecil yang terletak
kira-kira 17 km sebelah selatan kota Pinrang. Karena ibunya bernama I
Raima (Keturunan rakyat biasa) berasal dari Dolangeng. Sejak lahirnya La
Sinrang memang memiliki keistimewaan dimana dadanya ditumbuhi buluh
dengan arah berlawanan yaitu arah keatas ke atas (bulu sussang).Dalam
perjalanan hidupnya, La Sinrang banyak mendapat bimbingan dan pendidikan
dari pamannya (saudara I Raima), yaitu orang yang mempunyai pengaruh
dan disegani serta dikenal sebagai ahli piker kerajaan. Sehingga, La
Sinrang menjadi seorang pemuda yang cukup berwibawa dan jujur. Hal ini
merupakan suatu cirri bahwa putra Addatuang sawitto ini, adalah seorang
calon pemimpin yang baik.Diwaktu kecil La Sinrang gemar permaianan
rakyat seperti dalam bahasa bugis mallogo, maggasing, massaung dan
lain-lain. Namun, kegemaran utamanya yang berlanjut sampai usia menanjak
dewasa yaitu “ Massaung “. Menyabung ayam. Dari kegemaran ini, La
Sinrang selalu menggunakan “ Manu “ bakka “ (ayam yang bulunya berwarna
putih berbintik-bintik merah padabagian dada melingkar kebelakang), ayam
jenis ini jarang dimiliki orang.
Kegemaran
menyabung ayam dengan “ manu bakka “ tersiar keluar daerah, sehingga La
Sinrang dikenal dengan julukan “ Bakka Lolona Sawitto “ juga dapat
diartikan “ Pemuda berani dari Sawitto . Julukan ini semakin popular
disaat La Sinrang mengadakan perlawanan terhadap Belanda.
Juga
kegemaran La Sinrang di usia remaja/dewasa adalah permainan “Pajjoge”
yaitu tari-tarian dari asal Bone, sehingga ketika Pajjoge dari Pammana
(Wajo) mengadakan pertunjukan di Sawitto maka La Sinrang semakin
tertarik dengan Permian tersebut.
La
sinrang ke Pammana, dimana setelah tinggal di Pammana dia
memperlihatkan gerak-gerik yang menarik perhatian orang banyak, utamanya
Datu Pammana sendiri. Datu Pammana La Gabambong ( La Tanrisampe) juga
merangkap Pilla Wajo tertarik untuk menanyakan asal-usul keturunannya.
La
Sinrang pun dididik dan diterima Datu Pammana menjadi pemberani,
terutama dalam hal menghadapi peperangan. Setelah itu, La Sinrang
kembali ke daerah asalnya yaitu Sawitto, saat itu La Sinrang mempunyai
dua orang putra yakni La Koro dan La Mappanganro darihasil perkawinan
dengan Indo Jamarro dan Indo Intang.
Tiba
di Sawitto diajaknya kerajaan Suppa, Alitta, binanga Karaeng, Ruba’E,
Madallo, Cempa, JampuE, dll kerajaan kecil disekitar Sawitto untuk
berperang, dan apabila kerajaan tersebut tidak bersedia, berarti bahwa
kerajaan itu berada dibawah kekuasaan Sawitto. Dengan demikian, dalam
waktu singkat terkenallah La Sinrang keseluruh pelosok, baik keberanian,
kewibaan, maupun kepemimpinannya
La
Sinrang selama berada di Sawitto semakin nakal, akhirnya diasingkan ke
Bone, baru setahun di Bone, terpaksa menyingkir ke Wajo karena membunuh
salah seorang pegawai istana di Bone yaitu Pakkalawing Eppona Arungpone.
Selama
di Wajo ia mendapat didikan dari La Jalanti Putra Arung Matawo Wajo
yaitu La Koro Arung Padali yang bergelar Batara Wajo. La Janlanti
diangkat menjadi komandan Pasukan Wajo di Tempe dengan pangkat Jenderal.
Setelah
serangan Belanda terhadap kerajaan sawitto semakin hebat, maka La
Sinrang dipanggil pulang oleh ayahnya, dan diangkat menjadi panglima
perang. Dalam kepemimpinannya sebagai panglima perang kerjaan Sawitto,
senjata yang dipergunakan adalah tombak dan keris. Tombak bentuknya
besar menyerupai dayung diberi nama “ La Salaga ‘ sedang kerisnya diberi
nama “ JalloE”
LATENRI TATTA ARUNG PALAKKA
Setelah
La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka meninggal dunia, maka digantikanlah
oleh kemanakannya yang bernama La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE
Gemme’na Petta To RisompaE. La Tenri Tatta To Unru adalah anak dari We
Tenri Sui Datu Mario Riwawo dengan suaminya yang bernama La Pottobune
Arung Tanatengnga Datu Lompulle. Ibu dari We Tenri Sui adalah We Baji
atau We Dangke LebaE ri Mario Riwawo dengan suaminya La Tenri Ruwa Arung
Palakka MatinroE ri Bantaeng. La Tenri Ruwalah yang mula-mula menerima
agama Islam dari KaraengE ri Gowa yang juga dianggap sebagai orang
pertama menerima agama Islam di Celebes Selatan. Karena pada waktu itu
orang Bone menolak agama Islam, maka Arumpone La Tenri Ruwa pergi ke
Bantaeng dan disanalah ia meninggal dunia sehingga dinamakan MatinroE ri
Bantaeng. Ketika La Tenri Tatta To Unru baru berusia 11 tahun, Bone
dibawah kepemimpinan La Tenri Ruwa, Bone diserang dan dikalahkan oleh
Gowa. Orang tuanya La Pottobune ditangkap dan ditawan bersama Arumpone
La Tenri Ruwa serta beberapa anak bangsawan Bone lainnya oleh KaraengE
ri Gowa dalam peristiwa yang disebut Beta Pasempe ( Kekalahan di Pasempe
). Pasempe adalah sebuah kampung kecil yang dipilih oleh Arumpone La
Tenri Ruwa untuk melakukan perlawanan dan disitulah dia dikalahkan.
Semua tawanan Gowa termasuk orang tua La Tenri Tatta Arung Palakka
dibawa ke Gowa.
