Adalah salah satu episode dari epos La Galigo, suatu karya sastra yang bersifat mitologis, tetapi pada hakekatnya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya adalah sesuatu positif dan universal. Meong Palo Karellae (MPK) yang artinya kucing loreng ke merah-merahan ( Bone, Soppeng, Wajo, Sidenreng Rappang), di Luwu biasa disebut Meong Palo Bolonge (MPB) yang artinya kucing loreng kehitam-hitaman, secara prinsipil versinya tidak berbeda hanya menyangkut istilah dan cara pandang seseorang terhadap Meong Paloe, apabila kucing tersebut dilihat dari depan maka warna yang dominan adalah hitam keloreng-lorengan, sebaliknya apabila dipandang dari samping maka kucing itu kelihatan berwarna merah keloreng-lorengan. Sehingga sampai saat ini di kalangan masyarakat Bugis bahwa kucing yang mempunyai warna merah atau hitam keloreng-lorengan dianggap mempunyai aspek kedewataan, karena itu ia harus diperlakukan sebagai makhluk yang sakral dan keramat. Ada beberapa upacara yang mengiringi pembacaan teks (Meong Palo Karellae), antara lain : 1) Upacara Mappalili, 2) Upacara Maddoja Bine 3) Upacara Mappaddendang. Upacara Mappalili : adalah upacara membangun Arajang (Alat-alat kerajaan yang dianggap keramat dan sakral) menjelang musim panen, dalam upacara ini setelah usai membacakan doa, Bissu biasanya menunjukkan kesaktiannya dengan berkali-kali menusukkan senjata tajam ketubuhnya tanpa terluka (Maggiri), dengan diiringi tabuhan gendang dan musik tradisional Bugis yang seperti menghadirkan suasana magis. Apa yang diperagakan para Bissu dalam tarian Mabbissu itu, berupa kekebalan tubuh terhadap senjata tajam, sebetulnya manifestasi dua kekuatan yang menyatu dalam diri Bissu : Kekuatan kelembutan, dan kekuatan keperkasaan (Jalal dan Jamal) (Kombie,A.S,2003:200-201). Bissu adalah sekelompok pendeta agama Bugis kuno pra-Islam. Ketuanya digelari Puang Matowa atau Puang Towa. Bissu dalam naskah I La Galigo adalah perantara antara manusia dan dewata sekaligus sebagai penasehat para raja dan keluarganya dan menjaga Arajang (benda-benda pusaka kerajaan). Mulan turunnya Bissu dipercaya sebagai pendamping Batara Guru ketika turun ke bumi (dunia tengah). Bissu secara fisik adalah campuran antara lelaki dan perempuan yang secara filosofis dimaknai sebagai penggabungan kekuatan dan kelembutan. Sampai saat ini Bissu masih berperan banyak dalam ritual-ritual Bugis, salah satunya upacara Mappalili (Halilintar Latief dalam Kombie,A.S,2003:199-200). Maddoja Bine : diadakan sesudah 20 malam usianya upacara Mappalili, diadakan lima hari lima malam. Tiap malam teks MPK dibacakan oleh seorang Bissu atau orang-orang tua yang dijadikan sesepuh di hadapan seonggokan bibit padi yang akan ditanam di tengah-tengah rumah. Mappaddendang : Diadakan sesudah panen, sebagai tanda kesyukuran atas berhasilnya padi. Upacara ini biasanya diadakan di muka istana kerajaan dengan mempertunjukkan berbagai macam kesenian, sambil menyaksikan para Bissu mempertunjukkan tarian-tarian ritual yang kadang disertai dengan atraksi yang cukup mendebarkan (Maggiri). Saat ini upacara tersebut sudah jarang dilakukan kecuali di Kecamatan Segeri Kabupaten Pangkep, dan di Kabupaten Barru, Kemudian dilestarikan kembali di Kabupaten Bone. MPK (Meong Palo Karellae) mengandung aspek sosial budaya masyarakat Bugis. Seperti yang dilansir di Harian Fajar, Tanggal 23 Maret 2008, kolom 3 baris 46, bahwa Otonomi harus mampu menjaga karakter budaya dan kekhasan daerah. Kalau tidak, maka itu bukan otonomi. “Bahasa Lontara, dan kekhasan daerah lainnya harus bisa dijaga, demikian pula Meong Palo Karellae harus dijaga karena mengandung nilai-nilai kemanusiaan. “RINGKASAN CERITERA MEONG PALO KARELLAE” Sebuah mitos mengenai We Oddangriu puteri Batara Guru yang setelah meninggalnya, menjelma menjadi Dewi Padi (Sangiangserri), Meong Palo Karellae adalah penjelmaan dari ibu susuan (Inannyumparenna) We Oddangriu menceriterakan pengembaraan Sangiangserri dan pengikutnya ke beberapa negeri Bugis untuk mencari manusia yang berbudi baik dan berlaku sopan santun. Batara Guru adalah anak lelaki tertua dari mahadewa langit To Palanroe (sang pencipta), juga dinamai To Patotoe (sang pengatur takdir manusia), dari Datu Palinge (wanita sang pencipta) turun ke bumi atas keinginan dari semua Raja laki-laki dan Raja perempuan di langit dan dibawah bumi, sesudah para keluarga besar mahadewa di langit mengadakan rapat, maka diputuskan untuk mengirim Batara Guru guna menciptakan tulang bumi, yang ketika itu masih kacau balau sebagai tempat yang dapat didiami oleh manusia. Oleh karena Batara Guru tidak dapat tinggal dibumi, selanjutnya ditentukan bahwa kakak lelaki kembar ibunya, mahadewa dari dunia bawah yang bernama Guru ri Sa’lang, dan istrinya dari saudari kembar Patotoe yang bernama Sinau Toja (yang dinaungi oleh air), anak perempuan mereka Wenyili Timo Tompoe (To Ompoe’) ribusa empong (yaitu yang muncul dari buih gelombang) akan dikirim ke bumi, disamping kelima puteri-puterinya lainnya dari bawah bumi untuk dikawinkan dengan Batara Guru sebagai istri pertama dan utama. Batara Guru sesudah itu turun ke bumi melalui pelangi di dalam batang bambu dengan pengiringnya. Sedang Wenyili Timo dengan rombongannya muncul dari buih-buih ombak laut, dan disambut dengan tangan terbuka oleh Batara Guru. Tempat pertemuan ini adalah Luwu yang pada waktu itu dinamai Wara’. Dari sinilah peradaban menyebar selanjutnya keseluruh Sulawesi, dan bahkan keluar negeri, (Morris,2007:5-7). Pada suatu waktu Batara Guru termenung dan melepaskan pandangan ke arah matahari terbit. Tiba-tiba dilihatnya di sebelah timur datang sebuah sinar menerangi lautan, laksana bara api memercik-mercik berkilau-kilau di permukaan laut terhampar. Berkatalah Manurunnge (Batara Guru) kepada dayang-dayangnya : ” Apakah itu (hai) We Senriu, (hai) We Lele-Ellung, (hai) Apputalaga, bagaikan api menyala-nyala di atas samudera itu?” Baru saja lepas pertanyaan Manurunnge itu, tiba-tiba muncullah We Nyili’Timo di atas air (Busa empong), di elu-elukan oleh cahaya cemerlang laut terhampar. Dengan penuh rasa gembira, Manurunnge pun melihat kedatangan sepupunya, teroleng-oleng di atas lautan, maka bersabdalah Batara Guru “Berangkatlah engkau semua putera-putera dewata, menerangi, menyonsong kedatangan Datu junjunganmu!” Maka sekalian anak Datu sama melompat berenang, menyonsong Datu junjungannya. Seolah-olah madu tergenang dalam hati Batara Guru memandang sepupunya, menyuruh angkat naik ke pantai, dan mengundang masuk istana. Pada saat itu, lupalah Batara Guru kehidupan di Botillangi (dunia atas) setelah bergaul dengan sepupunya sebagai suami-isteri. Mereka senantiasa duduk bersanding, menikmati kipasan angin dari kipas emas kemilau. Sesudah tiga bulan lamanya, We Nyili’timo berdiam diatas bumi, ia pun mengidamlah. Tak enak perasaannya, tidak ada barang sesuatu yang dapat diterima oleh perutnya. Pada suatu hari yang cerah, kedua suami-isteri melepaskan pandangan melewati jendela istana. Wenyili’timo pun memandang burung-burung beterbangan. Di antaranya burung-burung itu terlihat seekor yang menerbangkan buah nangka di paruhnya, ada yang menerbangkan pepaya masak dan pisang. We Nyili’timo’ pun menyeru, “memanggil burung-burung itu dan berkata :”Bawaan burung-burung itu tak akan memabokkan, karenanya ingin saya memakannya”. Tepat ketika matahari bersemayam di tengah-tengah langit, bayang-bayang tak condong ke barat ataupun ke timur, maka diulurkanlah turun Puang ri Lae-lae yang tinggal dilereng gunung Latimojong, diulur juga I We Ampang Langi’, yang akan menjadi dukun beranak di istana. Sesudah tujuh bulan kandungan We Nyili’timo’, bersalinlah ia seorang puteri, diberinya nama We Oddang-Riu’. Tetapi tujuh hari saja usia puteri itu, terseranglah ia penyakit perut yang menyebabkan kematiannya. Maka dicarinya hutan untuk tempat menyimpannya, tempat yang akan dijadikan kuburannya. Setelah tiga malam meninggalnya We Oddangriu’, datanglah kerinduan dalam hati Manurunnge kepada almarhumah puterinya. Ia pun keluar menuju kuburan puteri tercinta. Tetapi apa yang dijumpainya hanyalah padi menguning. Itulah sangiangserri. Ada yang putih, ada yang hitam, ada yang merah memenuhi padang, meliputi daratan, memenuhi parit-parit. Maka dibawanya sangiangserri itu pulang ke istananya. Maka berkatalah To PalanroE (Lapatotoe) di Botillangi’ kepada puteranya :” Hai anakku itulah puterimu yang menjelma menjadi sangiangserri”. Tetapi janganlah engkau memakannya dulu. Nantilah setelah lewat beberapa tahun, setelah engkau telah melupakannya, barulah engkau memakannya. Sebelumnya makanlah jagung”. (Mattulada;1985:395-396). Tatkala Sangiangserri (Dewi Padi) merasa tidak lagi dihargai oleh orang-orang Luwu, ia tidak lagi di tempatkan pada singgasananya, penduduk tidak lagi mematuhi petuah, pantangan, dan larangan-larangannya, ia dimakan tikus pada malam hari, di totok ayam pada siang hari, karena hanya Meong Palo Karellae yang mengawalnya justru ia disiksa oleh manusia, maka iapun sepakat dengan MPK dan pengawal-pengawalnya untuk pergi mengembara (Sompe). Dalam pengembaraan itu, mula-mula sangiangserri dan rombongan tiba di Enrekang, lalu terdampar di Maiwa (Duri), kemudian berturut-turut ke Soppeng, Langkemme, terus ke Kessi, Watu, Lisu, sampai akhirnya tiba di Barru. Perjalanan dari Enrekang sampai ke Lisu, penuh dengan berbagai dengan derita dan tantangan, sikap dan perlakuan orang-orang yang tidak senonoh, kucing (MPK) disiksanya habis-habisan, ia dan rombongan kelaparan, kehausan, belum lagi kepanasan yang menimpanya pada siang hari, dan kedinginan pada malam hari. Tetapi ketika ia di Barru, ia menemukan sesuatu yang lain dari tempat-tempat yang telah dilaluinya. Sangiangserri (Sanghyangsri) dan rombongan di sambut dengan penuh kehangatan, dijamu, diistirahatkan di Rakkeyang (loteng), ditambah dengan sifat keramah-tamahan penduduk, keadilan dan kebijaksanaan penguasa, membuat Sangiangserri dan rombongan betah. Sayang sekali Sangiangserri sudah terlalu letih, lelah, dan sedih mengingat suka duka perjalanannya, dan sifat-sifat anak manusia yang ditemuinya, sehingga ia bertekad untuk meninggalkan bumi, untuk kemudian kembali ke langit menemui kedua orang tuanya yang bertahta di Boting Langi (Kerajaan Langit). Tetapi