Setiap koloni masyarakat memiliki lokal jeniusnya masing-masing sebagai hasil perenungan terhadap Tuhan, manusia dan alam semesta. Masyarakat Bugis, sebagai bagian dari masyarakat yang mendiami jazirah Sulawesi bagian selatan dan juga bagian dari masyarakat nusantara, sepanjang sejarah telah menghasilkan banyak lokal jenius yang masih relevan. Tanpa bermaksud melebihkan atau mengkomparasikan dengan kebudayaan lain, tulisan ini dimaksudkan sebagai narasi
terhadap pandangan gender manusia Bugis. Dengan demikian, kita bisa menarik benang merah antara pendekatan kultur-historis masyarakat Bugis dengan konteks kekinian. Pandangan tentang kesetaraan gender manusia Bugis (juga Makassar dan Mandar), dapat dikatakan maju melampaui zamannya. Betapa tidak, disaat kaum perempuan di Eropa masih terkerangkeng budaya patriarki, perempuan Bugis telah tampil diruang-ruang pengambilan keputusan kerajaan dan memiliki hak suara yang sama dengan kaum pria. Bahkan, deretan ratu yang memimpin berbagai kerajaan ditiap abad selalu mewarnai zamannya. Dikotomi ruang publik dan domestik bagi perempuan bukan hal yang mesti diperdebatkan. Akan tetapi berjalan secara alamiah tanpa mesti ada teori yang mengatur secara kaku. Meski demikian, harkat dan martabat perempuan tetap dijunjung tinggi. Pelecehan bagi perempuan berarti siri' bagi keluarga perempuan yang berarti mempertaruhkan nyawa demi harkat perempuan. Epos terbesar dunia, I La Galigo adalah karya sastra yang merakyat bagi masyarakat Bugis terdahulu. Begitu mengakar sehingga tidak hanya bernilai sastra, tapi pedoman hidup bahkan bagi komunitas To Lotang dianggap sebagai kitab suci. Secara umum mengisahkan tentang proses pernikahan Sawerigading dan We Cudai. Dimana sebelum manusia menempati bumi, para Dewata dari dunia atas (Botinglangi) dan dunia bawah (Buri Liu), telah merancang sebuah skenario. Tiap Dewata selalu kembar emas, seorang laki-laki dan seorang perempuan. Dari Batara Guru, Batara Lattu hingga ke Sawerigading, semua memiliki kembar emas. Dikisahkan bahwa Sawerigading memiliki kembar yang bernama We Tenri Abeng dan tergila-gila pada pasangan kembarnya. Hal ini dianggap sebagai insest atau sebuah pelanggaran terhadap norma. We Tenri Abeng kemudian menyarankan kepada Sawerigading untuk mencari sepupu mereka yaitu We Cudai yang memiliki kecantikan setara dengannya.
Pada kesempatan ini kami tidak mengulas kisah itu lebih lanjut. Namun ada beberapa poin penting sehubungan epos ini. Pertama, kelahiran Dewata senantiasa kembar emas (seorang laki-laki dan seorang perempuan). Kedua, bahwa dalam pernikahannya, seorang raja senantiasa mencari seorang ratu. Meski terkesan feodal, akan tetapi kita dapat melihat bahwa kaum perempuan telah menempati peran dan posisi sama dengan kaum pria. Setelah fase I La Galigo, masuk fase To Manurung. To Manurung dianggap sebagai nenek moyang kaum bangsawan. Memang, To Manurung masih diperdebatkan hingga hari ini. Tapi semua sepakat bahwa To Manurung di Gowa yaitu Karaeng Bayo adalah seorang perempuan. Setelah itu, sejak tahun 1400an hingga 1950an, selalu saja ada ratu yang memimpin dibeberapa kerajaan di Sulawesi. Dari akar historis ini dapat disimpulkan bahwa sejak dahulu manusia Bugis telah mengenal kesetaraan gender tanpa harus berguru pada R.A. Kartini dan kaum feminis dari barat. Masyarakat Bugis menganut falsafah burane mallempa, makkunrai majjujung, yang berarti pria memikul (2 bagian) perempuan menjunjung (1 bagian). Ini adalah mekanisme pembagian job dalam tugas rumah tangga, dimana suami berkewajiban menafkahi dan istri mengurus rumah tangga. Tapi pembagian tugas ini bukanlah kemestian dalam artian bukan larangan bagi suami untuk mengerjakan tugas istri saat istri berhalangan. Juga