Sesampainya
di Gowa, tawanan-tawanan itu dibagi-bagi kepada Bate SalapangE ri Gowa.
La Pottobune, isterinya We Tenri Sui dan anaknya La Tenri Tatta To Unru
diambil oleh KaraengE ri Gowa. Ditempatkan di SalassaE (Istana) Gowa
dan ditunjukkan sebidang tanah untuk digarap dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Disitu pulalah membuat pondok untuk ditempatinya.
Karena
La Tenri Tatta To Unru dianggap masih anak-anak, maka To Unru selalu
diikutkan oleh KaraengE ri Gowa apabila bepergian. La Tenri Tatta
biasanya ditugasi untuk membawa tombak atau sebagai –pakkalawing epu
(pembawa perlengkapan) yang diperlukan oleh KaraengE ri Gowa dalam
perjalanan itu. Sejak itu La Tenri Tatta dikenal banyak kalangan,
termasuk para anggota Bate SalapangE ri Gowa. La Tenri Tatta To Unru
memiliki sifat-sifat yang baik, jujur dan cerdas. Oleh karena itu La
Tenri Tatta To Unru diambil oleh Karaeng Patingalloang untuk diajari
tentang adat-istiadat Mangkasar (Gowa).
Setelah
Karaeng Patingalloang Tu Mabbicara Butta ri Gowa meninggal dunia, maka
yang menggantikannya adalah saudaranya yang bernama Karaeng Karunrung.
Karaeng Karunrung inilah yang terkenal sangat kejam terhadap orang-orang
Bone yang menjadi tawanan Gowa. Ini pulalah sebagai Tu Mabbicara Butta
ri Gowa yang minta kepada Tobala Jennang Bone untuk dikirimi sebanyak
10.000 orang Bone yang akan dipekerjakan sebagai penggali parit dan
pembuat benteng.
Jumlah
tersebut tidak bisa dikurangi, diganti atau dibayar. Walaupun seseorang
yang telah ditunjuk itu ada yang bisa menggantikannya atau mampu untuk
membayarnya, namun oleh Karaeng Karunrung tidak membenarkannya.
Ketika
orang Bone yang jumlahnya 10.000 itu tiba, langsung dipekerjakan
sebagai penggali parit dan pembuat benteng. Tiap-tiap 10 orang diawasi
oleh seorang mandor dari orang Gowa sendiri. Mereka dipekerjakan mulai
pagi sampai malam dan hanya diberi kesempatan istirahat pada waktu
makan. Makanannya tidak ditanggung oleh Karaeng Karunrung, tetapi harus
dibawa sendiri dari Bone.
Adapun
La Tenri Tatta To Unru Daeng Serang, sudah kawin dengan seorang anak
bangsawan Gowa yang bernama I Mangkawani Daeng Talele. Pada saat orang
Bone yang jumlahnya 10.000 itu bekerja, La Tenri Tatta To Unru
menggabungkan diri dan bekerja juga sebagai penggali parit dan pembuat
benteng. Ia juga merasakan bagaimana penderitaan orang Bone disiksa oleh
mandor-mandor orang Gowa yang mengawasi pekerjaan itu.
Suatu
ketika, KaraengE ri Gowa akan memperingati Ulang Tahunnya, maka
diadakanlah perburuan rusa di Tallo. Seluruh rakyat diharuskan mengikuti
perburuan tersebut. La Tenri Tatta Daeng Serang yang biasa membawakan
tombak KaraengE, kebetulan tidak ikut. Oleh karena itu orang tuanya La
Pottobune’lah yang ditunjuk oleh KaraengE ri Gowa untuk membawakan
tombaknya.
Sesampainya
KaraengE ri Gowa pada lokasi perburuan rusa di Tallo, terpencarlah orang
banyak baik sebagai pemburu atau sebagai penunggang kuda untuk
menelusuri hutan-hutan mencari rusa. Kebetulan ada dua orang pekerja
parit yang melarikan diri dan bersembunyi dihutan, karena disangkanya
dirinya yang dikepung. Kedua orang tersebut ditangkap oleh pemburu dan
dihadapkan kepada Karaeng Karunrung. Keduanya disiksa, dipukuli sampai
meninggal dunia.
La
Pottobune’ orang tua La Tenri Tatta sangat prihatin menyaksikan
penyiksaan itu, sehingga tidak dapat menahan perasaannya. Datu Lompulle
tidak mampu menahan emosinya dan pada saat itu juga ia mengamuk dengan
menggunakan tombak Karaeng Karunrung yang dibawanya. Setelah membunuh
banyak orang Gowa, barulah ia ditangkap dan disiksa seperti layaknya
pekerja parit yang melarikan diri tadi. Karena La Pottobune’ memiliki
ilmu kebal terhadap senjata tajam, maka nantilah dia meninggal dunia
setelah dimasukkan dalam lesung dan ditumbuk dengan alu.
Sejak
kejadian itu, La Tenri Tatta To Unru Daeng Serang tidak bisa lagi
tidur. Setiap saat ia selalu berdoa kepada Dewata SeuwaE agar diberi
jalan yang lapang untuk kembali menegakkan kebesaran Tanah Bone.
Suatu
saat pagi-pagi sekali La Tenri Tatta To Unru tiba di tempat penggalian.
Lalu dipanggilnya keluarga dekatnya, seperti Arung Belo, Arung Pattojo
Arung Ampana dan lain-lain. Semua keluarga dekatnya itu memang tidak
pernah berpisah dengannya. Dalam kesempatan itu, dibuatnya suatu
kesepakatan untuk membebaskan seluruh orang Bone dari penyiksaan orang
Gowa di tempat penggalian tersebut. Kesepakatan ini sangat
dirahasiakannya, tidak seorangpun yang bisa mengetahuinya termasuk
kepada isteri mereka.
Pada
waktu diadakan perburuan rusa terakhir di Tallo, rencana pembebasan yang
akan dilakukan oleh La Tenri Tatta Daeng Serang, Arung Belo, Arung
Pattojo dan Arung Ampana juga sudah cukup matang. Semua keluarganya
sudah dipersiapkan dan barang-barang bawaan sudah dikemas dengan rapi.