sesampainya di langit, Sangiangserri beserta rombongan tidak diperkenangkan oleh kedua orang tuanya untuk menetap dilangit, sebab memang nasib dan kejadiaannya telah ditakdirkan oleh Tuhan untuk memberi kehidupan kepada orang-orang bumi (Peritiwi). Karena itulah akhirnya mereka terpaksa kembali ke bumi, dan Barru lah yang dituju sebagai tempat menetap mereka. Tujuh hari tujuh malam sesudah Sangiangserri tiba di Barru, barulah ia memberikan petunjuk-petunjuk, petuah-petuah, nasehat-nasehat, serta pantangan-pantangan, khususnya yang berhubungan dengan pertanian, dan norma-norma masyarakat Bugis, baik menyangkut lapangan hidup pertanian, maupun sikap dan perilaku yang patut (Sitinaja) dimiliki oleh masyarakat, agar masyarakat tetap makmur, tenteram, dan sejahtera. Hal ini dimungkinkan karena dengan demikian Sangiangserri akan menetap di Barru, dan itu pertanda sebagai kemakmuran dan kesejahteraan. (dapat dibuktikan bahwa Arung Barru (Raja Barru) adalah keturunan Raja Bone, Mappajunge ri Luwu dan Sombae ri Gowa). Inilah yang menceriterakan kucing loreng kehitam-hitaman atau kucing loreng kemerah-merahan, juga disebut Cokie, Meong Paloe dan Posa’e. Dia (MPK) berkata :” Ketika aku bermukim di Tempe, menetapku di Wage, meski belanak saya makan, meski bete kubawa berlari, tak pernah aku di usik, sabar dan pemurah, tuanku yang punya rumah. Kemudian aku dihina Punna Langi (Penguasa Langit), tak di senangi oleh Dewata, diatas di Ruangllette, dibawah di Peretiwi (Dunia Bawah). Aku lalu terbuang di Enrekang, terdampar di Maiwa, tak teratur makananku. Ketika tuan rumah pulang dari pasar, ia membawa ikan ceppe (semacam ikan mujair), aku mendekat dan merampas, dekat yang paling besar. Dipukulku dengan punggung parang, oleh yang empunya ikan ceppe, bagaikan pecah kepalaku, seperti keluar biji mataku, berkunang-kunanglah penglihatanku, bagaikan keluar isi otakku, melayang semangatku, tersingkap jiwa ragaku, padam pelita di dalam, perasaan hatiku, pupuslah sudah kekuatanku, bergetar-getar (Seluruh) tubuhku. Sembari berlari mendengus, dibawah dapur, bagaikan pupus di dalam, perasaan hatiku, berdenyut-denyut sudah, seluruh anggota tubuhku, maka tersalah semuanya, urat-urat kecilku, bergetar-getar pula seluruhnya, semua urat-urat besarku. Kemudian kembali dilemparnya aku dengan sakkaleng, oleh tuanku yang punya rumah. Akupun berlari diatas papan dapur, ia pun melempar lagi aku dengan pabberung, oleh tuanku yang memasak. Kulari mendengus, di bawah dapur, ditusuknya aku dengan puntung kayu bakar, oleh tuanku yang memasak, kemudian dilanjutkan dengan menusukku dengan pabberung, aku pun lalu terjatuh ke tanah. Kemudian aku di patiti (memanggil anjing dengan menggonggong), tuanku yang punya rumah, maka gegerlah semua orang. Pada berdatangan orang yang menumbuk padi mengusirku dengan alu, memukulkan dengan alat pemukulnya, melemparkan nyirunya (Pattapi), berserakanlah padinya, tertumpah berasnya, menumpuk sambil tersungut-sungut, berhamburanlah sebelah menyebelah, tanpa ia tunduk memungutnya. Ayam pun kemudian membawa lari, sebutir setangkai. Tak henti-hentinya mengomel, tuanku yang menumbuk, ada juga yang mengusirku dengan siak (mengusir kucing dengan kata sih) gegerlah lagi semua orang, perempuan laki-laki, akupun berlari memanjat, pada tiang yang sampai rumah, terus-terus aku naik, hingga sampai di rumah. Kemudian aku masuk di bawah tenun, ditusuknya aku dengan alat tenun, oleh tuanku yang bertenun. Akupun berlari terengah-engah, di bagian rakkeyang, tak henti-hentinya memburu, tuanku yang punya ikan ceppe. Langsung aku naik, di rakkeyang, disusulnya aku yang punya rumah. Lalu aku berlari berlindung, dibawah usoreng (tempat tumpukan padi di rakkeyang), menyelundupkan kepalakaku, mengunci diriku, dibawahnya We Tune (nama lain dari Datu Sangiangserri), ratunya sangiangserri tak henti-hentinya marah, isteri yang empunya rumah, laksana kabut yang mengepul, raut mukanya dipandang, tak henti-hentinya mengumpat, laki-laki perempuan, seluruh isi rumah. Kebetulan sekali, nyenyak tidurnya, Datu Sangiangserri , ia diserempet oleh ujung cambuk, ia pun berpaling terkejut, bangkit dengan awut-awutan, Datu Sangiangserri. Alangkah ibanya jiwanya, pilu perasaannya, melayang semangatnya, sedih di dalam, perasaan hatinya, Datu Sangiangserri. Sembari menangis We Tune’ berkata : sang keturunan pajung (gelar bangsawan tertinggi di Luwu) :” Bangunlah sekalian ! padi ketan padi biasa, semua padi yang setia, tak usah tinggal menderita, di tempat usoreng ini. Bangkitlah kita pergi mencari sifat-sifat yang baik, aku tak mau lagi tinggal disini, di totok oleh ayam, dimakan oleh tikus, sebab hanya kucing yang diharapkan untuk menjaga kita, berjaga-jaga tanpa tidur, malam dan siang, menangkap tikus, agar tidak gugur tangkaiku, maupun pengikatku, justru dialah (MPK), yang sangat dibenci, oleh isi rumah”. Belum lagi habis pembicaraan, Datu Sangiangserri, maka pada bangkitlah, seluruh isi rakkeyang, sama duduk melingkar mengelilingi tumpukan padi, besar kecil, beras ketan beras biasa, semua padi yang banyak, semua padi yang setia. Belum lagi hancur daun sirihnya, belum sempat berkedip mata, maka sama bergerak, semua padi yang banyak, diarak bergerak, di muka We Tune, Datu Sangiangserri. Berkata sembari menangis We Tune :” Bagaimana tanggapanmu, menurut pikiranmu, perihal dibencinya sang kucing, disiksa siang malam. Sebab menurut pendapatku, di dalam sanubariku. Lebih baik kita pergi membuang diri di kampung yang jauh, mencari budi pekerti yang baik. Siapa tahu kita mendapatkan orang sabar dan berpasrah diri, sesuai keinginan kita, tahu menghargai Wisesa (Sangiangserri), menaikkan padi, tidak cemburu hati terhadap tetangganya, sabar berpasrah diri, terhadap sesama manusia, laki-laki yang jujur (lempu), wanita yang dermawan (malabo), mengantar orang yang bepergian (marola), menjemput orang yang datang (madduppa), memberikan makan orang yang lapar, memberi minum orang yang haus, menyarungi (memberi sarung) kepada orang yang telanjang, menerima orang yang susah, menampung orang yang terdampar, menerima orang yang dibenci, menerima semua orang, yang diperlakukan sewenang-wenang, oleh sesama manusia” inilah dinamakan malabo (dermawan). Serentak sama mengiya, semua padi yang banyak, juga gandum dan jagung, serta semua teman-temannya. Belum lagi hancur daun sirih, belum sempat mata berkedip, maka sama berangkatlah, semua padi yang banyak, mengikuti ia turun, di arak dengan tenang, Datu Sangiangserri. Kemudia ia sampai berdesakan, dirumah Matoa, Sulewatang Maiwa, yang diikuti menurun, oleh Datu Meong Paloe, memenuhi sebagian rumah. Belum lagi hilang letihnya, duduknya dirumah, Datu Sangiangserri, kebetulan sekali, sedang makan orang dirumah, menyendok nasinya secara berhamburan, menyuap tanpa memasukkan di mulut sehingga nasi berhamburan di lantai, tanpa tunduk memungut, ibu yang melahirkannya, dan tidak mau di tegur, terhadap teman-temannya. Kemudian ia (penghuni rumah) berpaling berontak, menangis meronta-ronta, merajuk tak henti-hentinya, sembari menggaruk-garuk kepalanya, dan menarik rambutnya, diiringi dengan keringat yang bercucuran. Melemparkan nasinya, berhamburanlah ia, ke kanan dan ke kiri. Marah nian bapaknya, juga ibu yang melahirkannya, di sumpah-sumpahinya anaknya, juga teman-temannya, dan berkelahi dengan suaminya. Kemudian ia berpaling sembari berkata, Datu Sangiangserri, terhadap teman-temannya :”Saya tak ingin bermalam, tidak ditakdirkan We Tune, Tuhan Pabare-baree, di atas di Boting Langi, di bawah di Peretiwi, duduk bertahta di Maiwa, memberi kehidupan orang bumi. Tak kusenangi perbuatannya, juga sifat-sifatnya, matoa petani tersebut, Sulewatannya Maiwa. Turutlah kalian! Kita pergi, mencari sifat-sifat yang terpuji, agar kita menemukan, sesuai kehendak hati kita perempuan yang rapih, lelaki yang berpasrah diri, lapang dada di dalam sanubarinya (baik hati), tidak culas, berpasrah diri terhadap sesama manusia, tahu menjemput wisesa (padi), menaikkan Sangiangserri di rakkeyang. Serentak mereka berangkat, semua padi yang banyak mengikuti menurun, Datu Sangiangserri, dipikul oleh air, bertelekan tanah, menyeimbangkan (badan) pada angin, berjalan beriring-iringan, Datu Sangiangserri. Belum hancur daun sirih, belum lagi mata berkedip, maka ia pun telah membelakangi Maiwa, dan didepannya adalah Soppeng, di pinggirnya terdapat Pattojo, dekat pula La Injong, yang mengarah ke Bakke. Keesokan harinya, ketika langit cerah, matahari bersinar di balik pegunungan, matahari yang bersinar. Fajar pun telah menyinsing, maka berpalinglah berkata, Datu Sangiangserri, kepada teman-temannya : “Sebaiknya yang mana kita harus tuju, apakah yang disebelah utara, jalan yang menuju Bakke, ataukah yang disebelah barat, jalan yang menuju Tanete”, maka serentak mengiya, semua teman-temannya dan berkata:”Anginlah engkau dan aku hanya daun kering (Angikko ku raukkaju), kemana tuan bertiup, ke situlah hamba terbawa”. Kemudian singgah beristirahat sejenak, Datu Sangiangserri di perantaraan kampung, menyebarkan baunya, harumnya menusuk hidung, di dapatinya, Datu Tiuseng (bibit), gandum dan jagung, dan jelai yang banyak, dalam keadaan sedih pada bertangis-tangisan, di luar kampung, pada bersiap-siap untuk membuang diri. Buntulah perasaannya, Datu Sangiangserri, karena tidak ditemuinya satu pun, kampung yang bakal ditempatinya. Kemudian ia berpaling dan berkata Datu Tiuseng, terhadap teman-temannya :”Perbaiki gerangan dirimu, seperti aku melihat, tuan kita yang disembah, yaitu Tuan kita We Tune Datu Sangiangserri, mari kita ikuti dari pada tinggal berdesakan, di perantaraan kampung, dimakan tikus, di totok ayam, dan dimakan hama. Belum lagi habis ucapannya, Datu Tiuseng, maka tibalah ia berdesakan, keturunan mappajung, keturunan dari Boting Langi, keturunan dari Peritiwi. Kemudian berpaling dan berkata, Datu Sangiangserri : Dengarkan baik-baik kataku, Datu Barelle (jagung), Datu Tiuseng (bibit), dan semua jelai yang banyak, aku bertanya baik-baik, apa gerangan yang menyebabkan engkau duduk disitu, di luar perkampungan, serentak mereka sujud sembari berkata, Datu Barelle, Datu Batae, Datu Riusenge, dan semua jelai yang banyak :” Sudah terlalu sakit aku Tuanku, tidak dibawa ke rumah, orang di Langkemme. Bawa aku