sebaliknya, tidak mutlak istri hanya mengurus rumah tangga. Bahkan kadang, suami istri bekerja bersama. Ini disebut sipurepo atau saling berbagi kesusahan. Dalam kekeluargaan, masyarakat Bugis menganut sistem kekerabatan bilateral. Dalam artian, keluarga diakui dari pihak ayah maupun ibu. Ayah disebut ambo atau ama dan ibu disebut indo atau ina. Paman disebut amaure yang secara tekstual berarti ayah emas. Bibi dipanggil inaure atau ibu emas. Kemenakan baik pria maupun perempuan disebut anaure atau anak emas. Bagi masyarakat Bugis dahulu, perempuan berada dibagian belakang rumah dan pria berada di bagian depan rumah. Ini tidak lepas dari prinsip perlindungan kaum pria terhadap perempuan. Terkadang tempat tidur perempuan berada di rakkeang atau bagian atas rumah dibawah trapesium atap. Perempuan dianggap siri' bagi sebuah keluarga. Pelecehan bagi perempuan seperti digoda oleh lelaki, kawin lari, berselingkuh atau pemerkosaan akan berakibat fatal. Keluarga perempuan akan berusaha melukai atau membunuh pria yang melecehkan perempuan keluarganya. Bagi masyarakat Bugis dulu, mati dalam menegakkan kehormatan keluarga yang dilecehkan adalah mati yang indah seperti diungkapkan pribahasa berikut, mate rigollai na risantangi. Perempuan diikat oleh aturan adat yang ketat untuk menjaga kesuciannya. Namun tidak berarti perannya diwilayah publik terbatasi. Perempuan dapat berperan disektor politik dan ekonomi sebagaimana pria pada umumnya.Keanehan kultur Bugis adalah pengakuan terhadap gender ketiga dan keempat, yaitu calabai dan calalai. Calabai adalah pria yang bertingkah seperti perempuan dan calalai adalah perempuan yang bertingkah seperti pria. Meski demikian, ia tidak mempunyai kedudukan yang sama dengan pria dan perempuan pada ruang politik. Bissu sebenarnya telah kehilangan hasrat seksual dan emosi. Sehingga mereka dipandang sebagai manusia suci bagi masyarakat Bugis pra-Islam. Wajar jika Bissu dahulu memimpin ritual-ritual, memelihara regalia kerajaan, memasak di istana dan mengurusi pesta. Calabai yang melewati prosesi irebba yaitu ditanam hidup-hidup selama 7 hari 7 malam dan mendapat petunjuk akan menjadi bissu. Bissu adalah pendeta dalam kepercayaan Bugis pra Islam. Masuknya Islam dan penegakan syariat pada zaman kerajaan perlahan mengucilkan peran bissu. Hingga di zaman pemberontakan DI/TII melancarkan operasi Toba' (taubat). Banyak bissu yang dipaksa menjadi pria bahkan dihukum. Populasi bissu merosot drastis. Dewasa ini yang kebanyakan adalah waria atau calabai. ruang politik dan ekonomi sama seperti pria tanpa harus kehilangan harga diri. Tidak seperti hari ini, demi kata emansipasi, banyak perempuan memamerkan keindahan tubuhnya Kesimpulan Dapat digambarkan bahwa kesetaraan antara pria dan perempuan dalam kultur masyarakat bangsa Bugis telah ada sejak zaman dahulu. Pembagian peran publik dan domestik tidak dipersoalkan. Perempuan tetap dapat memasuki ruang politik dan ekonomi sama seperti pria tanpa harus kehilangan harga diri. Tidak seperti hari ini, demi kata emansipasi, banyak perempuan memamerkan keindahan lekuk tubuhnya dengan murah meriah . Hingga arah gerakan keperempuanan perlu dipertanyakan, apakah mengangkat atau membanting harkat perempuan yang mulia. Selain itu, dalam proses pewarisan kultur serta perkembangan zaman yang semakin pesat, tidak menutup kemungkinan adanya bias gender dalam kultur Bugis. Oleh karena itu menjadi tugas kita semua untuk mengangkat derajat perempuan tanpa harus kehilangan identitas dan tanpa harus kembali kezaman dahulu. Perempuan adalah lelalki yang tak lengkap dan lelaki adalah perempuan yang tak lengkap maka marilah kita saling melengkapi tanpa harus membedakan jenis kelamin.
|
0 Loroseng Ada.ta:
Posting Komentar