Saat itulah La Tenri Tatta Arung Palakka memerintahkan kepada seluruh
pekerja parit dan pembuat benteng untuk melarikan diri meninggalkan
tempat itu. Sebelumnya seluruh mandor dari orang Gowa dibunuh dan
dirampas senjata dan perlengkapan lainnya.
Sesampainya
di Bone La Tenri Tatta To Unru langsung menemui Jennang Tobala dan Datu
Soppeng yang bernama La Tenri Bali yang tidak lain adalah pamannya
sendiri. Datu Soppeng La Tenri Bali dengan Jennang Tobala memang telah
membuat suatu kesepakatan untuk membangkitkan kembali semangat orang
Bone melawan Gowa. Kesepakatan antara Jennang Tobala dengan Datu Soppeng
inilah yang kemudian dikenal dengan nama Pincara LopiE ri Attapang.
Kepada
pamannya Datu Soppeng, La Tenri Tatta To Unru minta bekal untuk dipakai
dalam perjalanan, karena dia akan pergi jauh mencari teman yang bisa
diajak kerja sama melawan Gowa. Sebab menurut perkiraannya perjalanan
ini akan memakan waktu yang lama dan akan menelan banyak pengorbanan.
Tidak berapa lama, datanglah orang Gowa dengan jumlah yang sangat besar
lengkap dengan persenjataan perangnya mencari jejaknya. Terjadilah
pertempuran yang sangat dahsyat antara La Tenri Tatta To Unru bersama
pasukannya melawan orang Gowa di Lamuru. Tetapi karena kekuatan Gowa
ternyata lebih kuat, akhirnya La Tenri Tatta To Unu bersama pasukannya
mundur kearah utara. Sementara orang Gowa yang merasa kehilangan jejak,
melanjutkan perjalanan ke Bone. Di Bone orang Gowa betempur lagi melawan
Tobala dengan pasukannya yang berakhir dengan tewasnya Jennang Tobala
Petta PakkanynyarangE.
Setelah Tobala Petta PakkanynyarangE
tewas dalam pertempuran, orang Gowa terus ke Soppeng untuk menangkap
Datu Soppeng La Tenri Bali dan selanjutnya dibawa ke Gowa ( Mangkasar ).
Sedangkan pencaharian terhadap La Tenri Tatta Arung Palakka tetap
dilanjutkan.
Tewasnya Tobala
Arung Tanete Petta PakkanynyarangE, oleh KaraengE ri Gowa yang bernama I
Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin
merasa perlu untuk mengangkat Jennang yang baru di Bone. Ditunjuklah La
Sekati Arung Amali sebagai pengganti Tobala, sementara Datu Soppeng La
Tenri Bali ditawan di Gowa dan ditempatkan di Sanrangeng bersama
Arumpone La Maddaremmeng.
Karena
merasa selalu diburu oleh orang Mangkasar ( Gowa ), La Tenri Tatta To
Unru bersama seluruh pengikutnya semakin terjepit dan sulit untuk
tinggal di Tanah Ugi. Oleh karena itu bersama Arung Belo, Arung Pattojo
dan Arung Ampana sepakat untuk menyeberang ke Butung Tanah Uliyo. Hal
ini dilakukan dengan pertimbangan siapa tahu nanti di Butung Tanah Uliyo
bisa mendapatkan teman yang dapat diajak bekerja sama melawan Gowa.
Dipersiapkanlah sejumlah perahu dan pada saat yang tepat La Tenri Tatta
To Unru bersama seluruh pengikutnya bertolak dari pantai Cempalagi Ujung
Pallette menuju ke Butung Tanah Uliyo.
Beberapa
saat saja setelah meninggalkan Cempalagi Ujung Pallette, orang Gowapun
datang mencari jejaknya. Tetapi La Tenri Tatta To Unru bersama
pengikutnya telah berada ditengah laut menuju ke Butung Tanah Uliyo.
Dengan demikian orang Gowa segera kembali untuk menyampaikan kepada
KaraengE ri Gowa bahwa La Tenri Tatta To Unru bersama seluruh
pengikutnya tidak berada lagi di daratan Tanah Ugi. Besar kemungkinannya
ia menyeberang ke Butung Tanah Uliyo untuk minta perlindungan kepada
Raja Butung.
Mendengar
laporan itu, KaraengE ri Gowa memerintahkan Arung Gattareng untuk
menyusulnya. Arung Gattareng berhasil bertemu La Tenri Tatta To Unru di
tengah laut. Setelah berbicara sejenak, Arung Gattareng lalu membelokkan
perahunya dan kembali ke Gowa . Sementara La Tenri Tatta Arung Palakka
bersama pengikutnya tetap melanjutkan perjalanan menuju ke Butung.
Sesampainya
di Tanah Uliyo, La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka diterima baik oleh
Raja Butung dan diberinya tempat untuk istirahat dengan pengikutnya.
Kepada La Tenri Tatta To Unru, Raja Butung berkata,
”Tinggallah
sementara disini, nanti kalau kapal Kompeni Belanda yang akan menuju ke
Ambon dan Ternate singgah disini, barulah saya pertemukan denganmu.
Sebab sesungguhnya saya sangat menghawatirkan kalau nantinya orang Gowa
yang disuruh oleh KaraengE ri Gowa bisa menemukan tempatmu disini.
KaraengE ri Gowa memang sangat marah kepada saya, karena kapal-kapal
Kompeni Belanda selalu singgah disini apabila akan berangkat menuju ke
Ambon dan Ternate”.
Pada
saat La Tenri Tatta To Unru akan bertolak ke Butung, ia singgah bernazar
di gunung Cempalagi dekat Pallette. Dalam nazarnya tersebut, La Tenri
Tatta To Unru bertekad tidak akan memotong rambutnya sebelum dirinya
bersama seluruh pengikutnya kembali dengan selamat di Tanah Ugi. Sejak
itu rambutnya dibiarkan menjadi panjang dan digelarlah MalampeE
Gemme’na.