Tuan, dan kita memilih tempat menetap, kampung yang kau tetapkan”. Ia pun berkata, Datu Sangiangserri :”Kendatipun demikian ucapanmu, biarlah singgah sejenak, di kampung Langkemme, menenangkan perasaan. Siapa tahu kita menemukan, sesuai kata hati kita, sabar dan berpasrah diri, lelaki yang jujur, perempuan yang apik, dan berlapang dada, terhadap sesama manusia, tidak berbuat culas, tidak cemburu hati, terhadap tetangganya, sabar dan pasrah, terhadap anak cucunya, sabar dan tekun, tidak cemburu hati, terhadap orang-orang sekampungnya”. Ia pun menangis dan berkata, Datu Sangiangseri, terhadap teman-temannya :”Tidak jadilah saya menetap, di Kampung Langkemme, saya sangat pedih (melihat), marah tak tentunya, berkata-kata seenaknya, Matoa petani, yang berkuasa di Langkemme, di sumpah-sumpahinya anaknya, disinggung perasaan teman-temannya, disakitinya sekampungnya, orang yang cemburu hati, terhadap tetangganya. Mereka mengundang bala yang dahsyat, oleh sifat yang tidak terpuji”. Ia pun mengulang lagi perkataannya, Datu Sangiangserri : ” Mari kita berangkat, mencari sifat-sifat yang terpuji, siapa tahu kita menemukan, sesuai kata hati kita. Sabar penuh pasrah, terhadap sesama manusia, laki-laki yang pemurah, perempuan yang apik, berpasrah diri, terhadap sesama manusia, diberinya kuru’ sumange’, keluarga dan sekampungnya, tidak culas, tahu menjemput wisesa (padi), menaikkan ke rumah Sangiangserri. Serentak mereka sama berangkat, turun kembali, Datunna Sangiangserri, diusung oleh air, bertelekan pada tanah, menyeimbangkan tubuh pada angin, melewati perantaraan kampung, ketika mentari di rembang senja, bertemulah dengan gelap, pelita sang Datu pun telah menyala, ketika ia telah membelakangi Langkemme. Belum lagi habis daun sirih, belum lagi mata berkedip ia pun telah berada di Ambang (kampung) Kessi, ia pun berpaling sambil berkata, Datu Sangiangserri : “Marilah kita singgah sejenak, di kampungnya orang Kessi, siapa tahu kita menemukan, sesuatu kata hati kita, itulah kemudian yang kita tempati, menetap di dalam, tenggorokan manusia”. Merekapun serentak mengiya, semua padi yang banyak, gandum dan jagung, dan semua jelai yang banyak. Belum lagi habis daun sirih, belum lagi berkedip mata, merekapun telah sampai di Kessi, langsung mereka naik, di istana kerajaannya, Matoa petani, yang menguasai Kessi, memenuhi sebagian rumah, mereka duduk, sembari bersandar dengan santai, pada bagian tiang rumah. Kebetulan sekali, sedang berkelahi dengan suaminya, orang di dalam rumah. Dan ketika senja hari, mereka berlomba-lomba memasak, pada menaikkan pancinya, menjejerkan belanganya, sembari duduk berdesak-desakan di muka dapur. Ada yang sedang memegang sajinya, ada yang mengayu akan sendoknya, sementara yang lain mengaduk peniupnya. Di tengah-tengah dapur, dan memperebutkan puntung kayu bakar. Maka menangislah sambil berkata, Datu Sangiangserri :”Dengarkanlah sekalian, semua padi yang banyak, di Kampung Lakessi. Tak kusukai perbuatannya, tak kusenangi sifatnya, wanita tercintanya, Matoa petani, yang berkuasa di Lakessi. Mari kita turun ! pergi mencari sifat yang baik, agar kita menemukan, sesuai dengan bicara (kata hati) kita, sesuai dengan jalan pikiran kita, bicara yang tidak bertentangan, wanita yang apik, laki-laki yang patuh, terhadap sesama manusia, tahu menjemput wisesa, menaikkan Sangiangserri, tidak cemburu hati, terhadap tetangganya, dan menerima orang yang kesusahan”. Serentak mereka turun, diusung oleh air, bertelekan pada tanah, menyeimbangkan tubuh pada angin, dan akhirnya beristirahat sejenak di perantaraan kampung, sebab sudah terlalu lelah, Datu Sangiangserri, berjalan jauh. Mereka kemudian naik di rumah sebelah timur, tak mendengar suara apapun, dan tak melihat seorangpun, duduk menghidupkan pelita ketika gelap mulai menjelang. Mereka tidur bersilang-silangan, laki-laki perempuan. Serentak dia naik, Datu Sangiangserri, langsung meraba, tempayan yang didudukkan, tak ditemuinya setitik airpun, apalagi yang namanya seteguk, ke Datu Tiuseng, gandum dan jagung, semuanya jelai yang banyak, Datu Meong Paloe. Kemudian mereka berkata :”Kur jiwa semangatmu (Kuru’ sumange’mu), keturunan La Patotoe, keturunan Datu Mangkau’, anginlah engkau ku daun kayu yang kering, di atas engkau bertiup, datu engkau terdampar, kuikuti terbawa, terbawa-bawa sampai, di dunia pammasareng (alam arwah). Belum lagi lepas ucapannya, serentak mereka telah tiba berdesakan, di rumah peristirahatannya, Matoa Watu, memenuhi rumah sebagian langsung ia naik, Datu Meong Paloe, menghempaskan diri berbaring, diatas onggokan padi, seketika ia langsung tertidur pulas. Belum lagi kering keringatnya, Datu Sangiangserri, ketika lewat tengah hari, isteri yang empunya rumah, tanpa mencuci kaki, langsung naik ke rakkeyang, mengambil padi seikat. Bertepatan ketika itu, berbaringnya sang kucing, di puncak onggokan padi tersebut, mengumpulkan dengan baik, desahan nafasnya, sebab sudah terlalu capek, berjalan sepanjang jalan, rasa laparpun telah memuncak, lapar dan dahaga, perasaan jiwanya, Datu Meong Paloe. Bergetar-getar seluruh tubuhnya, bergerak-gerak dagingnya, berkunang-kunang sudah penglihatanya. Ia kemudian diusir, tapi sang kucing tetap saja enggan bergeser, Datu Meong Paloe, spontan ia naik, menyepaknya dengan ujung kaki, maka terlemparlah sang kucing, terdampar persis di depannya, Datu Sangiangserri. Ia pun bangkit awut-awutan, sembari berpaling dan terkejut, Datu Sangiangserri. Ia pun berangkat dengan mengamuk isteri yang empunya rumah, diangkatnya padinya, dengan marah dan berjalan turun, menuju ke lesung, tanpa mengistirahatkan sebentar, di tengah rumah. Ia pun menumbuk dengan mulut komat-kamit, berhamburan sebelah-menyebelah, tanpa tunduk memungutnya, maka ayampun membawanya lari, sebutir dan setangkai. Ia pun menangis sembari berkata, Datu Sangiangserri, terhadap teman-temannya : “Ayo kita turun dan berangkat, hatiku sangat pedih, melihat perbuatan takabbur, dari yang empunya rumah. Maka serentak mereka berangkat, Datu Sangiangserri, diarak dengan tenang, diusung oleh air, bertelekan pada tanah, maka menipislah sudah, seluruh isi rakkeyang, penguasa di Watu. Kemudian ia pun menangis dan berkata, Datu Sangiangserri “Ayo kita turun, menelusuri takdir kita, yang telah ditetapkan, To Pabbare-baree (yang memelihara), mencari sifat-sifat yang terpuji, siapa tahu kita menemukan, wanita yang apik, laki-laki yang sabar, berpasrah hati, terhadap sesama manusia, tahu menjemput wisesa, menaikkan Sangiangserri. Merekapun telah sampai d Lisu, menangis dan berkata We Datu :”Ayo kita singgah sejenak, di istana kerajaannya, Matoa petani “Serentak mereka mengiya, semua padi yang banyak, semua teman-temannya. Bertepatan ketika matahari di rembang senja, bertemunya gelap, ketika mereka tiba berdesakan, memenuhi rumah sepotong, bagaikan angin ribut yang datang, suaranya kedengaran, tanpa kelihatan wujudnya, berhamburan menusuk hidung, harumnya We Tune, memabukkan harumnya. Bertepatan sekali, sedang makan minum orang Lisu, berjaga menghadapi bibit padinya, begitu sulit nasinya (makan), menggerutu, di dalam jiwanya, isteri petani, sumpah serapahnya tak henti-henti, kata di dalam hatinya :”Apakah berhasil kelak, ataukah tidak, padi yang kupersiapkan, sudah terlalu banyak, belanjaku yang tak habis-habisnya, perbuatan yang tak karuan, Matoa petani, yang berkuasa di Lisu ini. Dan disini semuanya berkumpul, keluarga dan sekampungnya, begitu sulit nasinya, itulah yang membuat aku malu, berjalan di saksikan oleh orang”. Tak henti-hentinya ia bersumpah, isteri yang sama keturunannya, Matoa Lisu, kebetulan sekali suaranya di dengar, oleh Datu Sangangserri, ketika menyerakkan baunya, bau-baunya We Tune’, memabukkan baunya. Sembah sujud sembari berkata, Matoa petani itu :”Maafkan aku oh marupe ingatlah tuan, dan maafkanlah hambamu, lalu kemudian ia berpaling, kepada isterinya yang lalai; “ingatlah marupe musuhlah nafsumu, batasilah murkamu” Dapatkah engkau gerangan Datu watena, keturunang Mappajung, yang menyerbakkan baunya, dan memabukkan harumnya, kasihanilah aku We Raja, duduklah di sini marupe, di kampungmu di Lisu memberi makan orang bumi, simpanlah di luar langit, dan di atas bara, amarahnya hambamu”. Ia pun menangis dan berkata, Datu Sangiangserri : “Baik sekali ucapanmu, hai Matoa petani, aku akan tetap pergi, mencari orang yang berbudi pekerti, orang lapang dada, dan mempunyai sifat-sifat yang terpuji. Biarlah aku pergi membuang diri, agar aku menemukan, sesuai dengan ucapan, di dalam jiwaku, wanita yang apik, laki-laki yang jujur, sabar dan berpasrah diri, terhadap sesamanya manusia, tahu menjemput wisesa. Kiranya di situlah menetap, semangat sanubariku, barulah aku berhenti merantau. Sebab saya tidak senang, ittikad yang tidak baik, isteri yang sama turunannya, Matoa petani itu, tidak mengenal siapa We Tune’, yaitu keturunan Lapatotoe anaknya I Lasangiang yang menetap di Boting Langi, di bawah di Peritiwi, keturunan manusia pertama, anak mappajung, membawa kesusahan yang tiada taranya, dan kesedihan, sampai akhirnya terdampar di kampungmu”. Sembah sujud dan bersumpah, Matoa petani, yang memerintah di Lisu, menengadahkan kedua tangannya, menyesali diri tak henti-hentinya, terhadap orang-orang yang ada di dalam rumah, terhadap isterinya yang lalai, isteri seketurunannya, wanita durhaka, tidak mengenal We Tune, keturunan yang disembah. Bagaikan pupus di dalam, perasaan hatinya, Matoa petani, penguasa di Lisu. Tanpa berpaling lagi, Datu Sangiangserri, langsung berangkat, diarak dengan tenang, diusung oleh air, bertelekan pada tanah, dan menyeimbangkan badan pada angin, melewati perantaraan kampung. Ia kemudian singgah mengamati, perantaraan kampung, mereka pun datang berdesakan, dipinggir rumah, Sulewatang yang memerintah, sebagai penguasa di Lisu. Kebetulan sekali orang sedang bertengkar, sekeluarga, Ia pun mendengarkan yang disebelah timur, maka tak seorangpun yang di dengarnya, berkata-kata yang baik, perempuan laki-laki, penduduk Lisu, dan tidak mempunyai pendapat yang searah, sekampung dan sekeluarga, dibencinya semuanya, dan cemburu hati, terhadap sesamanya kita turun berangkat, menelusuri suratan takdir kita, yang telah digariskan, oleh To parampuk-rampuk’e, menelusuri jalan yang benar, berjalan