KaraengE ri
Gowa sudah mengetahui bahwa La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka bersama
pengikutnya telah berada di Butung Tanah Uliyo. Oleh karena itu
disiapkanlah pasukan dengan jumlah besar yang diperlengkapi dengan
senjata perang untuk menyerang Butung Tanah Uliyo. Apalagi maksud untuk
menyerang Butung memang telah lama direncanakan, karena Butung selalu
menjadi tempat persinggahan kapal-kapal Kompeni Belanda kalau akan
berangkat ke Ambon dan Ternate.
Tidak
lama kemudian utusan KaraengE ri Gowa datang ke Butung untuk mencari La
Tenri Tatta bersama pengikutnya. Tetapi sebelum utusan itu naik
kedarat, Raja Butung menyampaikan kepada La Tenri Tatta To Unru bersama
pengikutnya untuk bersembunyi disebuah sumur besar dan tidak berair
tidak jauh dari istana Raja Butung. Kepada La Tenri Tatta To Unru, Raja
Butung berkata ;” Saya akan bersumpah nanti kalau utusan KaraengE ri
Gowa naik untuk menanyakan keberadaanmu, bahwa kamu dengan seluruh
pengikutmu tidak berada diatas Tanah Uliyo”.
Karena
pernyataan Raja Butung bahwa La Tenri Tatta bersama seluruh pengikutnya
tidak berada diatas Tanah Uliyo dan utusan KaraengE ri Gowa memang
tidak melihat adanya tanda bahwa orang yang dicarinya ada di tempat itu,
maka utusan itupun pamit dan kembali ke Gowa.
KaraengE
ri Gowa rupanya tidak kehabisan akal, maka disusunlah strategi baru
dengan memperbanyak pasukan dan diperlengkapi dengan persenjatan untuk
menyerang Butung sampai ke Ternate. Dipanggilah Datu Luwu La Setiaraja
bersama Karaeng Bonto Marannu untuk memimpin pasukan ke Tanah Uliyo.
Menurut rencananya setelah Butung kalah, serangan akan dilanjutkan ke
Ternate untuk menangkap Raja Ternate.
Berita
tentang rencana KaraengE ri Gowa yang akan menyerang Butung dan Ternate
telah sampai kepada Kompeni Belanda di Jakarta. Oleh karena itu Kompeni
Belanda mempersiapkan sejumlah kapal dan perlengkapan perang untuk
melawan Gowa. Kepada La Tenri Tatta To Unru yang sementara berada di
Butung dipesankan untuk memperlengkapi pasukannya dengan persenjataan.
Begitu pula kepada Raja Butung agar bersiap-siap menunggu kedatangan
Kompeni Belanda.
Atas
perintah KaraengE ri Gowa, Datu Luwu bersama Karaeng Bonto Marannu
berlayar ke Butung membawa pasukan untuk menyerang Butung dan
selanjutnya Ternate. Sementara itu, berita tentang keberangkatan pasukan
Kompeni Belanda bersama La Tenri Tatta ke Butung telah sampai pula pada
KaraengE ri Gowa. Oleh karena itu, KaraengE ri Gowa segera
mengembalikan Arumpone La Maddaremmeng ke Bone dan Datu Soppeng yang
bernama La Tenri Bali dikembalikan ke Soppeng. Didudukkanlah Bone
sebagai Palili (daerah bawahan) dari Gowa yang berarti Bone telah lepas
dari penjajahan Gowa.
Adapun
maksud KaraengE ri Gowa mengembalikan Arumpone La Maddaremmeng untuk
menduduki kembali Mangkau’ Bone, agar orang Bone tidak lagi melihat Gowa
sebagai lawan yang sedang bermusuhan dengan Kompeni Belanda. Sementara
La Tenri Bali Datu Soppeng yang tadinya ditempatkan di Sanrangeng
bersama Arumpone La Maddaremmeng sebagai tawanan, dikembalikan pula ke
Soppeng. Selanjutnya Soppeng didudukkan pula sebagai Palili dari Gowa
sebagaimana halnya Bone. Sejak itu Soppeng bukan lagi sebagai jajahan
Gowa melainkan sebagai daerah bawahan saja.
Kapal-kapal
Kompeni Belanda yang memuat pasukan tempur yang dipimpin oleh Cornelis
Speelman tiba di Butung. Diatas kapal ada La Tenri Tatta To Unru Arung
Palakka bersama dengan seluruh pengikutnya. Sesampainya di Butung, La
Tenri Tatta To Unru Arungt Palakka MalampeE Gemme’na memperoleh
informasi bahwa yang memimpin pasukan Gowa adalah Datu Luwu La Setiaraja
dan Karaeng Bonto Marannu. Oleh karena itu La Tenri Tatta berkata
kepada Cornelis Speelman agar jangan melepaskan tembakan. La Tenri Tatta
memberi penjelasan kepada Cornelis Speelman bahwa Bone dengan Luwu
sama-sama jajahan Gowa dan tidak pernah bermusuhan. Begitu pula Karaeng
Bonto Marannu tidak pernah terjadi perselisihan faham dengannya.
Keduanya hanya disuruh oleh KaraengE ri Gowa unuk menyerang orang Bone.
Selanjuitnya
La Tenri Tatta mengajak kepada Cornelis Speelman untuk mengirim utusan
kedarat guna menemui Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu.Siapa tahu ada
jalan yang bisa ditempuh dan tidak saling bermusuhan sesama saudara.
Ajakan itu disetujui oleh Speelman dan diutuslah beberapa orang naik
menemui Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu. Sesampainya ditempat Datu
Luwu dan Karaeng Bonto Marannu, utusan itu menyampaikan bahwa Arung
Palakka bersama Cornelis Speelman mengharapkan Datu Luwu bersama Karang
Bonto Marannu turun ke kapal dengan mengibarkan bendera putih untuk
berbicara secara baik-baik.
Mendengar
apa yang disampaikan oleh utusan itu, Datu Luwu La Setiaraja dan
Karaeng Bonto Marannu sependapat bahwa lebih banyak buruknya dari pada
baiknya jika kita saling bermusuhan sesama saudara. Kalau kita berdamai,
hanyalah senjata kita yang diambil. Tetapi kalau kita bertahan untuk
berperang, maka senjata beserta seluruh pasukan kita ikut diambil.
Setelah
saling bertukar pendapat antara Datu Luwu dengan Karaeng Bonto Marannu
yang mendapat persetujuan dari seluruh pasukannya, maka turunlah ke
kapal Kompeni Belanda menemui La Tenri Tatta Arung Palakka dan Cornelis
Speelman sebagai pimpinan pasukan Kompeni Belanda. Dari atas kapal
nampak Arung Belo, Arung Pattojo, Arung Ampana serta Arung Bila
menjemput kedatangan Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu beserta
beberapa pengikutnya.
Datu
Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu menyatakan bergabung dengan
Arung Palakka, makanya keduanya minta perlindungan Kompeni Belanda.
Untuk mengamankan keduanya dari KaraengE ri Gowa, dibawa ke sebuah pulau
oleh Cornelis Speelman. Nanti setelah perang selesai, barulah kembali
ke negerinya. Sedangkan pasukannya dinaikkan ke kapal untuk dibawa
pulang ke kampungnya setelah dilucuti seluruh senjatanya.
Sementara
itu, berita tentang dikembalikannya La Maddaremmeng ke Bone dan La
Tenri Bali ke Soppeng oleh KaraengE ri Gowa dimana Bone dan Soppeng
didudukkan sebagai Palili (daerah bawahan), telah sampai kepada La Tenri
Tatta Arung Palakka. Lalu Arung Palakka mengirim utusan ke Bone dan
Soppeng agar Arumpone dan Datu Soppeng tetap mengangkat senjata untuk
melawan KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin.
La
Tenri Tatta Arung Palakka bersama Cornelis Speelman dengan persenjatan
yang lengkap meninggalkan Butung menyusuri daerah-daerah pesisir yang
termasuk kekuasan KaraengE ri Gowa. Banyak daerah pesisir yang tadinya
berpihak kepada Gowa, berbalik dan menyatakan berpihak kepada La Tenri
Tatta Arung Palakka. Sementara melalui darat, Arung Bila, Arung pattojo,
Arung Belo dan Arung Ampana terus membangkitkan semangat orang Bone dan
orang Soppeng untuk berperang melawan Gowa. Beberapa daerah di Tanah
Pabbiring Barat berbalik pula melawan KaraengE ri Gowa.
Dengan
demikian keadaan KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin sudah terkepung.
Kompeni Belanda dibawah komando Cornelis Speelman menghantam dari laut,
sementara Arung Palakka dengan seluruh pasukannya menghantam dari darat.
Semua arung yang tadinya membantu Gowa kembali berbalik menjadi lawan,
kecuali Wajo tetap membantu Gowa.
Karena
merasa sudah sangat terdesak dan pertempuran telah banyak memakan
korban dipihak Sultan Hasanuddin, maka pada hari Jumat tanggal 21
November 1667 M. KaraengE ri Gowa I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng
Bonto Mangape Sultan Hasanuddin bersedia mengakhiri perang. Kesediaannya
itu ditandai dengan suatu perjanjian yang bernama Perjanjian Bungaya.
Perjanjian mana ditanda tangani oleh Sultan Hasanuddin dengan Cornelis
Speelman Admiral Kompeni Belanda. Sementara perjanjian Sultan Hasanuddin
dengan Arung Palakka adalah melepaskan Bone dan Soppeng sebagai jajahan
Gowa.
Setelah perang
berakhir, barulah La Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya masuk
ke Bone. Sesampainya di Bone, dijemput oleh Arumpone La Maddaremmeng.
Keduanya saling mengucapkan selamat atas kemenangannya melawan Gowa.
Berkatalah La Maddaremmeng kepada kemenakannya La Tenri Tatta ; ”Saya
sekarang sudah tua dan semakin lemah, walaupun saya telah dikembalikan
oleh KaraengE ri Gowa untuk menduduki Mangkau’ di Bone, namun hanyalah
sebagai simbol. Sebab Bone hanya ditempatkan sebagai daerah palili yang
berarti harus tetap mengabdi kepada Gowa. Oleh karena itu saya
berpendapat sebaiknya engkaulah yang memangku Mangkau’ di Bone. Sebab
memang warisanmu dari MatinroE ri Bantaeng. Hanya karena orang Bone pada
mulanya tidak mau menerima Islam, sehingga ia meninggalkan Bone”.
La
Tenri Tatta Arung Palakka menjawab ; ”Saya menjunjung tinggi keinginan
Puatta, tetapi saya tetap berpendapat bahwa nantilah api itu padam baru
dicarikan penggantinya, artinya nantilah Arumpone benar-benar sudah
tidak ada baru diganti”.
Oleh
karena itu La Maddaremmeng tetap memangku Mangkau’ di Bone sampai ia
meninggal dunia. Akan tetapi hanyalah simbol belaka, sebab yang
melaksanakan pemerintahan adalah kemenakannya yang bernama La Tenri
Tatta To Unru Arung Palakka.
Bagi
Kompeni Belanda hubungannya dengan arung-arung di Tanah Ugi harus
melalui La Tenri Tatta Arung Palakka. Cornelis Speelman meminta kepada
Gubernur Jenderal di Betawe agar Arung Palakka diangkat menjadi
Arumpone. Selain itu ia juga diangkat menjadi pimpinan bagi arung-arung
di Tanah Ugi, karena itu digelarlah To RisompaE.
Dalam
tahun 1672 M. Arumpone La Maddaremmeng meninggal dunia, barulah Arung
Palakka resmi menjadi Arumpone. Diseranglah Wajo pada bulan Agustus 1670
M, karena Arung Matowa Wajo yang bernama La Tenri Lai belum mau
mengalah pada saat diadakannya Perjanjian Bungaya. La Tenri Lai
menyatakan kepada KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin bahwa perang antara
KaraengE dengan Kompeni Belanda telah berakhir, tetapi perang Wajo
dengan Arung Palakka belum selesai.
Oleh
karena itu Sultan Hasanuddin menganjurkan kepada La Tenri Lai untuk
kembali ke Wajo bersama seribu pengikutnya. Sesampainya di Wajo, disusul
kemudian oleh Arung Palakka bersama seluruh pengikutnya dan
berperanglah selama empat bulan. Korban berguguran baik dari Bone,
Soppeng maupun Wajo. Batal sudah Perjanjian TellumpoccoE, akhirnya Wajo
kalah. Tosora terbakar, bobol sudah pertahanan Wajo.