jauh, agar kita menemukan, orang yang sesuai dengan kata hati kita, sabar dan berpasrah diri, pengasih dan pemurah, merendah diri, terhadap teman-temannya, sekeluarga dan sekampung, jujur dan hemat, sabar dan rajin, dan diatasi oleh Batara, dipayungi Batara, dan diliputi oleh Peritiwi, agar kita menemukan, sesuai dengan kata hati kita, dan kita pilih sebagai tempat menetap, semangat sanubari kita, menyatukan cahaya semangat kita”. Serentak mereka mengiya, semua padi yang banyak, padi ketan padi biasa, semua padi yang setia, Serentak ikut pula rombongan, gandum jagung, semua jelai yang banyak, Datu Meong Paloe, berbondong-bondong mengikuti. Datu Sangiangserri, diarak oleh awan, bertelekan pada tanah, menyeimbangkan tubuh pada angin, menelusuri perantaraan kampung, mengikuti jalan yang panjang, mengikuti anak sungai yang panjang. Mereka tidak lagi mengamati, semua kampung yang banyak, kampung yang luas. Tiga hari tiga malam, jalan sepanjang jalan, merekapun tiba pada sebuah persimpangan jalan, keturunan mappajung, keturunan yang disembah, buntulah pikirannya, semua padi yang banyak, Datu Sangiangserri. Mereka kemudian serentak berkata : “Aku menengadahkan tangan Tuanku aku ada kulit bawang We Tune’, tenggorokanku di dalam, akan datang La Puang, jawablah kata sepotong, keturunannya yang disembah, anak mappajung, kemana gerangan tibanya, matahari itu”. Mereka kemudian menemukan simpang jalan, yang menuju ke Barru, mereka lalu sembah sujud, semua padi yang banyak, “Kemana gerangan jalan yang kita tuju, apakah kita melewati, jalan menuju Barru? “Menjawab dan berkata, Datu Sangiangserri :” Sebaiknya kita lewat, jalan yang menuju Barru, siapa tahu kita menemukan, sesuai dengan kata hati kita, menampung orang yang terdampar, menerima orang kesusahan, sabar dan pasrah, jujur dan berhati-hati, dilindungi aku Batara, diliputi oleh Peritiwi, memusuhi nafsunya, dan membatasi marahnya. Sebab menurut firasatku, di dalam sanubariku, di sinilah (Barru) tempat menetapku, rumah mahligainya, Pabbicara di Barru, terang benderang kulihat pelitanya, penuh semangat perasaanku, mendengar suara kawalakie, rajin menegur, terhadap anak cucunya, diberinya kuru’ sumange’, terhadap semua teman-temannya. Tempat yang kita pilih sebagai tempat menetap, adalah yang berlapang dada, merendah diri, menghargai sesama keluarga dan sekampung, berbicara jujur, tidak berbuat culas, terhadap isi hatinya”. Kemudian ia tunduk sembari menangis, Datu Sangiangserri, menenangkan perbuatannya, Matoa Maiwa, sambil menghempaskan ingus ia berkata :”Apakah kalian masih ingat ketika pertama kali lahir di Luwu, lalu terdampar ke Ware’, yang membuatku bersedih, tak dikembalikannya aku ke dalam, Tuan kita manusia pertama, jelas tidak datang lagi, di dalam perutnya kembali, sama sepakat, Tuan kita yang wanita yang timbul dari Busa Empong, turun di Luwu. Itulah yang membuat saya marah, kupergi membuang diriku. Kubelakangi Luwu, kuterdampar di ware, sampai akhirnya tiba, di kampung Barru. Tidak ditakdirkan We Tune, To Pabbare-baree, menjadi manusia di Luwu, menyempurnakan kehidupan kampung, Ware, mendinginkan orang banyak, Barru telah ditetapkan diberikan untukku, oleh Tuan kita manusia pertama, yang turun di Luwu, sama sembahnya di ware. Tidak ditakdirkan We Tune, menjadi datu di Luwu, menjadi Pajung di Luwu, dan melayanglah sudah, jiwa raga mangkau’ku, sehingga menjadi padi menguning. Tiga hari setelah aku lahir, di istana kerajannya, senapati mangkauku, orang pertama di Luwu, yang menetas di bambu betung (Tellang Pulaweng). Usiaku kemudian pendek, Tuhan telah mentakdirkan, mati muda di dunia, menjadi Sangiangserri, menjadi padi menguning, pada perbuatan terlarangku, kubur pembaringanku. Disakiti aku oleh orang Luwu, itulah yang kusakitkan, kupergi membuang diri, kubelakangi Luwu, kuterdampar di Ware, kuterdamparlah di Barru. Sangat takbur nian, orang Luwu dan Ware, aku tidak dinaikkannya, dirumah peristirahatannya, hampirlah aku jadi benir, di patuk-patuk oleh ayam, dimakan tikus, baginya lebih berharga, lebih disenangi, makanan yag salah, dia lebih menyukai, talas dan ubi, sedih nian di dalam, perasaan hatiku aku pun pergi membuang diri, kuterdampar di Barru Belum lagi habis ucapannya, Datu Sangiangserri, matahari pun telah senja, mereka pun sampai berdesakan, di pinggir kampung, yaitu kampung Barru, kampung berkelilingnya. Ia pun berdiri mengamati, di muka rumahnya, Matoa Barru bertepatan sekali, bertutur kata yang baik, isteri seturunannya, Pabbicara di Barru, seiya sekata semua orang, di dalam rumah. Terus ia naik, Datu Sangiangserri, di rumah perisirahatannya, Pabbicara Barru, menyebarkan baunya, memabukkan harumnya. Laksana angin topan yang datang, begitu kedengarannya, Datunna Sangiangserri, berdiri bersandar We Datu, pada papan tangga, enggan untuk naik, keturunan mappajung itu. Maka terasalah di dalam, dalam hatinya, Isteri Pabbicara, Ia Pun bangkit merangkak-rangkak, Matoa di Barru, sama berangkat ke belakang, sekeluarga, mengambil air secerek, menanti baiknya, Datu Sangiangserri, sembari menghamburkan benih, isteri Pabbiara, menyembah sambil berkata : “Kuru’ Sumange’mu, Datu Sangiangserri, sangiang yang berdarah biru, keturunan yang disembah, naiklah kerumah, Datu Sangiangseri, Datu Gandum, Datu Jagung, semua jelai yang banyak, Datu Meong Palo, Datu Tiuseng, telah terhampar tikarmu, tikar yang berpinggir laken”. Lalu di panggillah Bissu, ditudunglah puncaknya, dan dikipas dengan La Wollo, dan dibunyikan gendang, dan dipukulkan gong, dibunyikan leang-leang, cacalepa emasnya, seruling yang turun (dari langit), ramailah kedengaran, upacara datu, keturunan mappajung. Berdirilah We Datu, dijemput oleh Bissu, dipanggil semangatnya, dan dihimpun jiwanya, dan di datangkan semangatnya, cahaya semangatnya yang pudar, keturunan dari Boting Langi’, keturunan di Peritiwi. Sembah sujud dan berkata, isteri Pabbicara, anak beranak dan suami (sekeluarga) :”Kuru’ Sumange’mu, keturunan Opu yang disembah, sebelah menyebelah berdarah murni (maddara takku), naiklah ke rumah, duduk di singgasanamu, semua padi yang banyak, pada kedudukan kecintaanmu”. Barulah kemudian naik, Datu Sangiangserri. Maka tampaklah kelihatan We Datu, menjelma kelihatan manusia, di pandang oleh manusia, Lalu dicucikan kakinya, baru We Tune’ duduk. Maka serentak pada naik pula, semua padi yang banyak, semua padi yang setia, gandum, jagung, semua jelai yang banyak, dan Datunna Meong Paloe. Sembah sujudlah cepat, isteri Pabbicara, sekeluarga, dan sama-sama berkata :”Di ataslah engkau duduk, hai keturunan datu yang di sembah, keturunan yang pantang di durhakai, sangiang berdarah murni, semua teman-temanmu, di mahligai kemewahanmu, Kuberi engkau kuru’ sumange’mu, duduklah menetap, menyebarkan keturunanmu di Barru, demikianlah ketentuan, memberi kehidupan orang bumi”. Barulah kemudian ia duduk, Datu Sangiangserri, semua hamba terhormatnya, mendudukan orang yang banyak, memenuhi rumah sepotong hamba yang diharapkannya, Datu Sangiangserri. Di minyak-minyakilah, dan didupailah, laksana kabut yang naik, asap kemenyan itu, kemudian di jamu dengan sirih. Sembah sujud ia berkata, isteri Pabbicara, sekeluarga :”Duduklah engkau hai We Raja, di kampungmu di Barru, demikianlah ketentuan, semangat jiwa ragamu, memberi kehidupan orang bumi. Ku pergi memanggil, semua penduduk Barru, sebab sudah terlalu lama engkau tinggalkan, membelakangi kampungmu, pergi tanpa perkataan pulang, haus dan lapar sudah, pendudukmu di Barru. Sejak kamu telah pergi, sepanjang jalan, menuruti jalan yang panjang, melewati perantaraan kampung, tak pernah lagi kembali, datang Sangiangserri, dan naiklah wisesa itu, di sini di tanah Barru. Tunduklah tanpa berkata, Datu Sangiangserri, belum lagi hilang capeknya, Datu Sangiangserri, serentak berdatanganlah, penduduk Barru, secepatnya pada naik, memuja-muja tak henti-hentinya, di hadapan We Datu, memberi kuru’ sumange’, Datu Sangiangserri, semua padi yang banyak, para hamba, Matoa petani memanggil dengan cepat, semua penduduk Barru. Belum lagi hancur daun sirih, dan belum sempat mata berkedip, maka pada berdatanganlah berbondong-bondong, tamu yang banyak, penduduk Barru, melingkar bak pasar ramainya, Tak henti-hentinya naik, jamu-jamuan We Datu, belum begitu matang Wisesa, pemberian jamuan dinaikkan oleh orang Barru. Belum lagi hancur daun sirih, dan mata berkedip, maka diangkatlah ke luar, jamuan untuk We Datu : lepet jelai, ketupat gandum, pisang raja bersisir, kelapa muda, tebu yang telah dibersihkan, nasi ketan berkepal di piring, juga dibuat seperti tiang, dan dibentuk seperti orang-orangan, diruncingkan puncaknya, bulat seperti bulan tengahnya, dan ditudungilah atasnya, lalu digantungi emas semua puncaknya, semua ubi dan talas, penjemput hidangan, untuk Datu Sangiangserri, semua padi yang banyak, dan Datu Meong Paloe. Sesudah makan minum, Datu Sangiangserri, maka segera diberi sirih, dan kembali di dupai, laksana kabut yang mengepul, asap kemenyan, mengembalikan semua semangatnya, Datu Sangiangserri, menghimpun jiwa We Datu, duduk bergembira ria, semua teman-temannya, Datu Sangiangserri. Maka sembah sujudlah berkata, semua penduduk Barru :”Kuru’ sumangemu’, keturunan opu yang disembah, mangkau’ yang terhormat, seperti aku diliputi langit, dikasihani Dewata, gembira tak terkira, senangku tak terukur. Karena pada akhirnya kau kembali, kusandari tak bergoyah, demikianlah ketentuan di dalam tenggorokanku, bersama-sama kita ke maje (akhirat), pada hari kemudian”. Menjawab dan berkata, Datu Sangiangserri :”Dengarlah baik-baik, isteri Pabbicara, semua orang yang banyak, penduduk Barru, apabila kau kekalkan, sifat-sifat baikmu, kata-katamu yang tidak bertentangan, di dalam kampung, itulah yang aku senangi, kembali semua semangatku, maka itulah satu ampunan, orang yang menerima orang yang kesusahan, menampung orang yang terbuang, menerima orang yang dibenci, disertai belas kasihan, orang yang menampung orang terbuang, membawa susah tiada taranya. Itulah sebabnya kutinggalkan Luwu, kuterdampar di Ware, kusampai di Maiwa, karena dibencinya kucing, disiksanya kucing, jauh aku mengembara, hingga tiba di Barru, karena engkau mempunyai sifat menerima, orang yang kesusahan. Sembah sujud dan berkata, isteri Pabbicara :”Kuru