Dalam
peperangan yang dahsyat ini, Arung Matowa Wajo La Tenri Lai To
Sengngeng gugur terbakar, maka digelarlah MatinroE ri Salokona. Dengan
demikian datanglah utusan PillaE PatolaE minta untuk diadakan gencatan
senjata atau menghentikan perang kepada Bone dan Soppeng.
Permintaan
itu dijawab oleh Arung Palakka bahwa hanya diberi kesempatan selama
tiga hari untuk mengurus jenazah Arung MatowaE ri Wajo. Setelah itu,
sepakatlah orang Wajo untuk mengangkat La Palili To Malu menggantikan La
Tenri Lai To Sengngeng sebagai Arung Matowa Wajo yang baru.
Arung
Matowa Wajo inilah yang menyatakan diri kalah dengan Bone dan Soppeng.
Pada tanggal 23 Sepetember 1670 M. La Palili To Malu naik ke
Ujungpandang untuk menanda tangani perjanjian dalam Benteng Rotterdam.
Arung Palakka MalampeE Gemme’na, ArungE ri Bantaeng, Datu Soppeng, Arung
Tanete serta beberapa petinggi lainnya yang mengantar Arung Matowa Wajo
La Palili To Malu masuk ke Benteng Rotterdam. Arung Matowa Wajo brsama
dengan PillaE yang bernama La Pakkitabaja, PatolaE yang bernama La
Pangabo, CakkuridiE yang bernama La Pedapi, inilh yang dinamakan TelluE
Bate Lompo ri Wajo.
Setelah
selesai berperang dengan Wajo tahun 1671 M. dikawinkanlah adik
perempuannya yang bernama We Mappolo BombangE yang juga diangkat menjadi
Maddanreng di Palakka. We Mappolo BombangE dikawinkan dengan La PakokoE
Toangkone Arung Timurung yang juga Arung Ugi anak dari La Maddaremmeng
MatinroE ri Bukaka dengan isterinya yang bernama We Hadijah I Dasaleng
Arung Ugi.
Lima bulan
setelah perkawinan adik perempuannya We Mappolo BombangE Maddanreng
Palakka, dalam tahun 1671 M. Arung Palakka MalampeE Gemme’na mengadakan
keramaian untuk melepaskan nazarnya ketika hendak meninggalkan Tanah
Ugi. Nazarnya itu adalah,
“Kalau
nantinya saya selamat kembali ke Tanah Ugi menegakkan kembali kebesaran
Bone dan Soppeng, saya akan membuat sokko (nasi ketang) tujuh macam
setinggi gunung Cempalagi. Akan kusembelih seratus kerbau camara
(belang) bertanduk emas, sebagai tebusan anak bangsawan Gowa –maddara
takku – (berdarah biru) dan sebagai ganti kepala Karaeng Mangkasar
(bangsawan tinggi) di Gowa.
Pada
saat itulah La Tenri Tatta Arung Palakka menyampaikan kepada
pengikutnya bahwa ia memanjangkan rambutnya selama dalam perantauan dan
nanti akan dipotong setelah kembali menegakkan kebesaran Bone. Maka
setelah melepaskan nazarnya di Cempalagi, iapun memotong rambutnya,
kemudian mangosong (bernyanyi),
”Muaseggi belobelo, weluwa sampo genoaE mattipi nattowa wewe. Muaseggi culecule weluwa sampo palippaling ri accinaongi awana”.
Ketika
acara potong rambutnya yang diikuti oleh seluruh pengikutnya selesai,
La Tenri Tatta To Unru melepaskan nazarnya dengan memotong 400 ekor
kerbau dilereng gunung Cempalagi. Seratus ekor kerbau camara (Bulu hitam
dengan belang dibagian ekor dan kepala) bertanduk emas (ditaruh emas
pada tanduknya). Tiga ratus ekor sebagai pengganti kepala bangsawan Gowa
dan bangsawan Mangkasar.
Setelah
itu, diseranglah seluruh negeri yang belum menyatakan diri takluk
kepada Bone. Negeri-negeri itu antara lain, Mandar, Palilina Tanah Luwu
yang masih mengikut kepada Gowa. Selanjutnya serangannya ditujukan
kepada Pasuruan Jawa Timur, Galingkang dan Sangalla. Semua negeri
tersebut dikalahkan dan terakhir adalah Letta.
Pada
tanggal 3 – 11 – 1672 M. We Mappolo Bombang Maddanreng Palakka
melahirkan anak laki-laki yang bernama La Patau Matanna Tikka WalinonoE
La Tenri Bali MalaE Sanrang. Anak ini lahir dari perkawinannya denga La
PakokoE Toangkone Arung Timurung.
Atas
kelahiran La Patau Matanna Tikka membuat La Tenri Tatta Arung Palakka
Petta To RisompaE sangat gembira. Karena menurut pikirannya, sudah ada
putra mahkota yang bisa melanjutkan akkarungeng di Tanah Bone. La Tenri
Tatta Arung Palakka yang tidak memiliki anak, menganggap bahwa anak dari
adik perempuannya itulah yang menjadi anak pattola (putra mahkota).
Setelah
Arumpone La Maddaremmeng meninggal dunia dalam tahun 1672 M. sepakatlah
anggota Hadat Bone yang didukung oleh seluruh orang Bone serta Pembesar
Kompeni Belanda untuk mengangkat La Tenri Tatta Arung Palakka menjadi
Arumpone menggantikan pamannya.
Agar
dapat memperoleh keturumnan La Tenri Tatta Arung Palakka kawin dengan
We Yadda Datu Watu anak dari La Tenri Bali Datu Soppeng MatinroE ri
Datunna dengan isterinya yang bernama We Bubungeng I Dasajo. Namun dari
perkawinannya itu, tetap tidak memperoleh keturunan.
Adapun
saudara perempuan La Tenri Tatta yang bernama We Kacimpureng yang kawin
dengan To Dani juga tidak memiliki keturunan. Saudara perempuaannya
yang tua yang bernama We Tenri Abang, dialah yang diberikan Mario
Riwawo. Dia pula yang diikutkan sewaktu La Tenri Tatta pergi ke Jakarta
dimasa berperang dengan Gowa. We Tenri Abang kawin dengan La Mappajanji
atau biasa juga dinamakan La Sulo Daeng Matasa. Dari perkawinannya itu
lahir seorang anak perempuan yang bernama We Pattekke Tana Daeng
Risanga.
Melihat bahwa
tidak ada lagi musuh yang berarti, maka Arumpone La Tenri Tatta To Unru
Arung Palakka mengumpulkan seluruh Bocco (Akkarungeng Tetangga) di
Baruga TelluE Coppo’na di Cenrana. Diadakanlah suatu pesta untuk
disaksikan oleh arung-arung yang pernah ditaklukkannya, termasuk
pembesar-pembesar Kompeni Belanda. Dalam kesempatan itu, Arumpone La
Tenri Tatta Arung Palakka menyampaikan kepada semua yang hadir bahwa
dirinya telah melepaskan nazar dan telah meletakkan samaja (sesaji) dan
juga telah memotong rambutnya. Seluruh yang hadir pada pesta tersebut
mendengarkan dengan baik tentang apa yang disampaikan oleh Petta To
RisompaE.
“Dengarkanlah wahai seluruh orang Bone dan juga seluruh daerah passeyajingeng Tanah Bone, termasuk passeyajingeng keturunan MappajungE. Besok atau lusa datang panggilan Allah kepadaku, hanyalah kemanakan saya yang dua bisa mewarisi milikku. Yang saya tidak berikan adalah harta yang masih dimiliki oleh isteriku I Mangkawani Daeng Talele. Sebab saya dengan isteriku I Mangkawani Daeng Talele tidak memiliki keturunan.
Adapun
kemanakanku yang bernama La Patau Matanna Tikka, anak dari Maddanreng
Palakka saya berikan akkarungeng ri Bone. Sedangkan kemanakanku yang
satu anak Datu Mario Riwawo, saya wariskan harta bendaku, kecuali yang
masih ada pada isteriku I Mangkawani Daeng Talele”.
La
Patau Matanna Tikka berkata ; “Saya telah mendengarkan pesan pamanku
Petta To RisompaE bahwa saya diharapkan untuk menggantikannya kelak
sebagai Mangkau’ di Bone. Namun saya sampaikan kepada orang banyak bahwa
sebelum saya menggantikan Puatta selaku Arumpone, apakah merupakan
kesepakatan orang banyak dan bersedia berjanji denganku?”
Seluruh anggota Hadat dan orang banyak berkata ; “Katakanlah untuk didengarkan oleh orang banyak”.
Berkata
lagi La Patau Matanna Tikka ; “Saya akan menerima kesepakatan orang
banyak dari apa yang dikatakan oleh Puatta To RisompaE, apabila orang
banyak mengakui dan mengetahui bahwa ;
- Tidak akan ada lagi Mangkau’ di Bone kalau bukan keturunanku.- Ketahui pula bahwa keturunanku adalah anak cucu MappajungE tidak akan dipilih dan didudukkan oleh keturunan LiliE. Begitulah yang saya sampaikan kepada orang banyak”.
Seluruh orang banyak berkata ; ”Angikko Puang kiraukkaju Riyao miri riyakeng mutappalireng – muwawa ri peri nyameng” (Baginda angin dan kami semua daun kayu – dimana Baginda berhembus, disanalah kami terbawa – menempuh kesulitan dan kesenangan).
La
Tenri Tatta To RisompaE, adalah Datu Mario Riwawo, Arung di Palakka
sebelum memangku Mangkau’ di Bone menggantikan MatinroE ri Bukaka.
Sesudah
perjanjian Bungaya 18 November 1667 M. dia menegakkan kembali kebesaran
Bone, melepaskan dari jajahan Gowa. Begitu pula Soppeng, Luwu dan Wajo,
semuanya dilepaskan dari jajahan Gowa. Datu Luwu MatinroE ri
Tompo’tikka yang menguasai Tanah Toraja sampai di pegunungan Latimojong
yang ikut membantu Bone, diangkat sebagai daerah passeyajingeng (daerah
sahabat).
Oleh karena itu
Arumpone La Tenri Tatta digelar Petta To RisompaE atas dukungan Kompeni
Belanda yang memberinya kekuasaan sebagai Mangkau’ dari seluruh
Mangkau’ di Tanah Ugi. La Tenri Tatta To Unru lalu membuat payung emas
dan payung perak di samping Bendera SamparajaE. Oleh Kompeni Belanda
diberinya selempang emas dan kalung emas sebagai tanda kenang-kenangan
Kompeni Belanda atas jasa baiknya menjalin kerja sama.
Selaku
Mangkau’ dari seluruh Mangkau’ di Celebes Selatan, La Tenri Tatta Petta
To RisompaE belum merasa puas kalau TelluE Cappa’ Gala yaitu Kerajaan
Besar Bone, Gowa dan Luwu tidak bersatu. Oleh karena itu, ia mengawali
dengan mengawinkan bakal penggantinya sebagai Arumpone kelak yaitu La
Patau Matanna Tikka WalinonoE dengan anak PajungE ri Luwu La Setiaraja
MatinroE ri Tompo’tikka dari isterinya yang bernama We Diyo Opu Daeng
Massiseng Petta I Takalara. Anak Datu Luwu tersebut bernama We Ummung
Datu Larompong.
We Ummung
Datu Larompong kemudian diangkat menjadi Maddanreng TellumpoccoE (Bone,
Soppeng dan Wajo) dan seluruh daerah sahabat Bone dalam tahun 1686 M.
Untuk Wajo diangkat dua orang berpakaian kebesaran, begitu pula Soppeng,
Ajatappareng, Massenrempulu, Mandar PituE Babanna Minanga tiga orang,
Kaili, Butung, Tolitoli masing-masing tiga orang. Sedangkan Ajangale’
dan Alau Ale’ masing-masing dua orang.