sumange’mu, keturunan opu yang disembah, keturunan pajung, Datunna Sangiangseri. Kehendakmulah We Raja, kepadamulah We Datu, sebab tuanku tahu, kami ini orang dungunya Dewata, apa kehendak We Datu, itulah yang saya ikuti. Karena engkau maha pengasih, beritahukanlah aku Puang, ajarkanlah semuanya tingkah-laku Sangiangserri, kuyakini dengan pasti, di dalam hatiku, kugenggam tak terlepas, engkau yang tertua sejak awalnya, aku hanya tua dalam kelahiran”. Menjawab dan berkata, Datu Sangiangserri :”Baiklah kalau begitu ucapanmu, dengarlah baik-baik, isteri Pabbicara, semua orang yang banyak, kalau kau kekalkan, sifat-sifat lembutmu, ucapan yang tidak bertentangan, sekeluarga dan sekampung, di dalam kampung, benarlah aku duduk di Barru, demikianlah ketentuan, di dalam kerongkonganmu. Karena itu kamu orang Barru, janganlah saling bertentangan, sekeluarga dan sekampung, di dalam kampung, benarlah aku duduk di Barru, demikianlah ketentuan, di dalam kerongkonganmu. Karena itu kamu orang Barru, janganlah saling bertentangan! pada sore hari, jangan membesarkan suaramu! pada waktu tengah malam, jangan besar suara pada subuh hari, pada fajar subuh, sebab saya terkaget-kaget, iba perasaanku, padam semangatku. Itu ketika aku berjalan, berkeliling di kampung, mencari sifat-sifat yang baik, mendengar suara, orang yang berbudi luhur, yang bagus tutur katanya. Sebab yang selalu kucari, sebagai tempat menetapku, adalah orang yang mempunyai sifat-sifat yang baik, itulah tempatku menetap, kampung yang berhati-hati. Tiga kali semalam, aku berkeliling dunia, jangan sekali-sekali menggemuruh! Memukul timba tempayanmu, kalau kau menimba air, perbaiki terlebih dahulu! Perasaan hatimu, yang membuat senang, jangan sekali-sekali padamkan lampumu! Pada tengah malam, jangan tak menghidupkan! Apimu di dapurmu, tutuplah tempat berasmu! Kumpulkanlah takaranmu! Itu yang membuat aku gembira, kembali semua semangatmu, pada malam hari, Jangan sekali-sekali tidak mengumpulkan! Sajimu bersama sendokmu, kalau kamu tidak mengindahkan, pantangan wisesaku, sifat-sifat Sangiangserri, ketika aku sedang bersiap-siap, naik ke tangga, menuju rumah, ketika aku pergi, mengelilingi kampung, kudapati kalian ribut, di muka dapur, bertengkar di rumahmu, aku turun kembali. Tiga tahun kemudian, hilang semangat rezekimu, di dalam dunia, wisesa (bibit) yang kamu tanam. Tidaklah tahu hal ihwal? Keturunan I La Patotoe, keturunan To Palanroe, menetasnya di Luwu, anaknya Batara Guru, orang pertama di dunia. Berkeliling di dunia, menyebarkan baunya, memabukkan harumnya, mencari sifat-sifat yang baik, diantar oleh rasa kesedihan, pergi kemana-mana, mencari orang yang penyayang. Ia pun menangis sambil menunduk :”Tahukah engkau, para penduduk Barru, hambaku di Watampare, saya bersiap-siap, menuju (naik) ke langit, sebab sudah terlalu perih, perasaan hatiku, dudukku (ketika menetap) di Maiwa, dibencinya kucing, disiksanya kucing itu, di pukul siang dan malam, Datu Meong Palo. Seperti diiris sembilu, perihnya kurasakan, perasaan hatiku, mengingat perbuatannya, wanita yang durhaka, yang sama semua dalam rumah, laki-laki perempuan, Itulah yang membuatku sangat sedih, ditendangnya kucing, di atas tumpukan padi, biarlah aku naik ke langit, aku tak ingin lagi hidup di dunia ini”. Serentak sembah sujud dan berkata, isteri Pabbicara, semua orang yang banyak, penduduk Barru, dan sama berkata :”Kalau memang demikian La Puang, engkau menuju, naik ke Boting Langi, bawalah aku La Puang, buat apa aku hidup di dunia, apa yang kita pertahankan di sini, tak satupun, memberi kehidupan (kami). Menangis sembari berkata, Datu Sangiangserri :”Kuru’ Sumange’mu, semua yang menyenangi aku, duduklah engkau marupe, di kampung yang membesarkanmu. Biarlah sayalah sendiri yang melayang, terus naik ke langit, pada bambu kehidupanku, senapati mangkaukku, merajuk tak henti-hentinya, Kecuali tidak diizinkan, duduk menetap di langit, barulah aku kembali, di Barru, aku akan memilihnya (Barru) sebagai tempat menetapku, semangat jiwa ragaku. Sembah sujud dan berkata, isteri Pabbicara :”Kalau memang demikian La Puang kehendakmu, benar-benar akan naik, melayang di langit, mohon supaya kembali, di kampungmu di Barru, demikianlah ketentuan, pada tenggorokan “Menangis dan berkata, Datu Sangiangserri :”Kalau memang takdir (toto) saya kembali, barulah kita bergembira ria, di mahligai kemewahanmu, apabila tidak diperkenangkan, orang tua mangkaukku, duduk dan menetap di langit, berakar di langit, dan sama mengiyalah, semua penduduk Barru”. Belum habis ucapannya, Datu Sangiangserri, laksana angin topan yang datang, begitu kedengarannya, angin ribut tersebut, ketika menuju melayang, Datu Sangiangserri, menyebarkan baunya, memabukkan wanginya, kilat sambung-menyambung, diikuti oleh gemuruh guntur. Ketika tengah malam, ketika bertemunya gelap, saat itulah mereka berangkat, keturunan To Palanroe, semua padi yang banyak, padi ketan padi biasa, semua padi yang setia, gandum jagung, semua jelai yang banyak, Datu Meong Paloe. Pada berangkatlah ia, melayang, Datunna Sangiangserri, semua padi yang banyak, terus naik ke langit, keturunan pajung. Belum lagi hancur daun sirih, belum lagi berkedip mata, maka sampailah di atas, pada lapisan awan. Dan terbukalah kuncinya, pintu langit, dan datang melihat dan menyaksikan, lapis-lapis langit, terus mereka naik, di Sawo Wero Pareppa. Mereka akhirnya sampai berdesakan, di muka We Raja, dan sembah sujud menyembah, dihadapan tuhannya, To Pabbare-baree, di istana kemewahannya, nenek mankauknya, kebetulan sekali, sedang menampakkan diri, To Palanroe pada tahta keemasannya, kursi kerajaannya, diliputi oleh perasaan kasih, sembah sujud dan duduklah, dihadapan tuhannya, senapati mangkauknya, batara yang melahirkannya, yang menurunkannya ke dunia, menjadi Sangiangserri, memberi kehidupan orang bumi, Bagaikan orang yang menimba, madu di dalam hatinya, jiwa keperkasaannya, To Pabbare-baree, menatap raut wajahnya, keturunan kegembiraannya. Langsung We Tune duduk, di muka Tuhannya, laksana matahari terbit, mentari yang mulai muncul, muka yang tidak membosankan, bagaikan bulan yang sempurna. Menangislah tersedu-sedu, Datu Sangiangserri, padi ketan padi biasa, gandum jagung, semua jelai yang banyak, Datu Meong Paloe. Ia pun berpaling dan berkata, To Pabbare-baree “Kuru’ Sumange’mu We Tune’, anakku We Maudara (panggilan kesangan Sangiangserri), apa yang menyebabkan engkau naik? Di sini di Boting Langi, anaknya We nyili’ Timo (ibu Sangiangserri), puteri Batara Guru (Ayah Sangiangserri), mengapa engkau tidak menetap di dunia? Memberi kehidupan orang bumi”. Tunduk dan menangislah, Datu Sangiangserri, sembah sujud berkata:”Sebabnya La Puang, kunaik di Ruwang Lette, sembah sujud dihadapanmu, kusampai merajuk, saya berkeinginan, kembali masuk, pada bambu orang tuaku, menjadi darah yang dikandung, senapati mangakaukku, sebab aku sudah terlalu sakit rasanya, menjadi padi di dunia. Aku tidak menyukai perbuatannya, tak kusuka sifat-sifatnya, orang dunia orang bumi itu, aku sudah tidak menggembirainya (menyenanginya), di sepak-sepak aku burung pipit, diisap langau, dilejit oleh tikus, bisa-bisa aku jadi benir. Mereka tidak lagi menjaga aku, juga tidak berpantang lagi, pantangan wisesaku. Tidak seia sekata, orang di dalam dunia, orang di dalam kampung, jauhlah diperkatakan, orang di dalam rumah, merekapun menusukkan tongkatnya, makan yang bukan makanannya, orang dunia orang bumi itu”. Memasukkan larangan pergaulan, orang yang muda menyiksa, perempuan yang bersalah, itulah yang membuatku bersedih, ibah lah hatiku, hilang semangatku, tersingkap jiwa ragaku, juga di dalam, perasaan hatiku, Aku sangat benci, dibencinya kucing, disiksa kucing itu, dipukul siang malam, sebab hanya dialah La Puang, kuharapkan menjagaku, mengembalaku menjagaku, siang dan malam, justru dialah yang dibenci, dipukul tak berantara, ketika aku tinggal di Maiwa, Sebab cukuplah Tuhan, perihnya perasaanku, tak dapat lagi La Puang, aku kembali ke dunia, berkembang biak di dunia. Orang tidak lagi menghargai diriku, akupun sudah tidak menggembirainya (menyenangi), dilaksanakannya semua pantanganku, sifat-sifat wisesaku, pabbicara yang culas, serta raja yang tidak jujur. Ia pun tunduk menangis, To Pabbare-baree, menjawab dan berkata : “Kuru’ Sumange’mu, kur jiwa kesayanganku, seluas langit pusakamu, marahkah engkau La Wija? (keturunanku)? Meraju kah gerangan engkau We Datu, merayu-rayu tak henti, anakku We Maudara, sehingga engkau naik ke langit, di kampung kediamanmu, di tempat dibesarkannya, senapati mangkaukmu. Lalu bagaimana anakku We Maudara, kalau kamu merenguk terus, tak mau lagi menjadi orang bumi, hancurlah sudah, orang bumi itu, semua orang akan mati, semua yang ditutup di langit. Aku tak tahu lagi bagaimana harus menjawabmu, aku tak bisa lagi membantumu, anakku Sangiangserri, ketika kamu merajuk di sini, di Sawo Wero Pareppa, pada perbuatan pantangan Tuhanmu, bambu kelahiranmu. Karena memang di sanalah menetap, semangat jiwa ragamu, penahan jiwamu, ibu mangkaukmu, Batara yang melahirkanmu, di atas di Coppo Meru, sampailah engkau merajuk, sebab keinginanku, di dalam sanubariku, aku ingin kau tetap menetap, hidup di dalam dunia, di dunia mengembangkan turunanmu”. Merunduk sembari menangis, Datu Sangiangserri, belum lagi lepas pembicaraan, To Pabbare-baree, ia pun berpaling menendang, jalan yang menuju, di kampung Coppo Meru, ditiupnya tiga kali, keturunan kegembiraannya, tak terasa dirinya, Datu Sangiangserri. Ia pun berdiri maju, di kampung Coppo Meru (alam arwah) , tempat menetapnya, ibunda mangkauknya. Ia pun berpaling melihat, Batara yang melahirkannya, suami isteri, tak ubahnya orang yang saling diselipkan, jiwa raganya, senapati mangkauknya, Datu Sangiangserri, menatap anaknya. Lama kemudian baru Opu Batara Luwu berpaling, menangis sembari berkata, Datu yang tercinta :”Kuru sumange’ mu, anakku Sangiangserri, ada apa gerangan kamu naik, di Sawo Wero Pareppa? Mengapa tidak menetap saja di dunia, memberi kehidupan orang bumi”. Secepatnya sembah sujud, Datu Sangiangserri, lalu bangkit duduk, di mahligai We Datu, yang bersegi tiga kemilaunya, serentak berdiri pula, semua temannya, hamba sesama terbuang, Datu Sangiangserri. Sembah sujud dan berkata :”Itulah sebabnya La Puang, ku naik di Boting Langi, ku sampai di Coppo Meru, ku tiba berdesakan, di Sawo Wero Pareppa, Aku tak mau lagi duduk (menetap) di dunia, memberi kehidupan orang bumi, tak dapat lagi aku menjadi orang bumi, aku rindu kamu kembalikan, masuk kedalam rahim, aku tak suka perbuatannya, tak kusukai sifat-sifatnya, orang bumi itu. Musnah gerangan We Tune, duduk di kampung dunia, aku hanya tinggal di bumi, di patuk-patuk ayam, dilejit oleh tikus, di habis-habisi oleh burung pipit, diisap oleh langau, dililit oleh ular, dimusnahkan oleh ulat, bisa-bisa aku jadi benir, Mereka tidak lagi mau menungguiku, Halnya kucing, kuharap menjagaku, mengembalaku, menjagaku, siang dan malam, justru dialah yang dibenci, dipukul tak berantara, oleh isteri kecintaannya, matoa petani itu, yang berkuasa di Maiwa. Itulah yang kubenci, perihku tak terucapkan, ku langsung menuju, naik di Boting Langi, memegang lama La Puang, kamu benarkan kepedihanku”. Tunduklah ia menangis, ibunda mangkaunya, Datu Sangiangserri, sembari berkata :”Kasihani aku We Tune’, turunlah kembali! Menghadirkan diri di dunia, memang demikianlah takdirmu, dari to Parampu’-rampu’e, ketika kamu diturunkan ke bumi, memberi kehidupan, pada tenggorokannya, manusia di dunia dan di bumi. Dan bisalah semua orang, anakku We Maudara, semua keluargamu. Duduklah engkau di dunia! Mati semua We Tune, semua yang di tutup langit, kalau engkau tetap menetap di sini, di kampung Coppo Meru, Sebabnya saya naik, di Sawo Wero Pareppa, sebab telah padam, semangat jiwa ragaku, pupuslah sudah jiwaku, padam bagai pelita, jiwa ragaku. Izinkanlah aku di sini, di kampung Coppo Meru, negeri hari kemudian, di sini padang yag luas. Tak tahukah engkau, bahwa telah berpindah di hari kemudian, Batara yang melahirkanmu. Kasihanilah aku We Tune’, anakku We Maudara, turunlah cepat, di kampung orang dunia, memberi kehidupan orang bumi, karena demikianlah ketentuan, di dalam tenggorokan, orang dunia orang Bumi”. Sembah sujud dan berkata, Datu Sangiangserri, sembari menangis tersedu-sedu :”Kasihanilah aku La Puang, turutlah rajukanku. Biarlah kita mati bersama, kembali di hari kemudian, kulaksanakan semua pantangan, di kampung Coppo Meru, ataukah di Sawo Wero Pareppa. Biarlah ku tinggalkan, kubelakangi dunia, dari pada tinggal di dunia, berakar di Watampare’, kudengar tak kudengar, melanggar pantanganku. Sesuatu yang sangat tidak kusukai, berbicara takabbur,orang dunia itu, jelaslah sudah La Puang, tak senang dengan diriku, saya juga sudah tidak menyenanginya. Apa saja yang terbaik, ku naik La Puang, agar supaya engkau mau, memasukkan aku kembali, masuk di dalam rahim. Tak dapat lagi aku menjadi orang bumi, aku tidak menyukai sifatnya, juga perbuatannya, orang dunia orang bumi itu. Biarlah mati semua, apalagi yang harus ku ambil pulang, kembali di dalam dunia, di patuk-patuk ayam, di lejit tikus,hampir saja aku menjadi benir, dililit ular. Tidak mau lagi menjagaku, dikerjakannya semua pantanganku, pantangan wisesaku, tak ada lagi yang dapat kupertahankan, semangat jiwa ragaku. Pedihku tak terkira, dipukulnya kucing, dipukul siang malam, Padahal Cuma kucing itulah, kuharap menjagaku, menyempurnakanku dan membesarkanku, menjagaku dan mengawalku, tanpa tidur, pada siang hari. Justru dialah yang dibenci, Datu Meong Palo, pada isteri kecintaannya, matoa petani, yang berkuasa di Maiwa. Itulah yang kusakitkan, pedih tak terperikan. Maka berangkatlah aku, pergi membuang diri, jalan menelusuri takdir, mencari sifat-sifat yag baik, menelusuri jalan yang panjang, hingga akhirnya aku sampai di Barru. Kusinggah mengamati, dan dari situlah aku menuju, di tempatnya, Pabbicara Barru, naik kelangit ini. Aku ingin kembali, masuk ke dalam rahim, menjadi darah kau kandung, di dalam perut, tak usahlah saya menetap di dunia, merasakan semua, semua yang merayap dan semua yang terbang, semua yang di tutup langit”. Bagaikan orang yang diselipkan, perasaan hatinya, Opu Batara Luwu, bagaikan pupus di dalam, perasaan hatinya, mendengar ucapannya, isi perutnya. Tiga hari ketika ia lahir, padam semangatnya (meninggal), semangat mangkau’nya, di kampungnya di Luwu. Tapi dilanggar pantangannya, pantangan wisesanya, Anak perempuan diciptakan, bagaikan matahari bersinar, bulan bersinar, kelihatan jelas, anak kecintaannya, yang kemudian sama padam (meninggal), semangat jiwa raganya, tertegun (tagalatta), dia melihatnya, kecantikan kecintaannya, bagaikan bulan sempurna (seppulo eppa ompona ketennge), lemah lunglai di dalam, perasaan hatinya, Batara terhormatnya Luwu, rindu di anaknya, orang yang korban, tenggelam, menjadi Sangiangserri, duduk sendirian, dimasukkan ke dalam dunia. Ia pun berpaling dan berkata, senapati ibundanya, Batara Sangiangserri :” Tak ubahnya kecantikannya, anak kecintaan mangkau’nya, kembar emas yang dipandang, tuhan kita Patotoe, dan perempuan, sama kecantikannya, tuhan kita Palinge, tidak tinggal begitu saja, anak kecintaan mangkau’nya, tak ada duanya kecantikannya, di dalam dunia, bercahaya benar rumah, menyinari rumah, bagai bulan bersinar, matahari yang mulai terbit, berkilaupun mata memandangnya, roman muka kecintaannya”. Kemudian ia tunduk dan menangis, menepuk dada tak henti-hentinya Batara yang melahirkannya, Datu Sangiangseri, sembari berpaling dan berkata :”Kuru’ Sumange’mu We Tune’, anakku Sangiangseri, merajukkah engkau gerangan, juga bersitegang, merajuk tak henti-hentinya, tapi apalah dayaku, kali ini aku tak dapat menuruti, rajukanmu, dua kalikah engkau diciptakan? Melewati jalan yang sempit? Menjadi darah ku kandung? Sebab engkau tak diizinkan, hidup menetap di langit, juga tak boleh We Datu, dikembang-biakkan (pabbija) di Batara (langit), memang kau hanya diciptakan di dunia, untuk menjadi Sangiangserri, memberi kehidupan orang bumi, memang demikianlah takdirmu, dari To Parampu’-rampu’e”. Tunduk dan menangislah, Datu Sangiangserri, begitu deras mengalir air matanya, sembari sembah sujud dan berkata :” Aku benar-benar sudah tidak mau, kembali ke dunia, biarlah aku pergi, membuang diri La Puang. Biarlah orang dunia itu, merasakan sakitnya, mau mati orang dunia itu, atau musnah orang bumi itu, biarlah semuanya menyeberang, kembali di dunia dan hari kemudian, membuka perkampungan dimana, tenggorokannya, orang dunia durhaka itu, tidak seimbang, hati sanubariku, hidup dibuatnya menderita. Ketika aku lagi nyenyak tertidur, ia naik menendang, Datu Meong Paloe, di puncak tumpukan padi, kubangun awut-awutan, lemah lunglai di dalam, perasaan hatiku, dikagetkannya aku, isteri kecintannya, matoa petani, yang berkuasa di Maiwa. Apakah engkau lebih memilih dia La Puang, dari pada anak kandungmu, orang keturunan bersalahmu, menjadi Sangiangserri aku benar-benar sudah enggan kembali, di dalam dunia”. Sejenak ia tunduk dan menangis, Batara tunggalnya Luwu, mengusap-usap (kepala) anaknya, diminyakinya kembali, di dupailah segera, sembari memberinya pakkuru’ sumange’, isi perutnya (anaknya), laksana kabut yang mengepul, sirih lengkapnya Puange, yang timbul di Busa Empong. Ia pun berpaling sambil berkata, Opu Batara Luwu :” Kasihanilah aku We Datu, anakku We Maudara, turutlah diturunkan, menjelmakan diri di dunia, untuk menetap di sana We Tune’, duduklah kembali di Luwu, di tempat dibesarkanmu, di kampung yang dikuasai, Batara yang melahirkanmu”. Sembah sujud menangis, Datu Sangiangserri, menyembah kedua belah tangannya dan berkata :” Kubuka kedua belah tangan ku La Puang, kusembah semua ucapanmu, aku tidak mau lagi kembali ke Luwu, Mereka lebih menyukai sagu, lebih menyukai dan mengutamakan, dari pada diriku, dia tidak mengetahui dirinya, orang Luwu dan Wara’ itu, keturunan La Patoto, tunasnya La Palanroe (Batara Guru), yang menetas di bambu betung, anaknya (pattolana) We Nyili’ Timo, yang muncul dari busa air. Membawa kepedihan yang besar, dan kesedihan yang tiada tara. Karena dibencinya kucing, Datunna Meong Paloe, sampai akhirnya aku pergi membuang diri, kubelakangi Luwu, dan terdampar di Maiwa”. Menjawab dan menangislah, ibunda mangkau’nya, Datu Sangiangserri :” Bagaimana gerangan perbuatannya, orang yang tak mengenal tuhannya, yang sengsara yang besar, melahirkan anaknya. Tiga hari kemudian, maka padamlah nyawanya, dan tiga hari kemudian, kuziarahi kuburmu, kudatangi padi yang menguning, berkumpul dan berhimpun, gandum dan jagung, semua jelai yang banyak, kunaik di Boting Langi, menyampaikan kepada tuhan kita, To Pabbare-baree, dan jawabnya :” Itulah anakmu, menjadi padi menguning, menjadi gandum dan jagung, menjadi jelai yang banyak, jangan sekali-kali engkau memakannya ! anak kecintaanmu, sebelum lepas La Bela, tiga tahun meninggalnya, masuknya di dalam perut”. Sembah sujud dan berkata, Datu Sangiangserri :” Bukan La Puang, menyebabkan aku meninggalkan Luwu, dan kutinggalkan Wara’, di negeri kekuasaanmu, engkau masukkan aku, di dalam tenggorokan, justru itu La Puang, kutinggalkan Wara’, karena benciku yang tiada tara, marahku yang marah betul, karena tidak dinaikkannya aku, ku duduk La Puang, di perantaraan kampung, dimakan tikus, di patuk-patuk burung, hampir saja diriku jadi benir, itulah yang membuat aku marah, kupergi membuang diriku, mengelilingi dunia ini”. Kembali tertunduk dan menangis, Datu Sangiangserri, menangis tersedu-sedu, deras mengalir, air matanya, mendengarkan ucapan-ucapannya, senapati mangkau’nya, lama ia dibujuki, dibelai-belai dan di usap-usap, dan diminyaki, kemudian di endapkan, minyak wangi yang harum baunya, barulah kemudian, merasa enak perasaan hatinya, Datu Sangiangserri. Menjawab berkata : “Duduklah engkau La Puang, di mahligai istanamu, sekeluarga, kuberi engkau semua makanan, semua isi istana, terhadap orang yang berpisah jiwanya”. Dan serentak mereka berkata :”Peganglah erat-erat jiwa datumu, anakku We Maudara, kembali, ke kampung dunia, memberi kehidupan orang bumi, demikianlah ketentuan, berakar menyebarkan keturunanmu”. Menjawab dan berkata, Datu Sangiangserri :” Biarlah aku turun kembali, dan yang kupilih untuk kutinggali, adalah yang sesuai dengan kata hatiku, jujur dan tidak pelit, terhadap sesamanya manusia, tidak berbuat culas, di dalam hatinya, tidak cemburu hati, terhadap sesama manusia, tahu menghargai wisesa, menaikkan Sangiangserri, Apabila saya tidak menemukan orang yang baik hati, aku kembali