Adapun perjanjian La Tenri Tatta Petta To RisompaE dengan Datu Luwu La Setiaraja MatinroE ri Tompo’tikka, adalah,
”Apabila La Patau bersama We Ummung Datu Larompong melahirkan anak, maka anaknya itulah yang akan menjadi Datu di Luwu”.
Selanjutnya
La Patau Matanna Tikka dikawinkan lagi di Tanah Mangkasar dengan
perempuan yang bernama We Mariama (Siti Maryam) Karaeng Patukangang.
Anak dari La Mappadulung Daeng Mattimung KaraengE ri Gowa yang juga
dinamakan Sultan Abdul Jalil dengan isterinya Karaeng Lakiung. Dalam
acara perkawinannya itu, datang semua daerah sahabat Bone
menyaksikannya.
Adapun
perjanjian Petta To RisompaE dengan KaraengE ri Gowa, pada saat
dikawinkannya La Patau Matanna Tikka dengan We Mariama adalah,
”Kalau
nantinya La Patau dengan We Mariama melahirkan anak laki-laki, maka
anaknya itulah yang diangkat menjadi Karaeng di Gowa”. Oleh karena itu
maka hanyalah anak We Ummung dari Luwu dan anak We Mariama dari Gowa
yang bisa diangkat menjadi Mangkau’ di Bone. Sementara yang lain,
walaupun berasal dari keturunan bangsawan tinggi, tetapi dia hanya
ditempatkan sebagai cera’ biasa (tidak berhak menjadi Mangkau’). Kecuali
kalau anak We Ummung dan We Mariama yang menunjuknya.
Aturan
yang berlaku di TellumpoccoE dan TelluE Cappa’ Gala adalah -tenri
pakkarung cera’E – tenri attolang rajengE (cera’ tidak bisa menjadi
Arung dan rajeng tidak bisa menggantikan Arung). Kecuali semua putra
mahkota telah habis dan tidak ada lagi pilihan lain.
Ketika
kemanakan Petta To RisompaE yang bernama We Pattekke Tana Daeng
Tanisanga Petta MajjappaE Datu TelluE Salassana – digeso’ (tradisi orang
Bugis menggosok gigi dengan batu pada saat anak mulai dewasa),
diundanglah seluruh Bocco dan seluruh Lili Passeyajingeng Bone. Pada
saat itulah Petta To RisompaE memberikan kepada kemanakannya itu Pattiro
dan harta benda yang pernah dipersaksikan kepada orang banyak sesudah
memotong rambutnya.
Selanjutnya We Pattekke Tana diberikan oleh ibunya Mario Riwawo beserta isinya, dan ayahnya memberikan Tanete beserta isinya.
Pada
acara maggeso’nya We Pattekke Tana, hadir semua Lili Passeyajingeng
Bone, seperti TellumpoccoE, LimaE Ajattappareng, PituE Babanna Minanga,
LimaE Massenreng Pulu, TelluE Batupapeng, Butung, Toirate, BukiE, Gowa,
Cappa’galaE dan petinggi-petinggi Kompeni Belanda.
Pada
saat itu juga datang utusan PajungE ri Luwu untuk melamarkan putranya
yang bernama La Onro To Palaguna kepada We Pattekke Tana. Petta To
RisompaE mengatakan kepada utusan Datu Luwu,
”Saya
bisa menerima lamaranmu wahai orang Ware, tetapi dengan perjanjian We
Tekke (Pattekke Tana) engkau angkat menjadi datu di Luwu. Walaupun dia
nantinya tidak memiliki anak dengan suaminya (La Onro To Palaguna),
apalagi kalau dia berdua melahirkan anak, maka harus mewarisi secara
turun temurun tahta sebagai Datu Luwu”.
Permintaan
tersebut diakui oleh orang Ware, berjanjilah Puatta MatinroE ri
Bontoala dengan MatinroE ri Tompo’tikka untuk mengangkat We Pattekke
Tana sebagai Datu Luwu sampai kepada anak cucunya. Kesepakatan ini
disetujui oleh orang Ware yang disaksikan oleh TellumpoccoE.
Dari
perkawinan We Pattekke Tana dengan La Onro To Palaguna lahirlah Batara
Tungke Sitti Fatimah. Kemudian Sitti Fatimah kawin dengan sepupu satu
kalinya yang bernama La Rumpang Megga To Sappaile Cenning ri Luwu. Anak
dari We Yasiya Opu Pelai Lemolemo dengan suaminya yang bernama La
Ummareng Opu To Mallinrung.
We
Fatimah melahirkan tiga orang anak, yaitu We Tenri Leleang, inilah yang
menjadi pewaris Datu Luwu. Yang kedua La Tenri Oddang atau La Oddang
Riwu Daeng Mattinring, dialah yang menjadi pewaris Arung Tanete.
Sedangkan yang ketiga La Tenri Angke Datu WaliE, dialah Datu Mario
Riwawo.
Merasa usianya semakin renta, La Tenri Tatta To Unru Petta To RisompaE MalampeE Gemme’na memilih untuk menetap di Tanah Makassar. Tahun 1696 M. ia meninggal dunia di rumahnya di Bontoala, maka dinamakanlah MatinroE ri Bontoala. La Tenri Tatta Arung Palakka yang juga bernama Sultan Saaduddin dikuburkan di Bonto Biraeng berdampingan dengan makam Sultan Hasanuddin MatinroE ri Bontoala.
KH. HARUN :
Beliau berasal dari Kerajaan Tallo, Petta Barang atau petta To risappae konon beliau mallajang diatas kudanya dan penunggu kudanya hingga sekarang masih ada. beliau adalah keturunan raja barru yang kuat akan agama.
IMAM LAPEO :
Seorang imam di desa Lapeo yang sederhana dan menyebarkan agama Islam sampai ketanah bugis. sering memperlihatkan mukzisat dari sang Kuasa.
DT. SANGKALA
Kami belum mendapatkan refrensi secara detail.
PEMBACA YANG BUDIMAN : Merekalah ke tujuh wali yang diyakini oleh Masyarakat sulawesi selatan sebagai urat nadi penyebar Agama Islam
0 Loroseng Ada.ta:
Posting Komentar