kelangit, kita bersama-sama La Puang, yang telah ditentukan”. Serentak ia tunduk menangis, ibu mangkau’nya, begitu deras mengalir, air matanya, duduk saling bertangis-tangisan, anak kecintaan kesayangannya, mendengar ucapan-ucapan, isi perutnya (anaknya), merenungi nasib (toto) anaknya. Ia pun berpaling berkata, Opu Batara Luwu, sembari menangis tersedu-sedu, mengusap-usap anaknya :”Kuru’ Sumange’mu, anakku We Maudara, kasihani aku We Tune ! perbaiki, perasaan hatimu, kembali menjadi orang bumi, kau telusuri takdirmu, yang telah ditentukan, To Pabbare-bare’e. Sebab menurut firasatku, tidak enak perasaanmu, memabukkan baumu, makanannya orang dunia, Peganglah jiwa datumu ! anakku Sangiangserri”. Belum lepas ucapannya, Batara tunggalnya Luwu, dibenarkan ucapannya, senapati mangkau’nya, sambung-menyambunglah bunyi guntur, sabung-menyabung kilat, turunlah pergi We Datu, berpegang erat pada guntur, berpautan dengan kilat, dipikul dengan udara, bertelekan pada tanah, menyeimbangkan badan pada angin, Serentak mereka berangkat, semua teman-teman, hamba datu pengawalnya, mengikutinya turun ke bawah, Datu Sangiangserri. Bagai akan musnah langit, dan patah batara (langit) itu, bergetar peretiwi, bagai hancur tanah, di bawah di dunia, sebagai pertanda menuju, kembali di dunia, anaknya Batara Guru, anaknya We Nyili’ Timo, yang menetas, pada bambu petung, dan yang muncul di busa air. Bagaikan akan menghilang tanah ini, bagai akan tercabut tanah ini, serentak orang-orang dunia berkata, orang di bawa batara :” Siksaan apa gerangan, dari To Pabbare’-baree, begitu berat kedengaran, goyangan langit itu, peretiwi di dengar, bakal hancur dunia ini, karena kerasnya suara guruh itu “ Begitulah tandanya, menuju, turun kembali, Datu Sangiangserri, berhamburan manusia, di kampung dunia, orang yang di benua bawah, Bagaikan akan pupus, perasaan hatinya, Opu Batara Luwu, melihat anaknya, di terpa sinar matahari, duduk dia bersandar, mengamati anaknya, berpegang pada petir, berpaut pada guntur, melewati celah-celah awan, berkilauan di pandang, mentari yang mulai bersinar, matahari yang mulai naik, cahaya kilat bersinarnya. Tertegun (tagalatta) di dalam, perasaan hatinya, Opu Batara Luwu, melihat kecantikan isi perutnya, menjadi Sangiangserri. Ia pun berpaling dan berkata, Opu Batara Luwu, pada isteri kecintaannya :”Lebih baik kita turunkan sekarang, angin ribut kebencian, dan dimusnahkan Maiwa, dan dipindahkan semua, reruntuhan negeri di dunia, orang bumi yang durhaka, sampai kepada yang tidak mengenalnya, keturunan I La Patoto, di atas di Ruwang Lette” Maka disiksalah semuanya, semangat jiwa raganya, orang yang membenci kucing, menyiksa kucing, Datu Meong Paloe, dan dimusnahkan juga semuanya, orang dunia orang bumi, yang memasukkan (melanggar) pantangan, pantangan pemali wisesa. Dan yang menusukkan tongkatnya, perempuan bersalah, pabbicara yang culas, raja yang tidak jujur, orang yang cemburu hati terhadap sesamanya manusia. Sebab terlalu sakit hatinya, menyaksikan anaknya menderita, isi perutnya. Tidak enak perasaannya, di dalam hati sanubarinya, mendengar perbuatan, matoa petani, penguasa di Maiwa, Maka berdatanganlah, binatang-binatang yang banyak, penyiksaan yang tidak ada duanya. Dan diturunkan pula, penyiksaannya yang kuat, kampung di Maiwa, semua kampung yang pernah diinjak, Datu sangiangserri, semua kampung yang disinggahinya, menepakkan pikiran, terbakarlah sudah, dan menjadi debulah, kampung Maiwa, hancurlah kampung Kessi, rubuh pulalah Lisu, menjadi debu tak muncul, kampung di Watu, semua kampung yang dilewati, Datu Sangiangserri, bersih laksana lautan, kampung Langkemme. Tunduk sembari melihat, Datu Sangiangserri, dipindah-pindahi negeri lain. Dan bergetarlah ia menyaksikan, perasaan hatinya di dalam, sembari berkata, didalam hatinya :” Di dahului betul aku, penyiksaan yang diturunkan, ibu mangkau’ku, barulah aku yakin, sudah teguhlah di dalam perasaan hatiku” Terus-terus ia pun turun, Datu Sangiangserri, dan tengah malam, ia pun tiba berdesakan, di kampung Barru. Sebab memang telah siap, pabbicara di Barru, menunggu kembalinya, Datu Sangiangserri, Isteri pabbicara, sekeluarga, memberi kuru’ sumange’, keturunan pajung itu, sembari meneburkan bertih tak henti-hentinya, berbunyilah penutup sirih, menarilah para bissu (maujangka), bissu yang turun langsung dari angkasa, pergi melengkapi, bawaan orang boting langi’, dituntun oleh peritiwi, mengusung We Datu, Datu Sangiangserri. Berdirilah merangkak-rangkak, isteri pabbicara, menimba air secerek, baru kemudian ia duduk, menghadapi pelita, sekeluarga, di sebelah selatan dapur, menunggu We Tune’. Naiklah merangkak-rangkak, bissu langsung dari langit tersebut, menggantungi La Wollo, menabur bertih tak henti-hentinya, menghamburkan cucubanna, dan memberi kuru’ sumange’, Datu Sangiangserri, semua padi yang banyak, Datu Gandum, Datu Jagung, semua jelai yang banyak, Datu Meong Paloe. Serentak mereka terangkat, diarak dengan tenang, dan dibunyikanlah galappo, dikipas dengan La Wollo, dan yang ditempuh naik, di istana kerajaannya, pabbicara di Barru, kemudian dicucikan kakinya, Datu Sangiangserri. Sembah sujud dan berkata, isteri pabbicara :”Kuru’ sumange’mu, keturunan opu yang disembah, sebelah menyebelah berdarah murni (maddara takku’), di atas gerangan engkau duduk, di istana kedudukanmu, semua yang menyenangimu. Kuru’ Sumange’mu, kur jiwa kecintaanmu, keturunan opu yang disembah, keturunan orang yang di durhakai, sebelah menyebelah berdarah murni, semua telah siap, tempat tertegun (tagalatta) jiwamu, seluas langit pusakamu, tempat tertumpunya jiwamu, perilaku wisesa, agar senang perasaanmu, perasaan hatimu, semangat jiwa ragamu, agar supaya dapat menetap, jiwa sanubarimu, di kampungmu di Barru” Barulah dia perdi duduk, Datu Sangiangserri, semua padi yang banyak, memenuhi rumah sepotong, Kemudian diminyaki cepat, lalu diberi sirih, Datu Sangiangserri. Sembah sujud dan berkata, isteri pabbicara, sembari berpaling menaburkan bertih :”Kur jiwa semangatmu, karena kau tetap kembali di sini, demikianlah ketentuan, berakar menyebarkan keturunan, di Kampung Barru” “Menjawab dan berkata, Datu Sangiangserri :”Mudah-mudahan abadilah, hati baikmu, jujur, berhati-hatimu. Demikianlah pula semua sesamamu, karena sifat penyayangmu, menerima orang yang terbuang, menampung orang yang kesusahan, supaya tidak kemana-mana, mencari sifat-sifat yang baik, terbuang dan terdampar, di kampung yang jauh, sampai akhirnya aku tiba, pada tempat dibesarkannya, saudaraku di Barru. Karena adanya sifat pengasihmu, biarlah aku menetap di Barru, mendengar dengan seksama, kata-kata yang baikku. Agar supaya engkau juga memahami dengan baik, pantangan wisesa, anak cucumu, sahabat-sahabatmu, semua yang menyenangiku, penduduk di Barru” “Dengarlah baik-baik ! pesan dan petunjuknya, nasehat baiknya, nenek mangkau’ku, Batara yang melahirkan aku, pembuluh rahim, Opu Batara Luwu, orang pertama di Wara’, yang muncul di busa air, yang menetas di bambu betung. Ketahuilah We Tune’, To Pabbaree-baree, janganlah kamu kasar mulut ! pada waktu tengah malam, jangan besar suara! Pada bertemunya gelap, pada subuh hari, jangan juga marupe’ ! kamu menyaji nasimu, kalau belum begitu lurus perasaan hatimu, jangan berkata-kata ! kalau kamu sedang makan, sebab terkaget-kaget, di dalam hati sanubarimu, jangan engkau menyaji nasimu ! kalau belum kamu cuci ! tangan dan sendokmu, sebab kalau demikian, seperti kurasakan, orang yang diiris sembilu, di dalam tenggorokanku, bagai akan lenyap, semangat jiwa ragaku” “Kecuali marupe’ kamu meninggalkan semua pantanganku, menjauhi semua pemaliku, barulah aku menetap, penguat semangatku, untuk menetap di Barru” “Jangan pula marupe’, menakari nyirumu, jangan engkau menurunkan, takaranmu dari rumah, melayang semangatku, dan tersentak jiwa ragaku” Sembah sujud berkata, isteri pabbicara :” Janganlah demikian We Datu, tuhan kita pemilik semua di kedalaman (dasar laut), keturunan yang berdarah murni (maddara takku), sebelah-menyebelah yang disembah. Kur semangatmu, segala keingianmu La Puang, kusandari tak tergoyahkan, kusebut-sebut kemana aku pergi, di kampung Barru” Menjawab berkata, Datu Sangiangserri :” Syukurlah karena kamu mau, isteri pabbicara, menyenangi diriku, dengarkan baik-baik ! nasehat petunjukku, jangan sekali-kali !! engkau tak menghidupkan, apimu di dapurmu, juga jangan marupe’, kamu kosongi periukmu, begitu pula tempat berasmu, tempat bakul berasmu, juga marupe’! jangan kau kosongi tempayanmu, air yang kau inginkan, kamu hidupkan pelita, segenggam panjangnya, pada malam jumat” “Hai sekalian orang Barru, jangan menukarkan, saji dan sendokmu, di belanga dan periukmu. Sebab kalau demikian marupe’! tidak mau berhati-hati, segala pantangan wisesa, habislah aku dimakan ulat, juga bakalan aku jadi benir, dimakan langau, dipatuk-patuk burung pipit, dimakan oleh tikus, dibelit aku ular, Tak dapat lagi aku hadir (berhasil), apabila kamu tidak menyayangiku, ketika aku turun di bumi, yang akan diwarisi oleh orang belakangan” “Jangan juga marupe’ berbuat yang culas, jangan sekali-sekali ! hatimu tidak jujur, mengambil yang bukan menjadi hakmu (milikmu), memakan sesuatu yang tidak baik asalnya, memakan dengan menelan-nelan (berbunyi), di muka dapur. Yang aku senangi, berkumpul semua semangatku, kalau kamu meninggalkan semua pantanganku, sebaliknya yang paling kusakitkan, orang yang salah niatnya, terhadap anak cucunya, begitu pula orang yang berbuat zina, tidak bakal berhasil padi” “Kamu sekalian orang Barru, kalau benar kamu mau, senang pada pada diriku, gembiraku tak terkira, karena engkau dapat marupe’, meninggalkan semua pantanganku, sampai menyembah, di atas di Boting Langi, di bawah di Peritiwi” Sembah sujud berkata, isteri pabbicara, dan orang yang banyak :” Tandailah dengan baik, duduk (menatap) bergembira ria. Sebab menurut kata hatiku, di dalam sanubariku, betapa gembiranya aku La Puang, sampaikanlah dengan jelas !kabarkanlah kebaikan, larangan wisesae, dan pemali Sangiangserri, apa kata We Tune’, Datu Sangiangserri” “Engkau sekalian orang Barru, semua orang yang banyak, dengarlah kataku, dengarlah dengan jelas ! adat istiadat Sangiangserri, ajarannya tadi, nenek mangkau’ku. Apabila kamu menyiapkan kataku, dengarlah dengan jelas! Adat istiadat Sangiangserri, ajarannya tadi, nenek mangkau’ku. Apabila kamu menyiapkan aku, menyiapkan bibit padimu, duduklah menghadapi pelita, berjagalah (maddoja) marupe’, juga semua gerakan hati sanubarimu (ati macinong), juga ucapan-ucapanmu, juga pandangan matamu, musuhlah nafsumu, batasi amarahmu, bendunglah air liurmu (keinginan), kemudian menghadap dengan baik, hatimu kepada Tuhanmu, hatimu memohon rasa kasih (rahman), dari To Pabbare-baree, sabarlah engkau dengan penuh kepasrahan, terhadap sesama dicipta. “Engkau sekalian orang Barru, tutuplah tempat berasmu, jangan sekali-kali kosong, beras pada bakulmu, kumpulkanlah semua takaranmu ! membereskan semua sajimu, demikian pula sendokmu, hati-hati jangan sampai jatuh” Jangan kasar mulut ! terhadap sesamamu manusia, jangan juga kamu melakukan ! berkumpul-kumpul berlebihan, pada sore hari, dan tengah malam. Jangan juga marupe’! duduk berdempet-dempetan, di muka dapur, memperebutkan puntung kayu, jangan bertengkar, pada subuh hari, pada pagi hari, jangan sekali-kali bergemuruh, engkau memukul tempayan. Hati-hatilah pelitamu, wisesa (bibit) yang kau persiapkan, tiga kali semalam, engkau mengepulkan asap kemenyanmu, sirih lengkapmu We Tune’, Kudapati engkau ribut, marah di rumahmu, pilulah jiwaku, tersengat jiwa ragaku, hilang semangatku, tertegun sanubariku. Tidak jadi bibitmu, bibit yang kau persiapkan, hayatilah dan laksanakanlah, pantangan wisesaku. Apabila engkau sekalian, isteri-isteri di Barru, mendengar semua nasehat , menjauhi semua larangan, pantangan wisesae, mudah-mudahan engkau beruntung, besar tak terhalang, hidup menyebarkan keturunan, semua bibit yang kamu tanam. Apabila telah sampai, waktunya kami tuai, segenggam saja sehari, barulah kamu ikat, kamu isi padimu, di tengah-tengah sawah, jangan sekali-kali kamu cadingi ! sebab itu dilarang, oleh nenek mangkau’ku. Tidak baik dilakukan, barang yang di tuai malam, haram diisikan, pada tempat beras, tidak mendatangkan (hasil), wisesa Sangiangserri. Itulah yang kusampaikan kepadamu, isteri pabbicara, semua orang yang banyak, tiga kali aku semalam, mengelilingi kampung, mencari perbuatan baik, baru aku kembali, pada rumah tempat menetapku. Apabila kudapatkan, ketika menanjak naik ke tangga, aku mendengar, mulut kasar, aku akan turun kembali, dan seterusnya pergi membuang diri. Dan yang kupilih sebagai tempat menetap, adalah orang yang sesuai dengan kata hatiku, sabar berpasrah diri, jujur dan hati-hati, terhadap sesama manusia. Jangan berselisih faham, sekeluarga dan sekampung, sebab aku terkaget-kaget, di dalam sanubariku, hilang semangatku. Demikianlah moga-moga engkau pengasih, seiya sekata, terhadap seisi kampung, sampaikanlah dan nasehatlah pula, semua penduduk Barru” Sembah sujud berkata, isteri pabbicara : ” Kur semangat jiwamu, keturunan opu yang disembah, sebelah menyebelah berdarah murni, anak yang pantang di durhakai, Datu Sangiangserri, semua padi yang banyak, Datu Gandum, Datu Jagung (baralle), Datu Meong Paloe. Akan ku usahakan, menghindari semua laranganmu, menjauhi semua pemalimu, karena rasa pengasihmu, mau menetap di Barru, sampai bersama mati, bersama ke akhirat (ri maje), apa yang menjadi keinginanmu We Raja, dan perkataan mu We Datu” Menjawab berkata, Datu Sangiangserri :”Baiklah kalau begitu katamu, hanya langit di atasmu, ucapan rendah dirimu kasihanilah aku, persiapkanlah dengan baik ! naik ke rakkeyang, rakkeyang istanaku” Berdirilah merangkak-rangkak, isteri pabbicara. Diminyakinya cepat, dihambur cucubanna, dan diberinya kur sumange’, di dupai berangkat, dan dikipaskan dengan La Wollo, dan yang dilewati naik, Datu Sangiangserri, semua padi yang banyak, Datu Meong Paloe. Sambung-menyambung kilat, dan bergemuruh guntur, dan serentak berdirilah, semua padi yang banyak, diantar oleh angin yang ribut, di bawa-bawalah oleh petir, di arak oleh guntur geledek, memegang pada kilat itu, bergenggam pada guntur, diarak dengan tenang, oleh teman-temannya, sampai terlihat duduk dengan tenang, di rakkeyang. Belum hilang lelahnya, Datu Sangiangserri, ia lalu berpaling dan berkata, kepada teman-temannya :” Sudah tujuh malam We Tune’, ketika tibaku dari langit, lalu aku terangkat, naik di rakkeyang, rakkeyang istanaku, belum pernah aku mendengar, pembicaraan yang berselisih, di dalam kampung, bakal menetaplah aku. Demikianlah ketentuan, berakar menyebarkan keturunan, memberi kehidupan orang bumi. Apabila ia mengabadikan sifat-sifat baiknya, kata-kata lemah lembutnya, seiya sekatanya, isteri pabbicara, semua orang yang banyak, maka berkepanjanganlah aku bersamanya, duduk bergembira ria dalam suka cita. Kalau tidak ada halangan, disetujui, langitku (Tuhannya di langit), dan diliputi oleh Peritiwi (Tuhannya di Peritiwi), nenek mangkau’ku, batara yang melahirkanku, aku berniat menaikkan, wisesaku pada tiap rumah, di kampung Barru, terhadap semua orang yang menyenangiku” Serentak sama naiklah, isteri pabbicara, semua orang yang banyak (rakyat), begitu mendengar ucapan, Datu Sangiangserri, keturunan pajunge. Sembah sujud secepatnya, menghamburkan cucubanna, sembari menaburkan bertih berkata :”Kur jiwa semangatmu, keturunan opu mangkau’, anak yang pantang di durhakai, sangiang yang berdarah murni, itulah semua sesamamu, karena keinginanmu menetap, di rakkeyang istanamu, ketentuan menetaskan keturunan, memberi kehidupan orang bumi. Ku panggil semuanya, penduduk Barru, yang mau berpantang, dan menjauhi semua, semua pesan-pesan We Raja, Datu Sangiangserri” “Hai sekalian orang Barru, janganlah menampung, orang yang tidak baik perbuatannya, engkau semua pabbicarae, berbicaralah dengan jujur, sebab tidak baik jadinya, bisesa Sangiangserri (bibit padi), yakinilah semua ! petunjuk dan nasehatnya, pantangan-pantangan dari langit ! kubawa turun (ke bumi) menjelmakan diri di dunia. Ketahui dan yakinilah ! pabbicara (hakim) yang jujur, nanti kamu menjalani, benarkanlah sesuatu yang salah, barulah engkau menyalahkannya. Hadirkanlah saksinya (sabbi), saksi dari kedua belah pihak, dan alat pengukurmu telah mengiya, hatimu telah membenarkan, di dalam sanubarimu, barulah engkau memutuskan. Begitulah semua bicara (keputusan), benarlah sesuatu yang memang benar-benar benar. Dengarkanlah baik-baik ! bicaranya sebelah-menyebelah, (saksi kedua belah pihak), jangan hanya sebelah saja, kau dengan bicaranya, bakalan engkau makan, perbuatan yang engkau perbuat, orang yang diadili”, itulah kata We Datu. Kalau engkau tegas, berbicara dengan jujur, maka melimpah ruahlah wisesamu, berikut pohon-pohonan yang lain, dan juga berkurang penyakitnya. Itulah kusampaikan kepadamu, pabbicara yang jujur, jangan sekali-sekali engkau mengambil untung ! juga jangan menerima sogok (menerima suap), apabila engkau berbicara (mengadili), berbuat jujurlah ! jangan menerima marupe’ harta yang tidak jujur (tidak halal), demikian pula yang datang malam (curian), akan merajalela penyakit, tidak berhasil padi, berjatuhan buahnya, pohon-pohon yang dimakan. Hilang pula semua ikan, semua isi sungai, apabila tidak baik, putusan bicara (keadilan/hakim). Tidak baik akibatnya di kemudian hari, merajalela penyakit, salah peraturan tuhanmu (tidak berhasil padi), semuanya menjadi padang ilalang, wisesa Sangiangserri. Apabila demikian, benar-benar bicara itu (keputusan yang adil), akan berbicara dengan sendirinya padi-padimu itu, ramai berbunga, semua tanaman-tanamanmu, akan mudah semuanya, semua yang memberi kehidupan, semua tanam-tanaman, apabila engkau menjauhi semua pantangan, pesan-pesannya, puang nenek mangkau’ku, batara yang melahirkanku, Opu Batara Luwu . Yakinilah engkau semua ! pada perkataan yang baik, keturunan I La Patoto (Topalanroe), yang menetas di bambu betung (Tellang pulawenge), sekianlah cerita-ceritanya, Datu Sangiangserri, berikut sebut-sebutannya, Datu Meong Paloe (Rahman, N,1990) Nilai dermawan dan pengasih itulah yang mendasari sikap dan perilaku yang suka memberikan pertolongan atau jaminan sosial seperti yang ada dalam cerita Meong Palo Karellae (MPK) : ”Mengantar orang yang bepergian, menjemput orang yang datang, memberi makan orang yang lapar, memberi minum orang yang haus, menyarungi orang yang telanjang, menerima orang yang susah, menampung orang yang terdampar, menerima orang yang dibenci, dan menerima semua orang yang diperlakukan sewenang-wenang oleh sesama manusia” (M. Tang,2007). Sifat-sifat diatas merupakan sifat yang terpuji bila ditinjau dari segi ilmu agama yang mana mencintai sesama hamba Allah adalah lebih terpuji dan perilaku tersebut menumbuh-kembangkan sifat kedermawanan (malabo) tidak kikir (dena masekke) dengan perilaku ini membuat seseorang mempunyai kelebihan tersendiri yang jarang diketemukan pada orang kebanyakan karena dengan keikhlasan membuat seseorang merasa tenang dan tawaddu (rendah diri) kepada Allah. Dulu pada masa kerajaan di Sulawesi Selatan masih ada orang-orang yang mempunyai perilaku seperti ini, namun setelah masa orde reformasi perilaku seperti ini sudah jarang ditemukan. Mengenai pentingnya menjaga padi sebagai sumber bantuan, berulangkali ditekankan perlunya menjaga padi dari serangan hama : ulat, nango, burung pipit, tikus dan ular. Sesudah terjaga ari serangan hama, ditekankan lagi perlunya memperlakukan padi secara baik (pasca panen), yaitu jangan sampai terhambur tanpa dipungut, jangan dibiarkan dimakan ayam dan tikus. Sesudah jadi nasi diingatkan lagi jangan sampai dibiarkan jatuh berhamburan tanpa dipungut. Biar satu biji nasi yang jatuh, juga harus dipungut. Selamat sejahteranya, selamat yang punya sure’ (naskah) selamat pula orang yang menulisnya, kasihan dan selamat ( 1 Sya’ban 2008) DAFTAR PUSTAKA Kombie, A.S. 2003. Akar Kenabian Sawerigading, Parasufia, Makassar Mattulada.1995. Latoa, Hasanuddin University Press, Makassar. Morris D.F Van Braam, 2007. Kerajaan Luwu, toACCAe, Makassar. M. Tang.2007. Kongres Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan I Tahun 2007, Panitia Penyelenggara, Makassar. Rahim.Rahman.1985. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, LEPHAS, Makassar. Rahman,N. 1990. Episode Meong Palo Bolonge Dalam La Galigo (Satu Kajian Filologi Sastra Bugis Klasik), Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung
oleh : Ir. H. Abdu Samad H. A. Umar, M.Si |